Jumat, 28 Desember 2007

DOWNLOAD PCMAV RC 23

PCMAV is a free antivirus software created by PC MEDIA Magazine. PCMAV have 1194 antivirus signatures and can be joining with clamav antivirus signatures.

Project Admins: pcmedia
Operating System: All 32-bit MS Windows (95/98/NT/2000/XP),
License: Shareware
Category: Antivirus

source: Free Software Download

DOWNLOAD PCMAV RC 23

PCMAV is a free antivirus software created by PC MEDIA Magazine. PCMAV have 1194 antivirus signatures and can be joining with clamav antivirus signatures.

Project Admins: pcmedia
Operating System: All 32-bit MS Windows (95/98/NT/2000/XP),
License: Shareware
Category: Antivirus

source: Free Software Download

Download PCMAV RC 23 Cleaner + RTP

PCMAV is a free antivirus software created by PC MEDIA Magazine. PCMAV have 1194 antivirus signatures and can be joining with clamav antivirus signatures.

Project Admins: pcmedia
Operating System: All 32-bit MS Windows (95/98/NT/2000/XP),
License: Shareware
Category: Antivirus

source: Free Software Download

Kamis, 27 Desember 2007

ABOUT RUQYAH

About Ruqyah
Ditulis oleh suryaningsih di/pada Nopember 29, 2007

Ruqyah dalam Islam diperbolehkan, berdasarkan dalil-dalil syar’i di antaranya:

Nabi saw. Bersabda: Artinya: ” Tidak apa-apa ruqyah itu selama tidak mengandung syirik” (HR Muslim).

“Barangsiapa menggantungkan sesuatu, maka dirinya akan diserahkan kepadanya” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan Al-Hakim).

Agar pelaksanaan ruqyah tersebut sesuai dengan syar’i perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

A. Bacaan rukyah berupa ayat-ayat Alqur‘an dan Hadits dari Rasulullah saw.
B. Do‘a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
C. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
D. Tidak isti‘anah dengan jin ( atau yang lainnya selain Allah).
E. Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.
F. Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari‘ah.
G. Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.

RUQIYAH, dalam prakteknya adalah upaya untuk mengusir jin dan segala macam gangguannya dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem. Bagi jin yang mengganggu dan jahat, bacaan Al-Quran terutama pada ayat tertentu yang dibaca dengan baik dan benar oleh orang yang shalil dan bersih imannya, akan sangat ditakuti. Mereka akan merasakan panas yang membakar dan pergi.

Diantaranya yang paling sering digunakan adalah ayat kursi, beberapa penggalan ayat dalam surat Al-Baqarah (tiga ayat terakhir), Surat Ali Imron, Surat Yasin, Surat Al-Jin, surat Al-Falaq dan Surat An-Naas. Selain itu masih banyak ayat dan doa-doa lainnya yang diriwayatkan kepada kita untuk dibacakan kepada orang yang kesurupan.

Tetapi bila orang itu menggunakan cara-cara yang menyimpang, apalagi dengan melanggar syariat dan aqidah, tidak boleh dilakukan. Karena tujuan jin ketika mengganggu manusia tidak lain adalah untuk menyeret manusia kepada pelanggaran dan syirik kepada Allah.

Misalnya, bila orang itu bilang bahwa jin itu minta sesajen, minta kembang, atau dikorbankan hewan sembelihan sebagai tumbal, itulah syirik yang sejati. Atau apapun yang secara syariah bertentang dengan hukum-hukum Allah.

Pada dasarnya bila dibacakan Ruqyah, jin itu sangat takut dan tidak berani tawar-menawar dengan minta ini itu. Karena pembacaan ayat-ayat Al-quran itu membuatnya kesakitan yang sangat, sehingga dalam proses Ruqyah, tidak ada permintaan dari jin kecuali harus pergi dan berhenti dari menganggu manusia.

Ruqyah sendiri adalah salah satu cara dari banyak jalan untuk mengusir gangguan setan dan sihir. Abdul Khalik Al-Atthar dalam bukunya: “Menolak dan membentengi diri dari sihir”, menyebutkan bahwa untuk bisa terbebas dari pengaruh jahat itu, bisa dilakukan beberapa cara, antara lain:

1. Metode Istinthaq

Methode istinthaq adalah mengajak bicara setan yang ada di dalam tubuh orang yang terkena sihir. Dan menanyakan kepadanya tentang namanya, nama tukang sihir yang memanfaatkan jasanya, nama orang yang membebani tukang sihir untuk melakukan sihir, menanyakan tempat penyimpanan sihir serta barang-barang yang digunakan untuk menyihir. Meskipun demikian, kita dituntut untuk tetap waspada dan tidak mempercayai sepenuhnya akan apa yang diucapkan oleh setan yang ada di dalam tubuh pasien, sebab bisa jadi setan berbohong dengan tujuan untuk menimbulkan fitnah dan memecah belah hubungan baik diantara sesama manusia.

2. Metode Istilham

Melalui Istilham adalah memohon ilham dan petunjuk yang benar dari Allah swt) agar Ia berkenan memberikan isyarat lewat mimpi, sehingga sihir yang menimpa seseorang bisa terdeteksi dan kemudian dilenyapkan.

3. Metode Tahsin

Methode Tahsin adalah pembentengan, yaitu dengan membentengi dan melindungi korban sihir dengan menggunakan bacaan Al-Qur’an, zikir dan ibadah-ibadah tertentu.

Syaikh bin Baaz mengatakan bahwa cara yang paling efektif dalam mengobati pengaruh sihir adalah dengan mengerahkan kemampuan untuk mengetahui tempat sihir, misalnya di tanah, gunung dan lain-lain. Dan bisa diketahui lalu diambil, maka lenyaplah sihir itu.

Pengobatan sihir yang diharamkan adalah menyingkirkan sihir dengan sihir juga, ini sesuai dengan perkataan Rasul yang melarang keras seorang muslim pergi ke rumah dukun dan tukang sihir untuk meminta bantuan kepadanya.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mengeluarkan sihir dan memusnahkannya adalah pengobatan yang paling efektif, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw bahwasanya beliau memohon kepada Allah untuk dapat melakukan hal itu. Allah memberi petunjuk kepada beliau, sehingga beliau pernah mengeluarkan sihir dari sebuah sumur.

4. Hijamah

Cara yang lainnya adalah dengan hijamah (berbekam) pada anggota tubuh yang terasa sakit akibat pengaruh sihir, karena sihir bisa berpengaruh pada tubuh, dan melemahkannya.

5. Obat-obatan

Pengobatan sihir dapat juga dilakukan dengan menggunakan obat-obatan yang mubah (dibolehkan) seperti dengan memberi kurma ‘Ajwah kepada si penderita.

Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad dari bapaknya bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa setiap pagi hari memakan kurma ‘Ajwah maka tidak akan membahayakan dirinya baik racun maupun sihir pada hari itu hingga malam hari. (HR. Bukhari)

Tentang keistimewaan kurma ini Imam Al-Khattabi berkata: Kurma ‘Ajwah memiliki hasiat dan manfaat yaitu bisa menjadi penangkal racun dan sihir karena berkat do’a Rasulullah saw terhadap kurma Madinah, dan bukan karena keistimewaan kurma itu sendiri.

6. Ruqyah

Cara yang lainnya yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan sihir adalah dengan membacakan ruqyah syar’iyyah (pengobatan melaui bacaan Al-Qur’an, zikir dan doa).

Imam Ibnu Qayyim mengatakan: Diantara obat yang paling mujarab untuk melawan sihir akibat pengaruh jahat setan adalah dengan pengobatan syar’i yaitu dengan zikir, doa dan bacaan-bacaan yang bersumber dari Al-Quran. Jiwa seseorang apabila dipenuhi dengan zikir, wirid dan mensucikan nama Allah niscaya akan terhalangi dari pengaruh sihir. Orang yang terkena sihir bisa sembuh dengan membaca ruqyah sendiri atau dari orang lain dengan ditiupkan pada dada atau tubuh yang sakit sambil membaca zikir dan do?a.

Berikut ini adalah bacaan-bacaan yang diyakini mampu menolak dan menghilangkan bahaya sihir, diantaranya:
A. Surat Al-Fatihah.
B. Surat Al-Baqarah, khususnya ayat-ayat 1-5, 254-257 dan 284-286.
C. Surat Yasin khususnya ayat 1-12.
D. Surat Al-A’raf khususnya ayat 54-55 dan 117-119
E. Surat Thaha khususnya ayat 65-69.
F. Surat Al-Imran khususnya ayat 1-9 dan 18-19
G. Surat An-Nisa khususnya ayat 115-121
H. Surat Yunus khususnya ayat 79-82.
I. Surat Al-Mu’minun khususnya ayat 115-118.
J. Surat As-Shaffat khususnya ayat 1-10.
K. Surat Ghafir khususnya ayat 1-3, dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Sedangkan doa-doa yang dianjurkan diantaranya:

اففمك رب افلاس اذمب افبأس اش ألت افشا فا شاإفا ألت شاء فا ٍادر سكا

“Ya Allah, Rabb bagi semua manusia, hilangkanlah rasa sakit, berilah kesembuhan, Engkau zat yang menyembuhkan tiada yang bisa menyembuhkan kecuali Engkau, kesembuhan yang tiada menimbulkan sakit sedikitpun.”
بسك اففم أركل ف شٍء ٍؤذٍ نكل شر فلس أن غٍل حاسد اففم ٍش بسك اففم أر
“Dengan nama Allah aku meruqyahmu dari kejahatan setiap jiwa atau pandangan orang yang dengki, Allah yang memberi kesembuhan padamu, dengan nama Allah saya meruqyahmu.”

أغٍذ بفكات اففم افتاكة كل شر كا خف

“Saya mohon untuk kamu perlindungan kepada Allah dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakan”

Bin Baz mengatakan: Hendaklah seorang muslim meminta kesembuhan hanya kepada Allah dari segala kejahatan dan bencana, dengan membaca do’a-do’a berikut ini:
بسك اففم افذٍ فا ٍضر كغ اسكم شٍءافأرض نفا افسكاء نمن افسكٍغ افغفٍك.

“Dengan menyebut nama Allah yang dengan keagungan nama-Nya itu menjadikan sesuatu tidak berbahaya baik yang ada di langit atau di bumi, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Dibaca 3x pada pagi dan sore hari)

Dan dianjurkan pula untuk membaca Ayat Kursy ketika hendak tidur dan sehabis salat fardhu, disamping membaca surat Al-Falaq, Al-Nas dan Al-Ikhlash setiap selesai melakukan salat subuh dan salat maghrib serta menjelang tidur.

Seluruh cara di atas hanyalah sekedar doa dan usaha, sumber kesembuhan hanyalah dari Allah semata, Dialah yang Maha mampu atas segala sesuatu dan di tangan-Nya segala obat dan penyakit, dan segala sesuatu bisa terjadi berdasarkan ketentuan dan takdir Allah swt.

Nabi saw. Bersabda:

Dan berdasarkan penjelasan ulama, maka pengobatan Ruqyah Syar‘iyah diperbolehkan dengan kriteria sbb:

A. Bacaan rukyah berupa ayat-ayat Alqur‘an dan Hadits dari Rasulullah saw.
B. Do‘a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
C. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah SWT.
D. Tidak isti‘anah dengan jin (atau yang lainnya selain Allah).
E. Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.
F. Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari‘ah.
G. Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji dan istiqomah dalam ibadah.

Pada dasarnya membantu pengobatan dengan ruqyah adalah amal tathowu‘i (sukarela) yang dibolehkan menerima hadiah dan bukan kasbul maisyah (mata pencaharian rutin).

sumber:eramuslim

Minggu, 23 Desember 2007

Panduan Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Daerah

Maksud dari Panduan ini adalah menyediakan Pedoman Umum yang dapat digunakan di setiap kabupaten peserta Coremap II ini sebagai penuntun dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten peserta sehingga sararan dan tujuan penyusunan Renstra dapat dicapai.

Tujuan dari Pedoman Umum ini adalah:

1.

Menyediakan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan terumbu karang sehingga sebagai landasan dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten

2. Memberikan tahapan dan proses dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten

3. Menyediakan panduan tentang isi yang termuat dalam Renstra Terumbu Karang Kabupaten

 

PANDUAN SELENGKAPNYA SEBAGAIMANA TERLAMPIR

Panduan Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Daerah

Maksud dari Panduan ini adalah menyediakan Pedoman Umum yang dapat digunakan di setiap kabupaten peserta Coremap II ini sebagai penuntun dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten peserta sehingga sararan dan tujuan penyusunan Renstra dapat dicapai.

Tujuan dari Pedoman Umum ini adalah:

1.

Menyediakan informasi tentang prinsip-prinsip pengelolaan terumbu karang sehingga sebagai landasan dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten

2. Memberikan tahapan dan proses dalam menyusun Renstra Terumbu Karang Kabupaten

3. Menyediakan panduan tentang isi yang termuat dalam Renstra Terumbu Karang Kabupaten

 

PANDUAN SELENGKAPNYA SEBAGAIMANA TERLAMPIR

Rabu, 19 Desember 2007

Hikmah Idul Adha

Salam Idul Adha buat semua Muslimin dan Muslimat!

Semoga Idul Adha kali ini lebih dihayati, bukan sekadar untuk dirayakan sahaja. Sama-sama kita muhasabah diri, mengenang tentang kesanggupan Nabi Ibrahim AS untuk mengorbankan anaknya, Nabi Ismail AS demi menurut perintah Allah SWT...

Bagaimana dengan kita? Adakah kita sanggup 'mengorbankan' sesuatu demi memenuhi suruhan dan larangan Allah SWT? Masakan, yang tidak memerlukan pengorbanan pun sukar untuk kita laksanakan. Sama-sama kita renungkan...

Apakah definisi Idul Adha yang sebenarnya?
Berkenaan pengertian Idul Adha, di sini dinyatakan 3 buah hadith yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah di dalam lafaz yang berbeza-beza:

"Dari Abi Hurairah RA, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda. Puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fitri itu ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adha itu ialah pada hari kamu menyembelih haiwan." (Riwayat Tirmidzi)

Hadith ini adalah sahih dan dikeluarkan oleh Imam-imam: Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324 dan Ibnu Majah No. 1660.

Di dalam lafaz Imam Ibnu Majah:
"(Idul) Fitri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adha pada hari kamu menyembelih haiwan." (Riwayat Ibnu Majah)


Manakala yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:
"Dan (Idul) Fitri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan (Idul) Adha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih haiwan." (Riwayat Abu Dawud)

Berkenaan ibadat korban, ingin saya kongsikan bersama terjemahan artikel karangan Abu-At-Thayyib Shidiq Hasan bin Ali Al-Hushaini Al-Qanuji Al-Bukhari yang berjudul Tatacara Penyembelihan Korban. Hasil penulisan ini diterjemahkan dari kitab Ar-Raudhatun Nadhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, karangan Abu Abdirrahman Asykari bin Jamaluddin Al-Bugisy. Moga artikel ini bermanfaat buat anda semua, insyaAllah!

1. Disyariatkan Bagi Setiap Keluarga
Berdasarkan hadith Abu Ayyub Al-Anshary, beliau berkata:
“Pada zaman Rasulullah SAW, ada seorang berkorban dengan seekor kambing untuknya dan keluarga-nya."(Riwayat Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan disahihkannya dan dikeluarkan Ibnu Majah semisal hadith Abu Sarihah dengan sanad sahih)

Jumhur berpendapat bahawa hukum berkorban adalah sunnah, bukan wajib. Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Malik. Dan beliau berkata : "Saya tidak menyukai seseorang yang kuat (sanggup) untuk membelinya (binatang ) lalu dia meninggalkannya.” Pendapat Imam Syafi'i adalah sama.

Adapun Rabi'ah, Al-Auza'i, Abu Hanifah dan Al-Laits, dan sebahagian pengikut Malikiyah berpendapat bahawa hukumnya wajib bagi yang mampu. Demikian pula yang diceritakan dari Imam Malik dan An-Nakha'iy.

Orang-orang yang berpendapat akan wajibnya (berkorban) berpegang pada hadith :
"Tiap-tiap ahli bait (keluarga) harus ada sembelihan (udhiyah)."

Imam Thahawi dan lainnya berkata bahawa Rasulullah SAW telah bersabda:
"Barangsiapa yang mempunyai kemampuan (untuk berkorban) lalu dia tidak berkorban maka jangan sekali-kali mendekati tempat solat kami."

Diantaranya juga adalah jadith Jundub bin Sufyan Al-Bajaly dalam Sahihain dan lainnya, berkata bahawa Rasulullah SAW telah bersabda:
"Sesiapa yang menyembelih sebelum dia solat maka hendaklah dia menyembelih sekali lagi sebagai gantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih hingga kami selesai solat, maka hendaklah dia menyembelih dengan (menyebut) nama Allah."

Dan yang semisal hadith ini tidak bisa dijadikan hujah, kerana pada sanad-sanadnya ada perawi yang dituduh berdusta dan ada yang sangat dha’if.

2. Korban Dilakukan Paling Sedikit ialah Seekor Kambing

Berdasarkan hadith yang terdahulu, Al-Mahally berkata:
"Unta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk seorang. Tapi apabila mempunyai keluarga, maka (dengan seekor kambing itu) mencukupi untuk keseluruhan mereka. Demikian pula dikatakan bagi setiap orang di antara tujuh orang yang turut serta dalam penyembelihan unta dan sapi. Jadi hukum berkorban adalah sunnah kifayah (sudah memadai keseluruhan dengan satu korban) bagi setiap keluarga, dan sunnah 'ain (setiap orang) bagi yang tidak memiliki rumah (keluarga)."

Menurut ulama’ Hanafiah, seekor kambing tidak mencukupi melainkan untuk seorang sahaja. Sedangkan sapi dan unta tidak mencukupi melainkan untuk setiap tujuh orang. Mereka tidak membezakan di antara yang berkeluarga dan tidak. Menurut mereka berdasarkan penakwilan hadith itu, maka berkorban tidaklah wajib kecuali atas orang-orang yang kaya dan tidaklah orang tersebut dianggap kaya menurut keumuman di zaman itu kecuali orang yang memiliki rumah.

Dan dinisbahkan korban tersebut kepada keluarganya dengan maksud bahawa mereka membantunya di dalam berkorban dan mereka memakan dagingnya serta mengambil manfaatnya.

Juga dibenarkan melibatkan tujuh orang pada seekor unta atau sapi, meskipun mereka adalah dari keluarga yang berbeza. Ini merupakan pendapat para ulama’. Selain itu, tidak ada korban untuk janin (belum lahir).

3. Waktunya Berkorban Setelah Melaksanakan Solat Idul Adha
Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa menyembelih sebelum solat hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan sesiapa yang belum menyembelih hingga kami selesai solat maka menyembelihlah dengan Bismillah."
Hadith ini terdapat di dalam Sahihain.

Di dalam Sahihain dari hadith Anas, Nabi SAW bersabda:
"Sesiapa yang menyembelih sebelum solat maka hendaklah dia mengulanginya." (Riwayat Bukhari)

Berkata Ibnu Qayyim: "Dan tidak ada pendapat seseorang dengan adanya (perkataan) Rasulullah SAW, yang ditanya oleh Abu Burdah bin Niyar tentang seekor kambing yang disembelihnya pada hari Idul Adha, lalu beliau berkata:

“Apakah (dilakukan) sebelum solat?” Dia menjawab: “Ya.” Beliau SAW berkata: Itu adalah kambing daging (yakni bukan kambing korban).” (Riwayat Muslim)

Ibnu Qayyim berkata : "Hadith ini sahih dan jelas menunjukkan bahwa sembelihan sebelum solat tidak dianggap (korban), sama sahaja apakah telah masuk waktunya atau belum. Inilah yang kita jadikan pegangan secara qat'i (pasti) dan tidak diperbolehkan (berpendapat) selainnya. Dan pada riwayat tersebut terdapat penjelasan bahawa yang dijadikan penentuan (berkorban) adalah solatnya Imam.”

4. Akhir Waktunya Adalah Di Akhir Hari-hari Tasyriq
Berdasarkan hadith Jubair bin Mut'im dari Nabi SAW, bersabda:
"Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan.”
Hadith ini dikeluarkan Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam sahihnya dan Al-Baihaqi. Dan terdapat jalan lain yang menguatkan antara satu dengan riwayat yang lainnya. Hadith ini juga diriwayatkan dari hadith Jabir dan lainnya dan ini diriwayatkan segolongan dari sahabat. Maka perselisihan di dalam perkara ini adalah ma'ruf.

Di dalam Al-Muwatha' dari Ibnu Umar:
"Al-Adha (berkurban) dua hari setelah dari Adha."

Demikian pula dari Ali bin Abi Talib. Manakala pendapat Al-Hanafiah dan madhab Syafi'iyah bahawa akhir waktunya sampai terbenamnya matahari dari akhir hari-hari tasyriq berdasarkan hadith Imam Al-Hakim yang menunjukkan hal tersebut.

5. Sembelihan yang Terbaik adalah yang Paling Gemuk
Berdasarkan hadith Abu Rafi':
"Bahawa Nabi SAW bila berkorban, membeli dua qibas yang gemuk.” (Riwayat Ahmad dan lainnya dengan sanad Hasan).

Hadith yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari bahawa Abu Umamah bin Sahl berkata:
"Adalah kami menggemukkan haiwan korban di Madinah dan kaum Muslimin menggemukkan (haiwan korbannya).” (Riwayat Bukhari)

Korban yang paling afdhal (utama) adalah qibas (domba jantan) yang bertanduk. Sebagaimana yang terdapat pada suatu hadith dari Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi secara marfu' dengan lafaz:
"Sebaik-baik haiwan korban adalah domba jantan yang bertanduk.” (Juga dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dari hadith Abu Umamah dan di dalam sanadnya terdapat 'Ufair bin Mi'dan dan dia dha'if).

Al-Udhiyah (sembelihan kurban) yang dimaksudkan bukanlah Al-Hadyu. Dan terdapat pula nas pada riwayat Al-Udhiyah, maka nah wajib didahulukan dari qiyas (mengqiyaskan udhiyah dengan Al-Hadyu), dan hadith: "Domba jantan yang bertanduk", adalah nas diantara perselisihan ini.

Adapun penyembelihan korban Nabi SAW berupa haiwan yang dikebiri tidak menunjukkan lebih afdhal dari yang lainnya, namun yang ditunjukkan pada riwayat tersebut bahawa berkorban dengan haiwan yang dikebiri adalah boleh.

6. Tidak Mencukupi Korban Ada yang di bawah Al-Jadz'u
Al-jadz’u membawa maksud kambing yang berumur kurang dari satu tahun.

Berdasarkan hadith Jabir dalam riwayat Muslim dan selainnya berkata bahawa telah bersabda Rasulullah SAW:
"Janganlah engkau menyembelih melainkan musinnah (kambing yang telah berumur dua tahun) kecuali bila kalian kesulitan maka sembelihlah jadz'u (kambing yang telah berumur satu tahun)." (Riwayat Muslim)

Dan dikeluarkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah:
"Sebaik-baik sembelihan adalah kambing jadz'u.” (Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi)

Dikeluarkan pula oleh Ahmad dan Ibnu Majah, Al-Baihaqi dan At-Thabrani dari hadith Ummu Bilal binti Hilal dari bapanya bahawa Rasulullah SAW bersabda:
" Boleh berkorban dengan kambing jadz'u.”

Jumhur berpendapat bahawa boleh berkorban dengan kambing jadz'u. Barangsiapa yang beranggapan bahawa kambing tidak memenuhi kecuali untuk satu atau tiga orang sahaja, atau beranggapan bahawa selainnya lebih utama maka hendaklah membawakan dalil. Dan tidaklah cukup menggunakan hadits Al-Hadyu sebab itu adalah bab yang lain.

7. Dan Tidak Mencukupi Selain Dari Ma'zun
Ma’zun adalah kambing yang kurang dua tahun.

Berdasarkan hadith Abu Burdah di dalam Sahihain dan lainnya bahawa dia berkata:
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai haiwan ternak ma'zun jadz'u. Lalu beliau berkata: Sembelihlah, dan tidak boleh untuk selainmu.” (Riwayat Bukhari)

Adapun yang diriwayatkan dalam Sahihain dan lainnya dari hadith 'Uqbah, bahawa Nabi SAW membahagikan kambing kepada para sahabatnya sebagai haiwan korban, lalu yang tersisa adalah 'Atud (anak ma'az). Maka Rasulullah SAW diberitahu, lalu Baginda menjawab: "Berkorbanlah engkau dengan ini.”
Al-'Atud adalah anak ma'az yang umurnya sampai setahun.

Dikeluarkan pula oleh Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih bahwa 'Uqbah berkata:
"Rasulullah SAW membahagikan kambing kepada para sahabatnya sebagai haiwan kurban, lalu tersisa 'atud. Maka beliau berkata: “Berkorbanlah engkau dengannya dan tidak ada rukhsah (keringanan) terhadap seseorang setelah engkau.” (Riwayat Al-Baihaqi)

Al-Imam An-Nawawi menukilkan kesepakatan bahawa tidak mencukupi jadz'u dari ma'az.

Shidiq Hasan Khan berkata: "Mereka sepakat bahawa tidak boleh ada unta, sapi dan ma'az kurang dari dua tahun. Manakala kambing jadz'u boleh menurut mereka dan tidak boleh haiwan yang terpotong telinganya. Namun Abu Hanifah berkata: "Apabila yang terpotong itu kurang dari separuh, maka boleh.”

8. Haiwan Kurban Tidak Buta Sebelah, Sakit, Pincang dan Kurus, Hilang Setengah Tanduk atau Telinganya
Berdasarkan hadith Al-Barra di dalam riwayat Ahmad dan Ahlul Sunan serta disahihkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim:
"Empat yang tidak diperbolehkan dalam berkorban; (Haiwan kuoban) buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas bengkoknya dan tidak sanggup berjalan, dan yang tidak mempunyai lemak (kurus).” (Dalam riwayat lain dengan lafaz-lafaz ajfaa'/kurus pengganti al-kasiirah).

Dan dikeluarkan oleh Ahmad, Ahlul Sunan dan disahihkan At-Tirmidzi dari hadith Ali:
"Rasulullah SAW melarang, seseorang berkorban dengan haiwan yang terpotong setengah dari telinganya.”

Qatadah berkata: "Al-'Adhab, adalah (yang terpotong) setengah dan lebih dari itu.”

Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim dan Bukhari dalam tarikhnya, berkata:
"Hanyasanya Rasulullah SAW melarang dari Mushfarah, Al-Musta'shalah, Al-Bakhqaa', Al-Musyaya'ah dan Al-Kasiirah. Al-Mushafarah adalah yang dihilangkan telinganya dari pangkalnya. Al-Musta'shalah adalah yang hilang tanduknya dari pangkalnya, Al-Bukhqa' adalah yang hilang penglihatannya dan Al-Musyaya'ah adalah yang tidak dapat mengikuti kelompok kambing kerana kurus dan lemahnya, dan Al-Kasiirah adalah yang tidak berlemak.”

9. Bersedekah dari Udhiyah, Memakan dan Menyimpan Dagingnya
Berdasarkan hadith Aisyah RA, bahawa Nabi SAW bersabda:
“Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah.” (Riwayat Muslim)
Diriwayatkan dalam Sahihain.

10. Menyembelih di Kawasan yang Digunakan untuk Shalat Idul Adha adalah Lebih Utama
Untuk memperlihatkan syi'ar agama, berdasarkan hadith Ibnu Umar dari Nabi SAW:
"Bahawa beliau menyembelih dan berkorban di Mussola.” (Riwayat Bukhari)

11. Bagi yang Memiliki Korban, jangan Memotong Rambut dan Kukunya setelah Masuknya 10 Dzul-Hijjah hingga Dia Berkorban
Berdasarkan hadith Ummu Salamah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Apabila engkau melihat bulan Dzul-Hijjah dan salah seorang kalian hendak berkorban, maka hendaklah dia menahan diri dari rambut dan kukunya.” (Riwayat Bukhari)

Di dalam lafaz Muslim dan selainnya:
"Barangsiapa yang punya sembelihan untuk disembelih, maka apabila memasuki bulan Dzul-Hijjah, jangan sekali-kali mengambil (memotong) dari rambut dan kukunya hingga dia berkuoban.” (Riwayat Muslim)


Para ulama' berbeza pendapat di dalam permasalahan ini. Sa'id bin Al-Musayyib, Rabi'ah, Ahmad, Ishaq, Dawud dan sebahagian pendukung Syafi'i berpendapat, bahwa diharamkan memotong rambut dan kukunya sehingga dia menyembelih waktu udhiyah.

Imam Syafi'i dan murid-muridnya berkata makruh tanzih.

Al-Mahdi menukilkan dalam kitab Al-Bahr dari Syafi'i dan selainnya, bahawa meninggalkan mencukur dan memendekkan rambut bagi orang yang hendak berkorban adalah disukai.

Berkata Abu Hanifah bahawa perbuatan itu tidak makruh.

Allahu Ta'ala a'lam...

Posted by Dini Syarif at 1:30 PM (2006)

Selasa, 18 Desember 2007

Kebijakan bidang Konservasi Sumberdaya Ikan

Terumbu karang merupakan bagian dari sumberdaya alam di wilayah pesisir yang pengelolaannya tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya alam lainnya seperti hutan mangrove, dan padang lamun. Karenanya, kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir semakin kuat dengan diundangkannya Undang-undang nomor 27 tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Terkait dengan sumberdaya ikan, Undang-undang ini bersinergi dengan berbagai perundangan lain, diantaranya dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Kaitannya dengan desentralisasi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan perekat hubungan antar beberapa undang-undang sebagai materi muatan dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan Payung kebijakan dalam konservasi sumberdaya ikan, pada tahun 2007 telah di undangkan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan sebagai peraturan organik dari UU 31 tahun 2004. Melalui Peraturan Pemerintah ini diharapkan segala urusan mengenai konservasi sumberdaya ikan termasuk terumbu karang dapat terwadahi.

Sabtu, 08 Desember 2007

Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil

1.       Dasar Pemikiran

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.

Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

2.   Tujuan penyusunan Undang-Undang ini adalah:

a.   menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b.    membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c.    memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.

 

3.   Ruang Lingkup

Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut :

 

a.    Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.

 

b.    Pengelolaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:

1.   Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.

2.   Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3.   Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

4.   Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

 

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.

 

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.

 

c.    Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:

1.   mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;

2.   mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;

3.   memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti  pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.

4.   Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Undang-Undang ini mempunyai hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti:

a.    undang-undang yang mengatur perikanan;

b.    undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;

c.    undang-undang yang mengatur kehutanan;

d.    undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi;

e.    undang-undang yang mengatur penataan ruang;

f.     undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;

g.    undang-undang yang mengatur pelayaran;

h.    undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem;

i.      undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;

j.      undang-undang yang mengatur perairan;

k.    undang-undang yang mengatur kepariwisataan;

l.      undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;

m.   undang-undang yang mengatur sumber daya air;

n.    undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan

o.    undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan.

 

UNDANG-UNDANG NO. 27/2007 SEBAGAIMANA TERLAMPIR

Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Peisisir dan Pulau-pulau Kecil

1.       Dasar Pemikiran

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati disubstitusi dengan sumber daya lain.

Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah, masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

2.   Tujuan penyusunan Undang-Undang ini adalah:

a.   menyiapkan peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait;

b.    membangun sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

c.    memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.

 

3.   Ruang Lingkup

Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Lingkup pengaturan Undang-Undang ini secara garis besar terdiri dari tiga bagian yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian, dengan uraian sebagai berikut :

 

a.    Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut.

Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan; dan (iv) rencana aksi.

 

b.    Pengelolaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mencakup tahapan kebijakan pengaturan sebagai berikut:

1.   Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.

2.   Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di Kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3.   Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

4.   Pengelolaan pulau-pulau kecil dilakukan dalam satu gugus pulau atau kluster dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

 

Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang relatif kaya sering menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduknya padat. Namun, sebagian besar penduduknya relatif miskin dan kemiskinan tersebut memicu tekanan terhadap Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi sumber penghidupannya. Apabila diabaikan, hal itu akan berimplikasi meningkatnya kerusakan Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, masih terdapat kecenderungan bahwa industrialisasi dan pembangunan ekonomi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sering kali memarginalkan penduduk setempat. Oleh sebab itu diperlukan norma-norma pemberdayaan masyarakat.

 

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan terhadap perubahan perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, diperlukan kebijakan dalam pengelolaannya sehingga dapat menyeimbangkan tingkat pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang melalui pengembangan Kawasan Konservasi dan Sempadan Pantai.

 

c.    Pengawasan dan Pengendalian

Pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk:

1.   mengetahui adanya penyimpangan pelaksanaan rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir;

2.   mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya;

3.   memberikan sanksi terhadap pelanggar, baik berupa sanksi administrasi seperti  pembatalan izin atau pencabutan hak, sanksi perdata seperti pengenaan denda atau ganti rugi; maupun sanksi pidana berupa penahanan ataupun kurungan.

4.   Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini merupakan landasan penyesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

Undang-Undang ini mempunyai hubungan saling melengkapi dengan undang-undang lain seperti:

a.    undang-undang yang mengatur perikanan;

b.    undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah;

c.    undang-undang yang mengatur kehutanan;

d.    undang-undang yang mengatur pertambangan umum, minyak, dan gas bumi;

e.    undang-undang yang mengatur penataan ruang;

f.     undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup;

g.    undang-undang yang mengatur pelayaran;

h.    undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam dan ekosistem;

i.      undang-undang yang mengatur peraturan dasar pokok agraria;

j.      undang-undang yang mengatur perairan;

k.    undang-undang yang mengatur kepariwisataan;

l.      undang-undang yang mengatur perindustrian dan perdagangan;

m.   undang-undang yang mengatur sumber daya air;

n.    undang-undang yang mengatur sistem perencanaan pembangunan nasional; dan

o.    undang-undang yang mengatur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan oleh berbagai sektor terkait. Dengan demikian, dapat dihindarkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan.

 

UNDANG-UNDANG NO. 27/2007 SEBAGAIMANA TERLAMPIR

Kamis, 06 Desember 2007

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (PP No 60/2007 KSDI)

Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.   Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pemerintah republik indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. diundangkannya peraturan pemerintah ini memperkuat payung hukum kebijakan dalam bidang kelautan dan perikanan.

PP No. 60 Tahun 2007 sebagaimana terlampir

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (PP No 60/2007 KSDI)

Upaya konservasi sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan, Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.   Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Pemerintah republik indonesia telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. diundangkannya peraturan pemerintah ini memperkuat payung hukum kebijakan dalam bidang kelautan dan perikanan.

PP No. 60 Tahun 2007 sebagaimana terlampir