Senin, 31 Maret 2008

ROSSI: Rekor Podium yang Ekstra Penting

sumber: http://www.detiksport.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/03/tgl/30/time/231232/idnews/915605/idkanal/81
Minggu, 30/03/2008 23:12 WIB
Rossi: Rekor Podium yang Ekstra Penting
Doni Wahyudi - detikSport


AFP/Pierre Philippe-Marcou
Jerez - Finish di posisi dua MotoGP Jerez mengantar Valentino Rossi mencatat rekor podium terbanyak di kelas rajanya motor. Tapi dengan performa yang belum stabil, hasil tersebut punya arti yang lebih penting.

Di Sirkuit Jerez, Minggu (30/3/2008), Rossi menorehkan rekor baru dalam perjalanan karirnya dan juga untuk ajang MotoGP. Menyelesaikan balapan di posisi dua, pembalap Fiat Yamaha itu menjadi orang pertama yang mampu menyelesaikan balapan di atas podium sebanyak 100 kali untuk kelas primer.

Tapi ada yang jauh lebih penting dari sekedar mencatatkan rekor. Menyelesaikan balapan di atas podium setelah cuma berada di posisi lima di Losail tiga pekan lalu menunjukkan kalau juara dunia tujuh kali di kelas yang berbeda itu masih layak diperhitungkan.

"Itu balapan yang sangat penting buat kami. Sangat penting bisa berada di podium hari ini," ungkap Rossi seperti diberitakan Autosport.

Memulai balapan dari posisi lima, Rossi sudah mampu berada di posisi kedua, di belakang Dani Pedrosa, selepas lap keempat. Tapi usaha mengejar jagoan tuan rumah itu tak berhasil hingga balapan berakhir.

Rossi malah nyaris kehilangan posisi dua miliknya karena melakukan selebrasi dini. Dia mengira race sudah selesai padahal masih ada satu lap lagi yang harus diputari.

"Saya menjadi ketakutan (setelah menyadarinya), karena saya pikir itu adalah lap terakhir... sangat luar biasa. Tapi saya bahagia, kami butuh posisi kedua ini. Dan sekarang mari berharap kami selalu bisa finish di podium," pungkas Rossi yang kini duduk di posisi tiga klasemen pembalap dengan koleksi poin 31 itu.

Meski mencatat rekor sebagai pembalap pertama yang mencatat 100 podium, namun kegagalan menjuarai MotoGP Jerez ini juga menorehkan catatam buruk lain. Inilah untuk kali pertama, sejak tahun 2000 lalu Rossi gagal menjadi juara dalam enam seri beruntun

Dani Pedrosa dominates in home GP

source: http://www.motorcyclenews.com/MCN/sport/sportresults/mcn/2008/march/24-30/mar3008jerezmotogpdanipedrosadominatesathomegp/?&R=EPI-99516
Jerez MotoGP: Dani Pedrosa dominates in home GP
By Rob Hull

MotoGP

30 March 2008 14:04


Dani Pedrosa led today’s Jerez MotoGP race from turn one right to the flag with a mistake-free performance.

Pedrosa took the lead going into the first turn to get ahead of pole-sitter Jorge Lorenzo and teammate Nicky Hayden.

And it turned out to be a race of strange fortunes.

Casey Stoner, who is usually impeccable when it comes to keeping the bike on the island since moving to Ducati, had gravel-bound trips on two occasions, while Valentino Rossi seemed to have lost concentration when he wheelied and celebrated his second position on the penultimate lap.

Rossi still managed second despite the premature celebrations, ahead of teammate Lorenzo and an impressive Nicky Hayden.

The first incident occurred on lap two when Rossi dropped underneath ex-teammate Colin Edwards for fifth at the hairpin at the end of the long back straight, only for Stoner just behind to run into the turn too hot and end up last after recovering from the gravel trap.

On lap four Rossi passed Lorenzo going into the series of Nieto right-handers but once there could do nothing about the immensely quick Pedrosa.

Edwards crashed out early on lap five but his Tech 3 Yamaha compatriot James Toseland forced his way up to fifth.

Toseland, who was applauded for his aggressive riding and overtaking at Qatar, proved he was able to mix it with the best by muscling both Chris Vermeulen and Andrea Dovizioso out of the way to make forward movement.

On lap 21 Nicky Hayden provided fans with the save of the day, replicating Edwards’ near crash at turn one in qualifying yesterday when the 2006 MotoGP champion lost the front end but held the bike up on his right knee and elbow!

Two laps after Hayden’s near crash, Casey Stoner went off again at the same corner as he did on the second lap when he was cut-up by Nakano who was in turn making a move on another rider.

Pedrosa eased off by the end of the race, dropping the gap to Rossi in second down to three seconds.

With the top four positions decided before the final lap, the real battle was for fifth.

And unfortunately James Toseland, who appeared to be the quickest out of the bunch, was blocked out of fifth by frantic last turn moves by Loris Capirossi and Dovizioso. JT still managed a respectable sixth.

Pedrosa now leads the championship after two races, just ahead of fellow Spaniard Jorge Lorenzo in second, Rossi third and Stoner fourth.

RESULTS

1. Dani Pedrosa
2. Valentino Rossi
3. Jorge Lorenzo
4. Nicky Hayden
5. Loris Capirossi
6. James Toseland
7. John Hopkins
8. Andrea Dovizioso
9. Shinya Nakano
10. Chris Vermeulen
11. Casey Stoner
12. Marco Melandri
13. Anthony West
14. Alex de Angelis
15. Toni Elias
16. Sylvain Guintoli

DNF:
Colin Edwards
Randy de Puniet

Kamis, 27 Maret 2008

Terumbu Karang Sehat Ikan Berlimpah


http://coremap2.blogspot.com
...Memperkuat Kapasitas Kelembagaan, Merehabilitasi dan mengelola ekosistem Terumbu Karang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan...

Terumbu Karang Sehat Ikan Berlimpah


http://coremap2.blogspot.com
...Memperkuat Kapasitas Kelembagaan, Merehabilitasi dan mengelola ekosistem Terumbu Karang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan...

Rabu, 26 Maret 2008

Kunjungi Stand COREMAP II dalam Deep Indonesia 2008


COREMAP II berpartisipasi dalam Pameran bawah laut TERBESAR di Indonesia "Deep Indonesia 2008", di Jakarta Convention Center, 28-30 Maret 2008. dalam Pameran ini, secara RESMI International Year of the Reef 2008 (IYOR 2008) di Indonesia di LUNCURKAN. Booth COREMAP II menempati stand Kavling A7.

Senin, 24 Maret 2008

BouncyTown at Parkir Timur Senayan




menthul-menthul lompat-lompatan..., anak-anak pada maen di parkir timur senayan, 4 November 2007.... PANAS.... tapi ASYIK kaleee...

BouncyTown at Parkir Timur Senayan




menthul-menthul lompat-lompatan..., anak-anak pada maen di parkir timur senayan, 4 November 2007.... PANAS.... tapi ASYIK kaleee...

apakah Matahari Mengelilingi Bumi?

apakah Matahari Mengelilingi Bumi?...
ya, pertanyaan inilah yang terus menggelitik.
MATAHARI MENGELILINGI BUMI adalah judul buku yang sudah beredar mungkin sejak tahun 2006.Saya sendiri sudah memegang buku tersebut karena dipinjami oleh salah seorang teman, ehm... dan memang buku itu belum mulai saya baca..., buku itu dipinjamkan lagi ke seorang teman yang lain. saat senggang kemarin-kemarin lalu, saya membuka mesin pencarian untuk sekedar mencari tahu apakah matahari mengelilingi bumi?.... ternyata cukup banyak tulisan ataupun posting dalam blog atau website tentang hal tersebut.... diskusi mengenai maslah ini terus berlanjut dan terasa hangat hingga sekarang...
Silahkan klick berikut ini untuk memperoleh tulisan selengkapnya:
1. alislamu.com
2. harry.sufehmi.com
3. daunsalam.net
4. ech.blogspot.com

pada akhirnya, ALQURAN tak mungkin salah, yang mungkin salah adalah para penafsirnya (manusia).

Sabtu, 22 Maret 2008

Kawasan Konservasi Perairan (laut) dan Perikanan Berkelanjutan

Manfaat Wilayah Pesisir

Secara global Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penyuplai ikan dunia dengan total penerimaan devisa negara hampir US$ 2 milyar. Selain itu, sumberdaya di kawasan tersebut menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pesisir. Lebih dari 2 juta orang terlibat secara langsung dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut, yang menghasilkan dampak berganda cukup tinggi bagi masyarakat pesisir. Dari ekosistem terumbu karang, nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dari ikan hias di Indionesia sekitar US$ 32 juta/tahun (Cesar,1996). Selain jenis ikan, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai ekonomi non konsumtif, antara lain pariwisata, pelin-dung pantai, dan ke-ragaman hayati. Nilai keragaman hayati te-rumbu karang Indonesia, misalnya, diperki-rakan sekitar US$ 7,8 juta. Adapun total nilai ekosistem terumbu ka-rang Indonesia diper-kirakan sekitar US$ 466 juta (nilai bersih) sampai dengan US$ 567 juta (nilai kotor) (GEF/UNDP/IMO, 1999).

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkaya dalam keanekaragaman hayatinya karena memiliki lebih dari 77 genera dan 450 spesies terumbu karang, serta tercatat memiliki lebih dari 2000 spesies ikan (Hanson et. al., 2003). Selain itu, perikanan Indonesia mewakili lebih dari 37% dari total spesies dunia yang mencakup kawasan perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (NOAA, 1999). Garis pantai Indonesia menduduki urutan kedua terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang sekitar 81.000 km dan memiliki sekitar 10.000 - 17.000 pulau-pulau kecil (Sumardja E, 2002).

Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan menetralkan senyawa kimia beracun tertentu sebelum terdedah ke perairan bebas. Di sisi lain, hutan mangrove dapat menjadi bangunan alami yang meredam gempuran ombak yang mengikis pantai. Hutan mangrove menjadi tempat hidup berbagai jenis makhluk hidup serta daerah asuhan bagi jenis-jenis ikan tertentu dari asosiasi habitat sekitarnya seperti padang lamun dan terumbu karang. Hasil perhitungan GEF/UNDP/IMO (1999) menunjukkan, nilai manfaat ekosistem mangrove untuk wilayah Indonesia cukup besar, yakni diperkirakan sebesar US$ 1,8 milyar (nilai bersih) sampai US$2,3 milyar (nilai kotor).

Hamparan lamun, selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi ikan-ikan, juga berperan dalam mengontrol sedimentasi akibat aliran air permukaan (run-off) dari daratan. Salah satu sumberdaya penting dari hamparan lamun ini yang kontribusinya tidak bisa diabaikan adalah rumput laut.

Perkiraan manfaat konsumsi langsung dari sumberdaya ini adalah berkisar antara Rp 0,5 milyar sampai Rp 1 milyar per tahun. Hasil perhitungan GEF/UNDP/IMO memperkirakan bahwa nilai kegunaan rumput laut dan ekosistem lamun sekitar US$ 16 juta, yang meliputi nilai perikanan dan perlindungan pantai serta keanekaragaman hayati (Idris et. al., 2001). Padang lamun ini pun telah banyak mengalami kehancuran serta mengakibatkan daerah laguna dan pesisir menjadi rentan terhadap erosi dan badai.

Nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang cukup penting lainnya adalah pantai. Kawasan pantai banyak memberikan manfaat ekonomi antara lain untuk kegiatan pariwisata dan tempat penetasan telur penyu. Total nilai ekonomi dari kedua pemanfaatan ini sekitar US$ 348 juta (nilai kotor) atau sekitar US$ 248 juta (nilai bersih) (GEF/UNDP/IMO, 1999).

Dengan potensi dan kondisi yang demikian, tak mengherankan jika wilayah pesisir menjadi tujuan utama manusia sebagai tempat bermukim dan mempertahankan hidupnya, sekaligus tempat pengembangan usaha yang besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi. Hal ini didukung dengan fakta bahwa dua pertiga kota-kota besar dunia berada di wilayah pesisir. Selain jaminan ketersediaan sumberdaya untuk kehidupan, wilayah pesisir juga merupakan wilayah yang memiliki mobilitas yang tinggi dalam memacu perekonomian, terutama dalam memfasilitasi arus barang dan jasa.  Di Indonesia, sekitar 60 % penduduknya tinggal dekat dengan pesisir dan menggantungkan hidupnya di daerah tersebut. Rata-rata kepadatan penduduk di kebanyakan desa pesisir ini lebih dari 100 orang/km2. Kehidupan sebagian besar masyarakat ini sangat memprihatinkan karena keterbatasan akses mereka terhadap air bersih, kebersihan, dan fasilitas kesehatan, yang menjadikan mereka sangat rentan terhadap penyakit. Selain itu, kebanyakan masyarakat ini juga sangat rentan terhadap bahaya banjir dan badai.

Ditinjau dari pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di daerah darat. Sejak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat berlipat ganda, dari 17 juta di tahun 1995 menjadi hampir 40 juta dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dari 40 juta penduduk ini, 60% adalah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Pendapatan per kapita penduduk di wilayah pesisir ini juga sangat rendah. Perhitungan terakhir menunjukkan, pendapatan per kapita penduduk di daerah pesisir berkisar antara Rp 40.000 (US$ 5) sampai Rp 60.000 (US$7) per bulan. Angka pendapatan per kapita ini berada di bawah batasan garis kemiskinan yang diperkirakan oleh pemerintah, yakni sekitar Rp 90.000 (US$ 10) per kapita per bulan. (Hanson et.al., 2003)

Semakin pesatnya pertambahan penduduk yang menempati wilayah pesisir membuat ancaman terhadap keberadaan sumberdaya pesisir itu sendiri juga semakin besar. Dampaknya adalah terjadinya eksploitasi besar-besaran sumberdaya pesisir, terutama dalam usaha-usaha ekstensifikasi wilayah peruntukan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya pesisir itu sendiri dalam mendukung fungsi pelayanan bagi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif, tidak jelasnya kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

 

Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Menunjang Perikanan Berkelanjutan

Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi laut  di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan (DPI, 2002).

Kawasan konservasi laut  memungkinkan dikembang kannya langkah-langkah pengelo laan yang sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu, langkah-langkah pengelolaan tersebut berbeda dari yang selama ini dilaksanakan semisal kuota, peraturan tentang sarana tangkap dan izin bagi operator di bidang industri pariwisata, yang tidak  bersifat khas daerah. Kawasan konservasi laut memungkinkan dilakukan pemanfaatan secara khusus untuk kawasan-kawasantertentu dan melakukan pelarangan terhadap pemanfaatan serupa untuk wilayah-wilayah disekitarnya.  Misalnya, larangan penangkapan dapat dilakukan di wilayah-wilayah pemijahan, sementara itu penangkapan dengan alat tangkap sederhana (tradisional) masih dapat diijinkan untuk dilakukan di kawasan-kawasan di sekitar wilayah pemijahan tersebut.  Izin kegiatan wisata selam dapat diberikan untuk hampir semua kawasan konservasi laut.

Pengelolaan secara efektif dari wilayah desa-desa pesisir yang jauh letaknya memerlukan manajemen infrastruktur yang sesuai dengan kondisi setempat, dan memerlukan staf manajemen yang mengenal laut di wilayahnya. Struktur manajemen yang tidak memiliki ciri khas setempat pada umumnya tidak memiliki kapasitas seperti ini, namun melalui kawasan konservasi laut  kapasitas ini dapat dikembangkan bagi wilayah-wilayah pesisir yang sangat memerlukan perbaikan di bidang manajemen. Biaya yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan konservasi laut  cukup mahal (sekitar 8 US $/ha/tahun, Balmford et al. 2004), namun manfaat yang diperoleh dari manajemen yang efisien pada umumnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (Box ) dan setidaknya untuk tingkat global, biaya tersebut lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pemberian subsidi kegiatan perikanan yang tidak lestari (Balmford et al 2004).

Muncul kecenderungan global pembentukan kawasan konservasi laut. Departemen kelautan dan perikanan mencanangkan pengembangan kawasan konservasi perairan baik di perairan laut maupun di perairan daratan.Dalam Conference on Convention on Biological Diversity yang diselenggarakan di Brazil pada tanggal  20-31 Maret 2006, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, bertekad untuk membentuk setidaknya 10 juta ha kawasan konservasi laut menjelang 2010. Saat ini 8,3 juta ha kawasan konservasi laut telah dibentuk  (Desember 2007), dengan demikian Indonesia optimis dapat mewujudkan sasaran tersebut. Apakah jaringan tersebut akan dapat mencapai tujuan yang dicanangkan yakni pemanfaatan dengan tetap menjaga aspek keberlanjutan dan pelestarian keanekaragaman hayati atau tidak, akan sangat tergantung pada cara pengelolaan kawasan konservasi  tersebut.

 

Bukti-bukti Ilmiah Manfaat Kawasan Konservasi Laut bagi Perikanan Berkelanjutan

 Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi laut  memiliki dua fungsi:

-   Limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. 

-   Ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan.

Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut  memberikan manfaat tidak langsung berikut:

-   melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial

-   memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.

Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi laut dapat memenuhi keempat fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya (Tabel ), bentuknya, dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan (Gambar ).

Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah larangan penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah perlindungan, Roberts & Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut (lihat Box 2). Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya,  Babcock et al (1999) (dalam Roberts & Hawkins 2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali lipat populasi bulu babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan perlindungan.

Berdasarkan bukti-bukti tentang dampak kawasan konservasi laut tersebut, tidak diragukan lagi bahwa wilayah ini memberikan pasokan telur dan anak ikan untuk wilayah penangkapan sekitarnya.  Selain itu, catatan perubahan populasi ikan menunjukkan bahwa wilayah perlindungan berfungsi sebagai tempat berlindung  ikan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi lapangan untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut, dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (Gambar 1; Roberts & Hawkins 2000).  Selain itu, Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial.

Gambar: Hubungan antara penangkapan berkelanjutan (y) dan bagian dari habitat yang sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (x). Sumber: PISCO (2002)

 

Fungsi Kawasan Konservasi Laut di dalam Pengelolaan Pariwisata

 

Kawasan konservasi Laut memberikan sumbangan penting di dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam (eko-wisata) sebagai berikut:

* Perlindungan secara lebih baik terhadap habitat dan ikan membuat suatu wilayah lebih menarik untuk dijadikan sebagai tujuan ekowisata, khususnya jika wilayah perlindungan tersebut cukup luas untuk menampung spesies ikan berukuran besar semisal grouper, snapper, atau hiu.

Label kawasan konservasi Laut dan publikasi yang dihasilkan biasanya akan meningkatkan profil suatu wilayah sebagai tujuan eko-wisata.

* Melalui pengelolaan kawasan konservasi Laut, dampak negatif kegiatan pariwisata dapat dikendalikan. Misalnya, penggunaan pelampung pada pe-nambat kapal dapat menghindari kerusakan saat membuang sauh.

* Kawasan Konservasi Laut dapat dipergunakan untuk mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang tidak sesuai dengan eko-wisata.

Jika tidak dikendalikan, ekowisata dapat menda-tangkan ancaman bagi nilai-nilai alamiah dari wilayah tersebut. Namun, biaya untuk pengendalian dan manajemen pada umumnya lebih rendah daripada manfaat yang diperoleh dari industri pariwisata ber-kelanjutan (Roberts and Hawkins 2000), dan pariwisata sering diha-rapkan untuk menutup pembiayaan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan lainnya. Di Indonesia, Komodo National Park (CCIF 2006) dan Bunaken National Park (Erdmann et al 2004) dapat menutup sebagian pembiayaan manajemennya melalui sistem retribusi pariwisata.

Secara tidak langsung, kawasan konservasi Laut dapat memberikan sum-bangan yang cukup besar bagi perekonomian se-tempat dengan cara mem-buat wilayah tersebut menarik sebagai tujuan ekowisata. Misalnya, di Wakatobi National Park, Operation Wallacea menawarkan kombinasi riset dan wisata bawah air, yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian masyarakat di pulau Hoga. Di Raja Ampat,   setiap turis yang akan melakukan wisata selam diwajibkan membayar kepada pemerintah daerah, dan pendapatan ekstra ini mendorong pemerintah daerah untuk membentuk jaringan Wilayah Perlindungan Laut yang dapat menjaga kelestarian terumbu karang di Raja Ampat. Banyak pemerintah daerah lainnya di Indonesia yang berpandangan bahwa pembentukan Wilayah Perlindungan Laut sebagai langkah awal pengembangan ekowisata.

 

::] dari berbagai sumber [::

Kawasan Konservasi Perairan (laut) dan Perikanan Berkelanjutan

Manfaat Wilayah Pesisir

Secara global Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara penyuplai ikan dunia dengan total penerimaan devisa negara hampir US$ 2 milyar. Selain itu, sumberdaya di kawasan tersebut menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat pesisir. Lebih dari 2 juta orang terlibat secara langsung dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut, yang menghasilkan dampak berganda cukup tinggi bagi masyarakat pesisir. Dari ekosistem terumbu karang, nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dari ikan hias di Indionesia sekitar US$ 32 juta/tahun (Cesar,1996). Selain jenis ikan, ekosistem terumbu karang juga memiliki nilai ekonomi non konsumtif, antara lain pariwisata, pelin-dung pantai, dan ke-ragaman hayati. Nilai keragaman hayati te-rumbu karang Indonesia, misalnya, diperki-rakan sekitar US$ 7,8 juta. Adapun total nilai ekosistem terumbu ka-rang Indonesia diper-kirakan sekitar US$ 466 juta (nilai bersih) sampai dengan US$ 567 juta (nilai kotor) (GEF/UNDP/IMO, 1999).

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang terkaya dalam keanekaragaman hayatinya karena memiliki lebih dari 77 genera dan 450 spesies terumbu karang, serta tercatat memiliki lebih dari 2000 spesies ikan (Hanson et. al., 2003). Selain itu, perikanan Indonesia mewakili lebih dari 37% dari total spesies dunia yang mencakup kawasan perairan laut sekitar 5,8 juta km2 (NOAA, 1999). Garis pantai Indonesia menduduki urutan kedua terpanjang di dunia setelah Kanada dengan panjang sekitar 81.000 km dan memiliki sekitar 10.000 - 17.000 pulau-pulau kecil (Sumardja E, 2002).

Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan menetralkan senyawa kimia beracun tertentu sebelum terdedah ke perairan bebas. Di sisi lain, hutan mangrove dapat menjadi bangunan alami yang meredam gempuran ombak yang mengikis pantai. Hutan mangrove menjadi tempat hidup berbagai jenis makhluk hidup serta daerah asuhan bagi jenis-jenis ikan tertentu dari asosiasi habitat sekitarnya seperti padang lamun dan terumbu karang. Hasil perhitungan GEF/UNDP/IMO (1999) menunjukkan, nilai manfaat ekosistem mangrove untuk wilayah Indonesia cukup besar, yakni diperkirakan sebesar US$ 1,8 milyar (nilai bersih) sampai US$2,3 milyar (nilai kotor).

Hamparan lamun, selain berfungsi sebagai daerah asuhan bagi ikan-ikan, juga berperan dalam mengontrol sedimentasi akibat aliran air permukaan (run-off) dari daratan. Salah satu sumberdaya penting dari hamparan lamun ini yang kontribusinya tidak bisa diabaikan adalah rumput laut.

Perkiraan manfaat konsumsi langsung dari sumberdaya ini adalah berkisar antara Rp 0,5 milyar sampai Rp 1 milyar per tahun. Hasil perhitungan GEF/UNDP/IMO memperkirakan bahwa nilai kegunaan rumput laut dan ekosistem lamun sekitar US$ 16 juta, yang meliputi nilai perikanan dan perlindungan pantai serta keanekaragaman hayati (Idris et. al., 2001). Padang lamun ini pun telah banyak mengalami kehancuran serta mengakibatkan daerah laguna dan pesisir menjadi rentan terhadap erosi dan badai.

Nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang cukup penting lainnya adalah pantai. Kawasan pantai banyak memberikan manfaat ekonomi antara lain untuk kegiatan pariwisata dan tempat penetasan telur penyu. Total nilai ekonomi dari kedua pemanfaatan ini sekitar US$ 348 juta (nilai kotor) atau sekitar US$ 248 juta (nilai bersih) (GEF/UNDP/IMO, 1999).

Dengan potensi dan kondisi yang demikian, tak mengherankan jika wilayah pesisir menjadi tujuan utama manusia sebagai tempat bermukim dan mempertahankan hidupnya, sekaligus tempat pengembangan usaha yang besar manfaatnya bagi pembangunan ekonomi. Hal ini didukung dengan fakta bahwa dua pertiga kota-kota besar dunia berada di wilayah pesisir. Selain jaminan ketersediaan sumberdaya untuk kehidupan, wilayah pesisir juga merupakan wilayah yang memiliki mobilitas yang tinggi dalam memacu perekonomian, terutama dalam memfasilitasi arus barang dan jasa.  Di Indonesia, sekitar 60 % penduduknya tinggal dekat dengan pesisir dan menggantungkan hidupnya di daerah tersebut. Rata-rata kepadatan penduduk di kebanyakan desa pesisir ini lebih dari 100 orang/km2. Kehidupan sebagian besar masyarakat ini sangat memprihatinkan karena keterbatasan akses mereka terhadap air bersih, kebersihan, dan fasilitas kesehatan, yang menjadikan mereka sangat rentan terhadap penyakit. Selain itu, kebanyakan masyarakat ini juga sangat rentan terhadap bahaya banjir dan badai.

Ditinjau dari pendidikan, tingkat pendidikan masyarakat di wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih rendah dibandingkan dengan di daerah darat. Sejak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat berlipat ganda, dari 17 juta di tahun 1995 menjadi hampir 40 juta dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dari 40 juta penduduk ini, 60% adalah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir. Pendapatan per kapita penduduk di wilayah pesisir ini juga sangat rendah. Perhitungan terakhir menunjukkan, pendapatan per kapita penduduk di daerah pesisir berkisar antara Rp 40.000 (US$ 5) sampai Rp 60.000 (US$7) per bulan. Angka pendapatan per kapita ini berada di bawah batasan garis kemiskinan yang diperkirakan oleh pemerintah, yakni sekitar Rp 90.000 (US$ 10) per kapita per bulan. (Hanson et.al., 2003)

Semakin pesatnya pertambahan penduduk yang menempati wilayah pesisir membuat ancaman terhadap keberadaan sumberdaya pesisir itu sendiri juga semakin besar. Dampaknya adalah terjadinya eksploitasi besar-besaran sumberdaya pesisir, terutama dalam usaha-usaha ekstensifikasi wilayah peruntukan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Dari sisi ketersediaan sumberdaya yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian akan mengurangi kemampuan sumberdaya pesisir itu sendiri dalam mendukung fungsi pelayanan bagi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir dalam jangka panjang. Pengabaian terhadap tata ruang wilayah pesisir, pemanfaatan yang bersifat destruktif, tidak jelasnya kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, serta rendahnya keterlibatan masyarakat akan bermuara pada kurang optimalnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

 

Manfaat Kawasan Konservasi Perairan Menunjang Perikanan Berkelanjutan

Kawasan konservasi laut sering dianggap sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Namun kawasan konservasi laut juga dapat memainkan peran penting di dalam pengelolaan perikanan dan pariwisata. Selama ini manfaat perikanan dan pariwisata dipandang sebagai hasil samping dari pelestarian keanekaragaman hayati, namun para ilmuwan dan manajer akhir-akhir ini mengubah cara pandang tersebut dengan memberikan penekanan pada manfaat kawasan konservasi laut  di dalam pengelolaan manfaat. Misalnya, Program Kawasan Habitat Ikan Australia secara khusus menyatakan bahwa kawasan konservasi laut berfungsi untuk meningkatkan perikanan, sementara pelestarian keanekaragaman hayati dipandang hanya sebagai manfaat tambahan (DPI, 2002).

Kawasan konservasi laut  memungkinkan dikembang kannya langkah-langkah pengelo laan yang sesuai dengan kondisi setempat. Untuk itu, langkah-langkah pengelolaan tersebut berbeda dari yang selama ini dilaksanakan semisal kuota, peraturan tentang sarana tangkap dan izin bagi operator di bidang industri pariwisata, yang tidak  bersifat khas daerah. Kawasan konservasi laut memungkinkan dilakukan pemanfaatan secara khusus untuk kawasan-kawasantertentu dan melakukan pelarangan terhadap pemanfaatan serupa untuk wilayah-wilayah disekitarnya.  Misalnya, larangan penangkapan dapat dilakukan di wilayah-wilayah pemijahan, sementara itu penangkapan dengan alat tangkap sederhana (tradisional) masih dapat diijinkan untuk dilakukan di kawasan-kawasan di sekitar wilayah pemijahan tersebut.  Izin kegiatan wisata selam dapat diberikan untuk hampir semua kawasan konservasi laut.

Pengelolaan secara efektif dari wilayah desa-desa pesisir yang jauh letaknya memerlukan manajemen infrastruktur yang sesuai dengan kondisi setempat, dan memerlukan staf manajemen yang mengenal laut di wilayahnya. Struktur manajemen yang tidak memiliki ciri khas setempat pada umumnya tidak memiliki kapasitas seperti ini, namun melalui kawasan konservasi laut  kapasitas ini dapat dikembangkan bagi wilayah-wilayah pesisir yang sangat memerlukan perbaikan di bidang manajemen. Biaya yang diperlukan untuk pengelolaan kawasan konservasi laut  cukup mahal (sekitar 8 US $/ha/tahun, Balmford et al. 2004), namun manfaat yang diperoleh dari manajemen yang efisien pada umumnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan (Box ) dan setidaknya untuk tingkat global, biaya tersebut lebih kecil dari pada biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk pemberian subsidi kegiatan perikanan yang tidak lestari (Balmford et al 2004).

Muncul kecenderungan global pembentukan kawasan konservasi laut. Departemen kelautan dan perikanan mencanangkan pengembangan kawasan konservasi perairan baik di perairan laut maupun di perairan daratan.Dalam Conference on Convention on Biological Diversity yang diselenggarakan di Brazil pada tanggal  20-31 Maret 2006, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, bertekad untuk membentuk setidaknya 10 juta ha kawasan konservasi laut menjelang 2010. Saat ini 8,3 juta ha kawasan konservasi laut telah dibentuk  (Desember 2007), dengan demikian Indonesia optimis dapat mewujudkan sasaran tersebut. Apakah jaringan tersebut akan dapat mencapai tujuan yang dicanangkan yakni pemanfaatan dengan tetap menjaga aspek keberlanjutan dan pelestarian keanekaragaman hayati atau tidak, akan sangat tergantung pada cara pengelolaan kawasan konservasi  tersebut.

 

Bukti-bukti Ilmiah Manfaat Kawasan Konservasi Laut bagi Perikanan Berkelanjutan

 Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi laut  memiliki dua fungsi:

-   Limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. 

-   Ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan.

Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut  memberikan manfaat tidak langsung berikut:

-   melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial

-   memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.

Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi laut dapat memenuhi keempat fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya (Tabel ), bentuknya, dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan (Gambar ).

Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi laut. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa wilayah larangan penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah perlindungan, Roberts & Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut (lihat Box 2). Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya,  Babcock et al (1999) (dalam Roberts & Hawkins 2000) melaporkan penurunan 3 (tiga) kali lipat populasi bulu babi di dalam kawasan perlindungan, sementara itu populasi tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar kawasan perlindungan.

Berdasarkan bukti-bukti tentang dampak kawasan konservasi laut tersebut, tidak diragukan lagi bahwa wilayah ini memberikan pasokan telur dan anak ikan untuk wilayah penangkapan sekitarnya.  Selain itu, catatan perubahan populasi ikan menunjukkan bahwa wilayah perlindungan berfungsi sebagai tempat berlindung  ikan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi lapangan untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut, dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (Gambar 1; Roberts & Hawkins 2000).  Selain itu, Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat kawasan perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari wilayah perlindungan bagi perikanan komersial.

Gambar: Hubungan antara penangkapan berkelanjutan (y) dan bagian dari habitat yang sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (x). Sumber: PISCO (2002)

 

Fungsi Kawasan Konservasi Laut di dalam Pengelolaan Pariwisata

 

Kawasan konservasi Laut memberikan sumbangan penting di dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam (eko-wisata) sebagai berikut:

* Perlindungan secara lebih baik terhadap habitat dan ikan membuat suatu wilayah lebih menarik untuk dijadikan sebagai tujuan ekowisata, khususnya jika wilayah perlindungan tersebut cukup luas untuk menampung spesies ikan berukuran besar semisal grouper, snapper, atau hiu.

Label kawasan konservasi Laut dan publikasi yang dihasilkan biasanya akan meningkatkan profil suatu wilayah sebagai tujuan eko-wisata.

* Melalui pengelolaan kawasan konservasi Laut, dampak negatif kegiatan pariwisata dapat dikendalikan. Misalnya, penggunaan pelampung pada pe-nambat kapal dapat menghindari kerusakan saat membuang sauh.

* Kawasan Konservasi Laut dapat dipergunakan untuk mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang tidak sesuai dengan eko-wisata.

Jika tidak dikendalikan, ekowisata dapat menda-tangkan ancaman bagi nilai-nilai alamiah dari wilayah tersebut. Namun, biaya untuk pengendalian dan manajemen pada umumnya lebih rendah daripada manfaat yang diperoleh dari industri pariwisata ber-kelanjutan (Roberts and Hawkins 2000), dan pariwisata sering diha-rapkan untuk menutup pembiayaan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan lainnya. Di Indonesia, Komodo National Park (CCIF 2006) dan Bunaken National Park (Erdmann et al 2004) dapat menutup sebagian pembiayaan manajemennya melalui sistem retribusi pariwisata.

Secara tidak langsung, kawasan konservasi Laut dapat memberikan sum-bangan yang cukup besar bagi perekonomian se-tempat dengan cara mem-buat wilayah tersebut menarik sebagai tujuan ekowisata. Misalnya, di Wakatobi National Park, Operation Wallacea menawarkan kombinasi riset dan wisata bawah air, yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian masyarakat di pulau Hoga. Di Raja Ampat,   setiap turis yang akan melakukan wisata selam diwajibkan membayar kepada pemerintah daerah, dan pendapatan ekstra ini mendorong pemerintah daerah untuk membentuk jaringan Wilayah Perlindungan Laut yang dapat menjaga kelestarian terumbu karang di Raja Ampat. Banyak pemerintah daerah lainnya di Indonesia yang berpandangan bahwa pembentukan Wilayah Perlindungan Laut sebagai langkah awal pengembangan ekowisata.

 

::] dari berbagai sumber [::

Kawasan Konservasi Laut Daerah (wilayah COREMAP II - ADB)

Sabtu, 15 Maret 2008

Merangkul Nelayan, Menyelamatkan Terumbu Karang

Merangkul Nelayan, Menyelamatkan Terumbu Karang
 
Rabu, 12 Maret 2008 | 02:19 WIB

Oleh DWI AS SETIANINGSIH

Kehidupan masyarakat Bajo yang lekat dengan laut menjadikan keberadaan masyarakat setempat itu diakui dunia internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari kelestarian laut.

Penyelamatan terumbu karang yang kini terus digenjot pemerintah melalui program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Project/ Coremap) melibatkan banyak komunitas nelayan, salah satunya masyarakat Bajo.

Di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), populasi masyarakat Bajo mencapai 380.000 jiwa. Mereka tersebar di 328 desa di seluruh Sultra, menggantungkan hidup dari laut sejak berpuluh- puluh tahun lalu.

Di Kabupaten Wakatobi, nelayan Bajo kini aktif menjadi motivator dalam hal pelestarian terumbu karang. Penyelamatan terumbu karang di Wakatobi memiliki peran penting karena luas areal terumbu karang Wakatobi yang merupakan bagian dari segitiga karang dunia mencapai 90.000 hektar terdiri dari 750 jenis terumbu karang.

Jumlah itu mencapai 90 persen dari terumbu karang dunia yang saat ini sekitar 850 jenis. Sekitar 942 jenis ikan hidup di laut Wakatobi. Selain tuna dan cakalang, salah satu spesies laut yang hingga kini hanya ditemukan di laut Wakatobi adalah kuda laut moncong babi (pigmy sea horse).

Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Wakatobi adalah jantung segitiga karang dunia. Menyelamatkan terumbu karang di Wakatobi sama artinya dengan menyelamatkan mayoritas jenis terumbu karang di dunia.

Terumbu karang sangat besar perannya sebagai tempat bagi banyak spesies ikan untuk bertumbuh kembang. Tidak hanya itu, terumbu karang juga bermanfaat sebagai sumber bahan obat dan medis. Menyelamatkan terumbu karang, berarti menjaga ketersediaan ikan bagi kelangsungan kehidupan.

Aktivitas pengeboman yang banyak dilakukan nelayan, termasuk nelayan Bajo, diakui mengakibatkan terumbu karang rusak, bahkan mati. Padahal, kerusakan dan matinya terumbu karang merupakan lonceng kematian bagi spesies ikan di dalamnya.

Saat ini, kerusakan terumbu karang juga mengancam jantung terumbu karang dunia Wakatobi. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra menunjukkan, kerusakan terumbu karang di seluruh Sultra diperkirakan 80 persen.

Kerusakan itu selain diakibatkan bom dan sianida, juga karena pemangsa alami terumbu karang seperti bulu babi atau mahkota berduri. Pemanasan global yang tengah menjadi pembicaraan dunia turut andil menyebabkan kerusakan terumbu karang karena mengakibatkan pemutihan.

Rustam (39), nelayan Bajo yang kini dirangkul Coremap, adalah satu dari sekian nelayan Bajo yang sekitar 15 tahun lalu menggunakan bom dan sianida untuk mencari ikan. Dengan bom dan sianida, kakek satu cucu ini mengakui, hasil laut yang diperoleh jauh lebih besar daripada hanya mengandalkan alat tangkap tradisional, seperti pancing dan jaring.

Dalam satu hari Rustam bisa mendapat uang Rp 100.000. Namun, menurut dia, keuntungan lebih besar justru dinikmati penampung. ”Sementara risiko yang kami hadapi jauh lebih besar,” kata Rustam.

Nelayan seperti Rustam memang tidak paham jika menangkap ikan menggunakan bom dan sianida dapat membahayakan terumbu karang, yang berakibat mengurangi ketersediaan ikan. Bagi mereka, selama hasil tangkapan ikan melimpah, segala cara akan ditempuh.

Kesadaran pentingnya kelestarian terumbu karang yang menjadi ”rumah” bagi ratusan jenis ikan baru timbul sejak Rustam dirangkul Coremap sebagai motivator. Perlahan tetapi pasti, Rustam paham bahwa mengelola terumbu karang dengan baik dan berkesinambungan menjadi hal penting demi keberlanjutan kehidupan masyarakat Bajo yang mengandalkan hidup dari laut.

Sebagai motivator, kini Rustam aktif memotivasi nelayan Bajo untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang ditularkan Rustam kepada nelayan lainnya. Sebagai penopang penghasilan, Rustam dan nelayan lainnya kini belajar membudidayakan ikan menggunakan karamba yang difasilitasi Coremap. Hasil panen karamba per enam bulan sekali itu bisa dijadikan tabungan, di sela-sela aktivitas mencari ikan-ikan karang sebagai pekerjaan utama.

Setidaknya, saat ini setiap hari Rustam bisa mendapat uang dari hasil tangkapan ikan, Rp 50.000. Baru-baru ini hasil yang diperoleh bahkan cukup fantastis, Rp 12 juta dalam 10 hari. Itu diraih dari hasil penjualan ikan karang yang ditangkap seiring dengan kondisi terumbu karang yang semakin baik.

Kondisi itu menyadarkan Rustam bahwa tanpa menggunakan bom dan sianida pun hasil tangkapan tetap berlimpah asalkan terumbu karang tetap terjaga.

Kaum perempuan di komunitas Bajo, yang juga menjadi garda depan ekonomi masyarakat Bajo, tidak luput dari upaya pemberdayaan yang dilakukan Coremap. Pada saat kaum lelaki sibuk mencari ikan di laut, perempuan-perempuan Bajo juga diajari membuka usaha, di antaranya membuka kios.

Nurjanah (31), motivator untuk kaum ibu, mengatakan, upaya itu tidak mudah. ”Ibu-ibu juga banyak yang ke laut mencari teripang,” paparnya.

Kelak, kaum ibu akan diarahkan membentuk koperasi simpan pinjam dan arisan sebagai salah satu upaya mengelola keuangan keluarga. Dengan upaya itu, kehidupan masyarakat Bajo menjadi lebih baik tanpa harus merusak terumbu karang yang menjadi komponen penting keanekaragaman hayati laut Indonesia.

Tidak mudah

Berbeda dengan nelayan di Wakatobi, yang mulai tergerak turut serta dalam penyelamatan terumbu karang, kaum nelayan di Pulau Kapoposang, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, mengaku sulit menularkan kesadaran untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Sekelompok nelayan yang ditemui di Desa Mattiro Ujung, Pangkep, menyatakan hal itu.

Borahima (32), nelayan asal Pulau Satando, yang berjarak empat jam perjalanan laut dari Kapoposang, mengatakan sulit mencegah nelayan di sekitar Taman Laut Kapoposang untuk mengubah tabiat mereka. Pasalnya, mencari ikan dengan bom dan sianida berhubungan erat dengan mata pencarian nelayan.

”Jadi, meskipun tahu mereka menggunakan bom atau sianida, kami tidak bisa menegur mereka. Kami sama-sama nelayan, kami paham bagaimana sulitnya hidup dari laut,” ujar Borahima. Kerusakan terumbu karang di wilayah Pangkep diperkirakan 70-80 persen.

Menurut Borahima, kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang memang sudah ada. Apalagi sejak Coremap menyasar Pangkep untuk membangun kesadaran masyarakat, banyak informasi diterima nelayan.

Namun, kembali karena mencari ikan di laut adalah mata pencarian mereka, sulit bagi nelayan menghentikan ketergantungan mereka pada penggunaan bom dan sianida. Bagi sebagian besar masyarakat nelayan, bom dan sianida dianggap mampu meningkatkan pendapatan mereka.

Kesadaran semakin sulit dibangun karena, menurut Zaenal (26), juga dari Pulau Satando, banyak aparat keamanan yang tidak sungguh-sungguh menindak pelaku pengeboman dan pembiusan. Akibatnya, aktivitas pengeboman dan pembiusan sulit dicegah dan dihentikan.

Meski demikian, di tengah pesimisme kalangan nelayan, saat ini kondisi terumbu karang di Kapoposang mulai menunjukkan peningkatan. Salah satu indikasi, sebagaimana diungkapkan Ketua Pengawas Masyarakat Kapoposang Haruna, jumlah ikan di salah satu titik meningkat dari 5 menjadi 10 ekor.

Kerja keras untuk membangun kesadaran nelayan agar terlibat dalam penyelamatan terumbu karang memang masih panjang. Tidak hanya bagi nelayan, tetapi juga bagi semua lapisan masyarakat yang berpotensi menjadi perusak kelestarian terumbu karang.

Merangkul Nelayan, Menyelamatkan Terumbu Karang

Merangkul Nelayan, Menyelamatkan Terumbu Karang
 
Rabu, 12 Maret 2008 | 02:19 WIB

Oleh DWI AS SETIANINGSIH

Kehidupan masyarakat Bajo yang lekat dengan laut menjadikan keberadaan masyarakat setempat itu diakui dunia internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari kelestarian laut.

Penyelamatan terumbu karang yang kini terus digenjot pemerintah melalui program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Project/ Coremap) melibatkan banyak komunitas nelayan, salah satunya masyarakat Bajo.

Di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra), populasi masyarakat Bajo mencapai 380.000 jiwa. Mereka tersebar di 328 desa di seluruh Sultra, menggantungkan hidup dari laut sejak berpuluh- puluh tahun lalu.

Di Kabupaten Wakatobi, nelayan Bajo kini aktif menjadi motivator dalam hal pelestarian terumbu karang. Penyelamatan terumbu karang di Wakatobi memiliki peran penting karena luas areal terumbu karang Wakatobi yang merupakan bagian dari segitiga karang dunia mencapai 90.000 hektar terdiri dari 750 jenis terumbu karang.

Jumlah itu mencapai 90 persen dari terumbu karang dunia yang saat ini sekitar 850 jenis. Sekitar 942 jenis ikan hidup di laut Wakatobi. Selain tuna dan cakalang, salah satu spesies laut yang hingga kini hanya ditemukan di laut Wakatobi adalah kuda laut moncong babi (pigmy sea horse).

Dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Wakatobi adalah jantung segitiga karang dunia. Menyelamatkan terumbu karang di Wakatobi sama artinya dengan menyelamatkan mayoritas jenis terumbu karang di dunia.

Terumbu karang sangat besar perannya sebagai tempat bagi banyak spesies ikan untuk bertumbuh kembang. Tidak hanya itu, terumbu karang juga bermanfaat sebagai sumber bahan obat dan medis. Menyelamatkan terumbu karang, berarti menjaga ketersediaan ikan bagi kelangsungan kehidupan.

Aktivitas pengeboman yang banyak dilakukan nelayan, termasuk nelayan Bajo, diakui mengakibatkan terumbu karang rusak, bahkan mati. Padahal, kerusakan dan matinya terumbu karang merupakan lonceng kematian bagi spesies ikan di dalamnya.

Saat ini, kerusakan terumbu karang juga mengancam jantung terumbu karang dunia Wakatobi. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra menunjukkan, kerusakan terumbu karang di seluruh Sultra diperkirakan 80 persen.

Kerusakan itu selain diakibatkan bom dan sianida, juga karena pemangsa alami terumbu karang seperti bulu babi atau mahkota berduri. Pemanasan global yang tengah menjadi pembicaraan dunia turut andil menyebabkan kerusakan terumbu karang karena mengakibatkan pemutihan.

Rustam (39), nelayan Bajo yang kini dirangkul Coremap, adalah satu dari sekian nelayan Bajo yang sekitar 15 tahun lalu menggunakan bom dan sianida untuk mencari ikan. Dengan bom dan sianida, kakek satu cucu ini mengakui, hasil laut yang diperoleh jauh lebih besar daripada hanya mengandalkan alat tangkap tradisional, seperti pancing dan jaring.

Dalam satu hari Rustam bisa mendapat uang Rp 100.000. Namun, menurut dia, keuntungan lebih besar justru dinikmati penampung. ”Sementara risiko yang kami hadapi jauh lebih besar,” kata Rustam.

Nelayan seperti Rustam memang tidak paham jika menangkap ikan menggunakan bom dan sianida dapat membahayakan terumbu karang, yang berakibat mengurangi ketersediaan ikan. Bagi mereka, selama hasil tangkapan ikan melimpah, segala cara akan ditempuh.

Kesadaran pentingnya kelestarian terumbu karang yang menjadi ”rumah” bagi ratusan jenis ikan baru timbul sejak Rustam dirangkul Coremap sebagai motivator. Perlahan tetapi pasti, Rustam paham bahwa mengelola terumbu karang dengan baik dan berkesinambungan menjadi hal penting demi keberlanjutan kehidupan masyarakat Bajo yang mengandalkan hidup dari laut.

Sebagai motivator, kini Rustam aktif memotivasi nelayan Bajo untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang ditularkan Rustam kepada nelayan lainnya. Sebagai penopang penghasilan, Rustam dan nelayan lainnya kini belajar membudidayakan ikan menggunakan karamba yang difasilitasi Coremap. Hasil panen karamba per enam bulan sekali itu bisa dijadikan tabungan, di sela-sela aktivitas mencari ikan-ikan karang sebagai pekerjaan utama.

Setidaknya, saat ini setiap hari Rustam bisa mendapat uang dari hasil tangkapan ikan, Rp 50.000. Baru-baru ini hasil yang diperoleh bahkan cukup fantastis, Rp 12 juta dalam 10 hari. Itu diraih dari hasil penjualan ikan karang yang ditangkap seiring dengan kondisi terumbu karang yang semakin baik.

Kondisi itu menyadarkan Rustam bahwa tanpa menggunakan bom dan sianida pun hasil tangkapan tetap berlimpah asalkan terumbu karang tetap terjaga.

Kaum perempuan di komunitas Bajo, yang juga menjadi garda depan ekonomi masyarakat Bajo, tidak luput dari upaya pemberdayaan yang dilakukan Coremap. Pada saat kaum lelaki sibuk mencari ikan di laut, perempuan-perempuan Bajo juga diajari membuka usaha, di antaranya membuka kios.

Nurjanah (31), motivator untuk kaum ibu, mengatakan, upaya itu tidak mudah. ”Ibu-ibu juga banyak yang ke laut mencari teripang,” paparnya.

Kelak, kaum ibu akan diarahkan membentuk koperasi simpan pinjam dan arisan sebagai salah satu upaya mengelola keuangan keluarga. Dengan upaya itu, kehidupan masyarakat Bajo menjadi lebih baik tanpa harus merusak terumbu karang yang menjadi komponen penting keanekaragaman hayati laut Indonesia.

Tidak mudah

Berbeda dengan nelayan di Wakatobi, yang mulai tergerak turut serta dalam penyelamatan terumbu karang, kaum nelayan di Pulau Kapoposang, Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, mengaku sulit menularkan kesadaran untuk menghentikan penggunaan bom dan sianida. Sekelompok nelayan yang ditemui di Desa Mattiro Ujung, Pangkep, menyatakan hal itu.

Borahima (32), nelayan asal Pulau Satando, yang berjarak empat jam perjalanan laut dari Kapoposang, mengatakan sulit mencegah nelayan di sekitar Taman Laut Kapoposang untuk mengubah tabiat mereka. Pasalnya, mencari ikan dengan bom dan sianida berhubungan erat dengan mata pencarian nelayan.

”Jadi, meskipun tahu mereka menggunakan bom atau sianida, kami tidak bisa menegur mereka. Kami sama-sama nelayan, kami paham bagaimana sulitnya hidup dari laut,” ujar Borahima. Kerusakan terumbu karang di wilayah Pangkep diperkirakan 70-80 persen.

Menurut Borahima, kesadaran akan pentingnya kelestarian terumbu karang memang sudah ada. Apalagi sejak Coremap menyasar Pangkep untuk membangun kesadaran masyarakat, banyak informasi diterima nelayan.

Namun, kembali karena mencari ikan di laut adalah mata pencarian mereka, sulit bagi nelayan menghentikan ketergantungan mereka pada penggunaan bom dan sianida. Bagi sebagian besar masyarakat nelayan, bom dan sianida dianggap mampu meningkatkan pendapatan mereka.

Kesadaran semakin sulit dibangun karena, menurut Zaenal (26), juga dari Pulau Satando, banyak aparat keamanan yang tidak sungguh-sungguh menindak pelaku pengeboman dan pembiusan. Akibatnya, aktivitas pengeboman dan pembiusan sulit dicegah dan dihentikan.

Meski demikian, di tengah pesimisme kalangan nelayan, saat ini kondisi terumbu karang di Kapoposang mulai menunjukkan peningkatan. Salah satu indikasi, sebagaimana diungkapkan Ketua Pengawas Masyarakat Kapoposang Haruna, jumlah ikan di salah satu titik meningkat dari 5 menjadi 10 ekor.

Kerja keras untuk membangun kesadaran nelayan agar terlibat dalam penyelamatan terumbu karang memang masih panjang. Tidak hanya bagi nelayan, tetapi juga bagi semua lapisan masyarakat yang berpotensi menjadi perusak kelestarian terumbu karang.

Jumat, 14 Maret 2008

Menyingkap Kebesaran Allah Melalui Kentut

sumber: milis dkp_17, sebagaimana diforward oleh anita setianingsih (setia_solo@yahoo.com)dengan judul yang sama: Menyingkap Kebesaran Allah Melalui Kentut



Buang angin, kentut, atau yang dalam istilah ilmiahnya disebut flatulence, flatulency, flatus, adalah ciptaan Allah, yang sudah pasti bukanlah peristiwa biasa. Anda dapat membuktikannya dengan mencari tulisan ilmiah seputar kentut di mesin pencari pustaka ilmiah di internet, misalnya di scholar.google. com dengan mengetikkan kata kunci flatulence intestine. Yang akan Anda dapatkan adalah tidak kurang dari 4800 rujukan ilmiah yang membahas atau mengandung rujukan tentang kentut dari tahun 2000 hingga sekarang!
Tidak sampai di situ saja. Rujukan ilmiah tersebut diterbitkan oleh beragam jurnal ilmiah dari berbagai disiplin, dari ilmu gizi, kedokteran, hingga kesehatan dan pengobatan. Sudah pasti ini bermakna pula peneliti dan para ilmuwan yang berkecimpung di bidang penelitian kentut juga berasal dari beragam disiplin ilmu.

Fisika di balik kentut

Keluarnya angin dari anus itu sendiri juga merupakan peristiwa yang memperlihatkan kebesaran Sang Pencipta. Di dalam saluran pencernaan makanan, terutama di dalam usus, terdapat berbagai zat berwujud padat, cair, gas, serta dengan tingkat kepadatan dan keenceran beragam. Hebatnya, angin kentut yang berbentuk gas bisa mengalir ke arah bawah, dan menerobos cairan dan padatan di dalam usus, untuk kemudian keluar meninggalkan dubur.

Ini bukan peristiwa yang tidak aneh. Mengapa? Anda bisa mencoba mencampur zat padat, zat cair dan gas di dalam tabung atau gelas yang memiliki katup pengeluaran di bagian dasarnya. Lalu Anda berikan tekanan pada campuran tersebut, bisakah Anda memastikan bahwa gas tersebut bergerak ke arah bawah dan bahwa yang keluar dari katup pengeluaran tersebut hanya gas saja?

Biasanya gas atau gelembung udara bergerak menuju ke atas karena lebih ringan, dan sulit mengeluarkan gas tanpa mencegah keluarnya cairan atau padatannya melalui katup tersebut. Tapi peristiwa kentut terjadi melalui cara di luar kebiasaan itu berkat sempurnanya ciptaan Allah pada otot cincin yang membuka dan menutup lubang anus itu.

Otot lingkar pada dubur ini mampu merasakan keberadaan gas kentut dan mengatur pengeluarannya sedemikian rupa sehingga hanya gas saja, dan bukan padatan dan cairan, yang keluar dari anus. Bayangkan seandainya otot ini tidak mampu memilah dan mencegah keluarnya cairan dan padatan dari usus besar kita di saat kita buang angin di tempat terbuka.

Sangat diragukan jika ada alat buatan manusia yang mampu melakukan kerja seperti lubang anus yang luar biasa itu. Otot-otot dan jaringan terkait di seputar anus adalah organ ciptaan Allah yang Mahahebat, yang mampu melakukan kerja pelepasan gas kentut sekitar 10 kali per hari dengan sempurna, selama puluhan tahun usia manusia.



Kimia gas kentut

Di dalam usus besar, sekitar 70% gas berasal dari udara yang tertelan melalui mulut kita. Ketika makan, orang pada saat yang sama menelan ke dalam perutnya sekitar 2-3 cc udara. Misalnya, jika kita makan apel, udara tambahan yang ikut tertelan ke dalam tubuh kita adalah sekitar 20 cc. Begitu pula dengan minum. Kurang lebih 17 cc udara memasuki saluran pencernaan makanan saat seseorang meminum 10 cc air.

Gas selebihnya yang terdapat pada usus adalah gas asli buatan “dalam negeri”, alias muncul dari dalam usus itu sendiri dan bukan dari luar tubuh. Gas ini dihasilkan melalui aktifitas penguraian oleh mikroba di dalam saluran pencernaan kita.

Bagaimana gas-gas itu terbentuk? Tidak semua makanan yang kita telan dicerna sempurna dan diserap keseluruhannya di dalam usus halus. Sebagian makanan berserat atau zat tepung yang tak tercerna sempurna ini, misalnya kacang-kacangan, kemudian dirombak atau diuraikan oleh mikroba yang menghuni saluran pencernaan kita. Penguraian ini di antaranya menghasilkan zat-zat berwujud gas seperti metana dan hidrogen sulfida, serta gas-gas yang mengandung unsur belerang lainnya.

Gas kentut adalah campuran beragam gas. Kentut sebagian besarnya terdiri atas gas oksigen, nitrogen, karbon dioksida dan metana yang kesemuanya ini bukan penyebab bau tidak sedap. Yang memunculkan aroma tidak sedap pada kentut adalah gas-gas yang mengandung belerang. Di antaranya adalah hidrogen sulfida (bau telur busuk), methanethiol (bau sayur membusuk). Namun ada pula dimetil sulfida yang memiliki bau manis.



Kreatif karena kentut

Ternyata kentut memiliki nilai komersial. Sebut saja Josef Pujol, warga Prancis kelahiran Marseilles tahun 1857. Ia memiliki kelebihan mampu dengan sengaja mengendalikan otot-otot perutnya. Dengannya, ia dapat dengan mudah menyedot 2 liter udara ke dalam usus besarnya melalui anus, dan meniupkan kembali ke luar anus. Dengan kata lain, ia mampu membuat “kentut buatan”.

Berbekal bakat ini, ia memasuki dunia pentas hiburan. Sebelum pentas, ia “mencuci usus besarnya” agar tidak menimbulkan bau tak sedap. Suara buang anginnya hanya memiliki 4 tangga nada: do, mi, sol dan do lagi.

Pentas profesionalnya berawal di tahun1887. Karirnya mulai menanjak ketika ia naik panggung di gedung musik Moulin Rouge di Paris pada tahun1892. Dalam pentasnya, terkadang ia memasang selang pada anusnya yang kemudian disambungkan ke berbagai alat musik tiup untuk bermain musik.

Selain sangat terkenal, ia juga mendapatkan penghasilan 20.000 frank per minggu, dua setengah kali lebih banyak dibandingkan artis kondang kala itu, Sarah Bernhardt. Ketenarannya ini bahkan sempat mendorong Raja Belgia datang diam-diam untuk melihat Josef Pujol.



Penyaring kentut

Kini telah tersedia produk di pasaran yang berfungsi menghilangkan bau kentut yang tidak sedap. FLAT-D adalah salah satu nama produk berbentuk kain persegi panjang, yang mudah dilipat dan dibawa. Kain ini digunakan dengan cara menghamparkan di atas kursi kerja, atau kursi kantor. Selain dapat dicuci dan digunakan ulang, kain ini mengandung karbon teraktifasi.

Ketika seseorang buang angin dalam keadaan duduk di atas kursi kerja yang tertutup kain FLAT-D, kain ajaib ini menyerap aroma tidak sedap kentut tersebut. Penyaring kentut ini diproduksi pula dalam bentuk pembalut yang dapat direkatkan pada celana dalam, sehingga lebih praktis.

Selain FLAT-D, ada pula produk serupa bernama Under-Ease yang dikeluarkan oleh perusahaan Under-Tec Corp. Pakaian dalam yang sudah mendapatkan hak paten ini adalah hasil kerja keras penelitian pasangan suami istri Buck and Arlene Weimer. Produk mereka sempat menjadi buah bibir di media massa AS di awal tahun 2000-an.
Demikianlah, tulisan singkat ini tidak mungkin dapat menampung seluruh hasil-hasil temuan ilmiah dan inovasi teknologi seputar kentut, gas yang seringkali dicemooh orang. Namun, sebagai salah satu ciptaan Allah, ternyata kentut membuktikan bahwa tiada sesuatu yang Allah ciptakan, melainkan menjadi bukti keagungan dan keluasan ilmu Allah, Pencipta tanpa tara . Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang benar, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:

(yaitu) orang-orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penCIPTAAN langit dan bumi (seraya berkata): Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan SIA-SIA Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ‘Imran, 3:191)



Pustaka:

1. Dr. Karl. Be Gone with the Wind.

2. S. Kurbel, B. Kurbel, A. V?ev. 2006. Intestinal gases and flatulence: Possible causes of occurrence. Medical Hypotheses, Volume 67, Issue 2, Pages 235-239

3. F. Azpiroz, J. Malagelada. 2005. Abdominal Bloating. Gastroenterology, Volume 129, Issue 3, Pages 1060-1078

4. Flat-D innovations, Inc.

5. Under Ease.