Rabu, 31 Desember 2008

himpunan peraturan perundangan - DKP -

sumber: www. dkp.go.id

http://www.dkp.go.id/upload/jica/book_file/03_HimpunanPeraturan.pdf

silahkan download buku terlampir

himpunan peraturan perundangan - DKP -

sumber: www. dkp.go.id

http://www.dkp.go.id/upload/jica/book_file/03_HimpunanPeraturan.pdf

silahkan download buku terlampir

SEWINDU Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut


Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, sebagai bagian dari pengemban misi Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, khususnya dalam Konservasi sumberdaya Ikan. Hal ini tentunya dalam Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat.

Direktorat konservasi merupakan direktorat Bungsu di Ditjen KP3K, direktorat ini hadir satu tahun belakangan dibanding dengan direktorat lain di Ditjen KP3K, karenanya jika tahun lalu keluarga besar Kita merayakan SEWINDU Ditjen KP3K, maka khusus direktorat KTNL baru tahun ini mencapai usianya yang SEWINDU. Namun demikian, dalam refleksi pelaksanaan SEWINDU Ditjen KP3K, tercatat cukup banyak capaian-capaian dari Direktorat KTNL yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kita ambil contoh, PP 60 tahun 2007 adalah salah satu bukti kerja keras Direktorat KTNL dalam mengemban fungsinya dalam konservasi sumberdaya ikan. Adanya Permen 17/2008 juga turut mewarnai perkembangan kebijakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pengembangan KKLD, hasil yang di capai juga cukup menggembirakan. Saat ini telah dicadangkan lebih dari 9 Juta KKLD di 32 Kabupaten/kota. Untuk mencapai 10 Juta Hektar pada tahun 2010 diperkirakan akan tercapai dengan baik.

Kemudian sebagaimana amanat PP 60/2007, sebagai langkah tindaklanjut pelaksanaan peraturan tersebut menuntut tugas pokok dan fungsi yang lebih luas dari Departemen Kelautan dan Perikanan dalam implementasi sebagai management authority CITES di Indonesia untuk Sumberdaya Ikan. Ini mendorong penguatan dan pengembangan kelembagaan lingkup Ditjen KP3K, berupa pembentukan UPT maupun peningkatan upaya sinkronisasi dan penyelarasan urusan konservasi dengan berbagai instansi, seperti departemen kehutanan.

Mengingat sedemikian besarnya tugas, pokok dan fungsi direktorat KTNL terkait dengan sumberdaya ikan, maka ke depan tantangan kedepan tidaklah semakin mudah. untuk intu, perlu kerja keras dan terus mengembangkan diri dalam koordinasi yang sinergis.

Dalam peringatan sewindu Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, diluncurkan buku: Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia. uraian mengenai kinerja direktorat, dirangkum dalam buku "menjaga Kelestarian Sumberdaya Ikan dan Ekosistem Perairan".

sambutan Dirjen KP3K pada acara tersebut, selengkapnya silahkan KLIK DISINI

SEWINDU DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, sebagai bagian dari pengemban misi Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, khususnya dalam Konservasi sumberdaya Ikan. Hal ini tentunya dalam Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat.

Direktorat konservasi merupakan direktorat Bungsu di Ditjen KP3K, direktorat ini hadir satu tahun belakangan dibanding dengan direktorat lain di Ditjen KP3K, karenanya jika tahun lalu keluarga besar Kita merayakan SEWINDU Ditjen KP3K, maka khusus direktorat KTNL baru tahun ini mencapai usianya yang SEWINDU. Namun demikian, dalam refleksi pelaksanaan SEWINDU Ditjen KP3K, tercatat cukup banyak capaian-capaian dari Direktorat KTNL yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kita ambil contoh, PP 60 tahun 2007 adalah salah satu bukti kerja keras Direktorat KTNL dalam mengemban fungsinya dalam konservasi sumberdaya ikan. Adanya Permen 17/2008 juga turut mewarnai perkembangan kebijakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pengembangan KKLD, hasil yang di capai juga cukup menggembirakan. Saat ini telah dicadangkan lebih dari 9 Juta KKLD di 32 Kabupaten/kota. Untuk mencapai 10 Juta Hektar pada tahun 2010 diperkirakan akan tercapai dengan baik.

Kemudian sebagaimana amanat PP 60/2007, sebagai langkah tindaklanjut pelaksanaan peraturan tersebut menuntut tugas pokok dan fungsi yang lebih luas dari Departemen Kelautan dan Perikanan dalam implementasi sebagai management authority CITES di Indonesia untuk Sumberdaya Ikan. Ini mendorong penguatan dan pengembangan kelembagaan lingkup Ditjen KP3K, berupa pembentukan UPT maupun peningkatan upaya sinkronisasi dan penyelarasan urusan konservasi dengan berbagai instansi, seperti departemen kehutanan.

Mengingat sedemikian besarnya tugas, pokok dan fungsi direktorat KTNL terkait dengan sumberdaya ikan, maka ke depan tantangan kedepan tidaklah semakin mudah. untuk intu, perlu kerja keras dan terus mengembangkan diri dalam koordinasi yang sinergis.

Dalam peringatan sewindu Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, diluncurkan buku: Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia. uraian mengenai kinerja direktorat, dirangkum dalam buku "menjaga Kelestarian Sumberdaya Ikan dan Ekosistem Perairan".

sambutan Dirjen KP3K pada acara tersebut, sebagaimana terlampir

SEWINDU DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, sebagai bagian dari pengemban misi Direktorat Jenderal Kelutan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, khususnya dalam Konservasi sumberdaya Ikan. Hal ini tentunya dalam Mewujudkan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik dalam rangka menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragaman sumberdaya ikan (SDI) untuk kesejahteraan masyarakat.

Direktorat konservasi merupakan direktorat Bungsu di Ditjen KP3K, direktorat ini hadir satu tahun belakangan dibanding dengan direktorat lain di Ditjen KP3K, karenanya jika tahun lalu keluarga besar Kita merayakan SEWINDU Ditjen KP3K, maka khusus direktorat KTNL baru tahun ini mencapai usianya yang SEWINDU. Namun demikian, dalam refleksi pelaksanaan SEWINDU Ditjen KP3K, tercatat cukup banyak capaian-capaian dari Direktorat KTNL yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kita ambil contoh, PP 60 tahun 2007 adalah salah satu bukti kerja keras Direktorat KTNL dalam mengemban fungsinya dalam konservasi sumberdaya ikan. Adanya Permen 17/2008 juga turut mewarnai perkembangan kebijakan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pengembangan KKLD, hasil yang di capai juga cukup menggembirakan. Saat ini telah dicadangkan lebih dari 9 Juta KKLD di 32 Kabupaten/kota. Untuk mencapai 10 Juta Hektar pada tahun 2010 diperkirakan akan tercapai dengan baik.

Kemudian sebagaimana amanat PP 60/2007, sebagai langkah tindaklanjut pelaksanaan peraturan tersebut menuntut tugas pokok dan fungsi yang lebih luas dari Departemen Kelautan dan Perikanan dalam implementasi sebagai management authority CITES di Indonesia untuk Sumberdaya Ikan. Ini mendorong penguatan dan pengembangan kelembagaan lingkup Ditjen KP3K, berupa pembentukan UPT maupun peningkatan upaya sinkronisasi dan penyelarasan urusan konservasi dengan berbagai instansi, seperti departemen kehutanan.

Mengingat sedemikian besarnya tugas, pokok dan fungsi direktorat KTNL terkait dengan sumberdaya ikan, maka ke depan tantangan kedepan tidaklah semakin mudah. untuk intu, perlu kerja keras dan terus mengembangkan diri dalam koordinasi yang sinergis.

Dalam peringatan sewindu Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, diluncurkan buku: Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia. uraian mengenai kinerja direktorat, dirangkum dalam buku "menjaga Kelestarian Sumberdaya Ikan dan Ekosistem Perairan".

sambutan Dirjen KP3K pada acara tersebut, sebagaimana terlampir

Selasa, 30 Desember 2008

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia


Penulis: YAYA MULYANA dan AGUS DERMAWAN

Peluncuran Buku dilaksanakan di Penang Bistro, 30 Desember 2008. Oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (Bp. M. SYAMSUL MAARIF). Ulasan dan pembahasan buku oleh Bp. Hajim Jalal dan Bp. Effendy A. Sumardja. Moderator: Rianny Djangkaru. Hadir pada acara tersebut keluarga besar Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Keluarga Besar COREMAP II, Sesditjen KP3K, Dit. Kelautan dan Perikanan Bappenas, Para Direktur Lingkup KP3K, Ditjen terkait lingkup DKP, Ditjen PHKA Dephut, Wartawan Media Cetak dan Elektronik serta para undangan lainnya.

Sekapur Sirih Penulis

Konservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat.

Makna konservasi sumberdaya ikan bukan saja perlindungan semata, namun secara seimbang melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan. Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan yang telah dilakukan utamanya terkait tugas pokok dan fungsi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Buku ini diawali dengan catatan kecil tentang bagaimana menjaga laut demi masa depan, bukan hanya untuk anakcucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia, dilanjutkan dengan untaian refleksi kisah konservasi kawasan perairan, memaknai aturan konservasi, upaya harmonisasi konservasi kawasan perairan dan jenis ikan beserta penatakelolaannya, hingga kepada perkembangan konservasi pada masa kini serta diakhiri dengan menatap masa depan konservasi perairan. Beragam upaya dalam mengembangkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar konservasi perairan menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara.

Membaca buku ini, kita seolah menjadi bagian dari perjalanan direktorat konservasi dan taman nasional laut dalam menggagas ide, menuangkan pemikiran dan mencurahkan dedikasi untuk menjawab tantangan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Akhirnya, Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya buku ini, tak lupa terimakasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung mulai dari proses pengumpulan materi, penulisan hingga terselesaikannya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-phak yang membutuhkannya.

Pengantar Dirjen KP3K

Indonesia merupakan negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Indonesia adalah negeri kepulauan, negeri bahari dengan 2,7 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Perairan laut Indonesia teramat kaya dan beragam sumberdaya hayati. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia. Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia dan Solomon Islands. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi jauh lebih penting lagi, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.

Konservasi memegang peranan penting dalam mengimbangi kegiatan ekploitatif maupun terdegradasinya sumberdaya sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia. Upaya konservasi, khususnya sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan. Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami sampaikan selamat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku konservasi yang cukup memberi kesan tersendiri, semoga karya berharga ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam konservasi sumberdaya ikan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang

BUKU KONSERVASI KAWASAN PERAIRAN INDONESIA BAGI MASA DEPAN DUNIA selengkapnya silahkan KLIK DISINI

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR PER.12 /MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

bahwa guna lebih memberdayakan masyarakat bidang kelautan dan perikanan karena adanya penurunan kualitas hidupnya, maka dipandang perlu memberikan bantuan langsung kepada masyarakat bidang kelautan dan perikanan; bahwa untuk itu perlu adanya bantuan langsung masyarakat bidang kelautan dan perikanan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR PER. 12 /MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN sebagaimana terlampir

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR PER.12 /MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN

bahwa guna lebih memberdayakan masyarakat bidang kelautan dan perikanan karena adanya penurunan kualitas hidupnya, maka dipandang perlu memberikan bantuan langsung kepada masyarakat bidang kelautan dan perikanan; bahwa untuk itu perlu adanya bantuan langsung masyarakat bidang kelautan dan perikanan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR PER. 12 /MEN/2008 TENTANG BANTUAN LANGSUNG MASYARAKAT BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN sebagaimana terlampir

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia

Penulis: YAYA MULYANA dan AGUS DERMAWAN

Peluncuran Buku dilaksanakan di Penang Bistro, 30 Desember 2008. Oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (Bp. M. SYAMSUL MAARIF). Ulasan dan pembahasan buku oleh Bp. Hajim Jalal dan Bp. Effendy A. Sumardja. Moderator: Rianny Djangkaru. Hadir pada acara tersebut keluarga besar Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Keluarga Besar COREMAP II, Sesditjen KP3K, Dit. Kelautan dan Perikanan Bappenas, Para Direktur Lingkup KP3K, Ditjen terkait lingkup DKP, Ditjen PHKA Dephut, Wartawan Media Cetak dan Elektronik serta para undangan lainnya.

Sekapur Sirih Penulis

Konservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat.

Makna konservasi sumberdaya ikan bukan saja perlindungan semata, namun secara seimbang melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan. Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan yang telah dilakukan utamanya terkait tugas pokok dan fungsi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Buku ini diawali dengan catatan kecil tentang bagaimana menjaga laut demi masa depan, bukan hanya untuk anakcucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia, dilanjutkan dengan untaian refleksi kisah konservasi kawasan perairan, memaknai aturan konservasi, upaya harmonisasi konservasi kawasan perairan dan jenis ikan beserta penatakelolaannya, hingga kepada perkembangan konservasi pada masa kini serta diakhiri dengan menatap masa depan konservasi perairan. Beragam upaya dalam mengembangkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar konservasi perairan menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara.

Membaca buku ini, kita seolah menjadi bagian dari perjalanan direktorat konservasi dan taman nasional laut dalam menggagas ide, menuangkan pemikiran dan mencurahkan dedikasi untuk menjawab tantangan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Akhirnya, Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya buku ini, tak lupa terimakasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung mulai dari proses pengumpulan materi, penulisan hingga terselesaikannya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-phak yang membutuhkannya.

Pengantar Dirjen KP3K

Indonesia merupakan negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Indonesia adalah negeri kepulauan, negeri bahari dengan 2,7 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Perairan laut Indonesia teramat kaya dan beragam sumberdaya hayati. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia. Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia dan Solomon Islands. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi jauh lebih penting lagi, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.

Konservasi memegang peranan penting dalam mengimbangi kegiatan ekploitatif maupun terdegradasinya sumberdaya sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia. Upaya konservasi, khususnya sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan. Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami sampaikan selamat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku konservasi yang cukup memberi kesan tersendiri, semoga karya berharga ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam konservasi sumberdaya ikan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang

BUKU KONSERVASI KAWASAN PERAIRAN INDONESIA BAGI MASA DEPAN DUNIA selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia

Penulis: YAYA MULYANA dan AGUS DERMAWAN

Peluncuran Buku dilaksanakan di Penang Bistro, 30 Desember 2008. Oleh Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan (Bp. M. SYAMSUL MAARIF). Ulasan dan pembahasan buku oleh Bp. Hajim Jalal dan Bp. Effendy A. Sumardja. Moderator: Rianny Djangkaru. Hadir pada acara tersebut keluarga besar Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Keluarga Besar COREMAP II, Sesditjen KP3K, Dit. Kelautan dan Perikanan Bappenas, Para Direktur Lingkup KP3K, Ditjen terkait lingkup DKP, Ditjen PHKA Dephut, Wartawan Media Cetak dan Elektronik serta para undangan lainnya.

Sekapur Sirih Penulis

Konservasi kawasan perairan merupakan bagian dari upaya konservasi ekosistem yang ditujukan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Upaya ini memerlukan pendekatan pengelolaan yang lebih spesifik, antara lain, karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di lain pihak, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan wewenang urusan–urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan dan konservasi jenis ikan berkaitan erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat.

Makna konservasi sumberdaya ikan bukan saja perlindungan semata, namun secara seimbang melaksanakan upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan terhadap sumberdaya ikan. Mengingat harapan pelestarian sumberdaya ikan terletak di jantung kawasan konservasi perairan, Departemen Kelautan dan Perikanan khususnya melalui Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut sejauh ini telah melakukan pembinaan, sosialisasi dan bantuan teknis bagi lembaga/instansi/Dinas Kelautan dan Perikanan, baik kabupaten maupun provinsi, dalam mengembangkan kawasan konservasi perairan di daerah. Di tengah perubahan selama satu dekade terakhir, terutama menyangkut otonomi daerah dan tuntutan partisipasi masyarakat yang lebih terbuka, upaya-upaya konservasi kawasan perairan tersebut telah mendapat perhatian penuh dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Buku ini disusun untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan yang telah dilakukan utamanya terkait tugas pokok dan fungsi Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Buku ini diawali dengan catatan kecil tentang bagaimana menjaga laut demi masa depan, bukan hanya untuk anakcucu, tetapi sekaligus menjaga kelangsungan hidup ekosistem dunia, dilanjutkan dengan untaian refleksi kisah konservasi kawasan perairan, memaknai aturan konservasi, upaya harmonisasi konservasi kawasan perairan dan jenis ikan beserta penatakelolaannya, hingga kepada perkembangan konservasi pada masa kini serta diakhiri dengan menatap masa depan konservasi perairan. Beragam upaya dalam mengembangkan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, baik di tingkat ekosistem, jenis dan genetik, diharapkan fajar konservasi perairan menjadi makin benderang. Tidak saja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak generasi mendatang atas sumber daya ikan, tetapi juga untuk mencapai kejayaan dan kelestarian wilayah perairan Nusantara.

Membaca buku ini, kita seolah menjadi bagian dari perjalanan direktorat konservasi dan taman nasional laut dalam menggagas ide, menuangkan pemikiran dan mencurahkan dedikasi untuk menjawab tantangan pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Akhirnya, Penulis mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya buku ini, tak lupa terimakasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung mulai dari proses pengumpulan materi, penulisan hingga terselesaikannya buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi pihak-phak yang membutuhkannya.

Pengantar Dirjen KP3K

Indonesia merupakan negara kaya dengan berlimpah potensi sumberdaya yang teramat bernilai. Hampir 75 % dari seluruh wilayah Indonesia merupakan perairan pesisir dan lautan. Indonesia adalah negeri kepulauan, negeri bahari dengan 2,7 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif (ZEE). Perairan laut Indonesia teramat kaya dan beragam sumberdaya hayati. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-2 yang memiliki terumbu karang terluas di dunia setelah Australia. Indonesia juga merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies. The Coral Triangle tersebut meliputi enam negara yaitu Malaysia, Philipina, Timor Leste, Papua Nugini, Indonesia dan Solomon Islands. Posisi ini tentunya membuat terumbu karang Indonesia menjadi jauh lebih penting lagi, karena disamping menjadi sumber penghidupan masyarakat Indonesia juga bagi dunia.

Konservasi memegang peranan penting dalam mengimbangi kegiatan ekploitatif maupun terdegradasinya sumberdaya sebagai akibat dari berbagai aktivitas manusia. Upaya konservasi, khususnya sumberdaya ikan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan. Mengingat karakteristik sumberdaya ikan dan lingkungannya mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap pengaruh iklim maupun musiman serta aspek-aspek keterkaitan ekosistem antar wilayah, maka dalam pengelolaan konservasi sumberdaya ikan harus berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Komitmen Departemen Kelautan dan Perikanan untuk meningkatkan upaya pelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan tidak terlepas dari implementasi misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berkelanjutan, yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan bagi masyarakat dan nelayan yang berada di sekitar wilayah kawasan konservasi. Selain itu, belum efektifnya pengelolaan konservasi perairan serta banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaannya menambah keyakinan bahwa pengelolaan perikanan yang berkelanjutan tidak dapat terpisahkan dari manajemen konservasi perairan secara utuh, sehingga harmonisasi program, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia serta kerjasama multipihak menjadi penting.

Akhir kata, dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Kami sampaikan selamat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku konservasi yang cukup memberi kesan tersendiri, semoga karya berharga ini mampu mengilhami dan memotivasi berbagai pihak dalam konservasi sumberdaya ikan untuk kesejahteraan generasi kini dan mendatang

BUKU KONSERVASI KAWASAN PERAIRAN INDONESIA BAGI MASA DEPAN DUNIA selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?

Berikut artikel dimuat di KORAN TEMPO, 27 des 2008.Moga bermanfaat

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?
(Catatan Akhir Tahun 2008)
Oleh :
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB

Tahun 2008 banyak fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 Juli 2008 lalu membuat bea masuk 51 produk perikanan kita ke Jepang menjadi nol. Semula ini pertanda globalisasi kian menguat. Namun globalisasi perikanan juga ternyata bermasalah. Pertemuan WTO di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporakporandakan perdagangan perikanan. Pertanyaannya: bagaimana dampak globalisasi perikanan terhadap Indonesia?

Globalisasi perikanan memiliki paling tidak tiga isu. Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produksi menjadi isu global tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan.. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung
bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun. Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purese seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu, ke depan budidaya akan terus didorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukkan Cina dan Vietnam. Namun diperkirakan tahun 2030 di dunia pun tangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76% perikanan di dunia sudah dieksploitasi penuh dan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikanan suatu negara sudah sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi dialami baik NSB dan NM, akibat globalisasi energi dimana BBM menjadi mainan para spekulan internasional.
Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dalam menyiasati dan akhirnya kolaps.

Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi.Hampir bisa diduga bahwa investasi di sektor perikanan akan menurun. Paling tidak dilihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendala dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp 11-13ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industri perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industri pakan.

Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated, unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor UE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU. Bagi Indonesia, adanya gerakan anti IUU fishing bisa berkah atau bencana. Berkahnya adalah karena laut kita
adalah obyek pencurian ikan. Belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004, kerugian kita mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/ tahun, dan ada sekitar 1000 kapal yang dapat dikategorikan IUU fishing, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Nah, bencananya adalah kini kita tak bisa lagi menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita
masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC ternyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik internasional, dan tidak hanya masalah teknis. Dan, disinilah NSB menjadi korban.

Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar UE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapta/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang NSB punya kesempatan untuk meraih keuntungan dari pasar NM yang
makin terbuka. Namun persoalannya bukan relasi antara NSB-NM, tetapi lebih pada NSB-NSB. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah diduga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor NSB hanya akan dinikmati para eksportir atau pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku akan tetap menikmati harga lokal. Apakah dengan bea-masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukkan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan kenaikan pembangunan ekonomi dan manusia.

Nah, kini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia.Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu segera diantisipasi fenomena ini melalui instrumen pengendalian impor, seperti peningkatan uji mutu produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor, dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.

Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan bahwa masalah overeksploitasi sumberdaya ikan di NSB ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal yang sama juga sesuai hasil riset beberapa ilmuwan Jepang di World Fisheries Congress lalu yang melihat subsidi tidak berkorelasi dengan kerusakan sumberdaya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja,
memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai.

Untuk itu, globalisasi perikanan harus disikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR
Attachment: per_20.pdf

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR
Attachment: per_20.pdf

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia

Link

Konservasi Kawasan Perairan Indonesia bagi Masa Depan Dunia

Link

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang

KOMPAS, Sabtu*, 27 Desember 2008

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:52 WIB

*Ester Lince Napitupulu*

"Barangsiapa menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai
perdagangan. Barangsiapa menguasai perdagangan, dialah yang akan
menguasai dunia!"

Spirit yang melandasi kejayaan Britania Raya sejak berabad-abad lampau
tersebut, bagi Laode Masihu Kamaluddin, masih sangat relevan dengan tata
ekonomi dunia hari ini. Buktinya? Sekarang pun ada dua gelombang yang
masih jadi rebutan: gelombang udara (baca: frekuensi) dan gelombang laut!

Indonesia sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya
berupa laut dan pantai, sudah seharusnya melihat laut sebagai potensi
untuk menjadi bangsa yang maju dan disegani.

"Bagaimanapun, 90 persen perdagangan dunia masih melalui laut, dan 40
persennya melalui Indonesia," ujar tokoh penggagas terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan ini.

Keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di laut itu pula yang
mendorong Masihu---begitu ia biasa disapa---mengembang kan gagasan sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Konsep yang mengajak pembangunan negara ini berpaling ke laut itu diperjuangkan Masihu sejak ia duduk di kursi legislatif pada kurun 1993-2004 hingga sekarang.

Guru besar di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara,
Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Malang ini
memanfaatkan berbagai forum ilmiah dan seminar untuk terus menyuarakan gagasannya sebagai ilmuwan. Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan sudah terbentuk, ia belum puas karena spiritnya belum seperti yang diharapkan.

Masihu terus berjuang supaya gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim
berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai itu terwujud. Dia ingin
supaya provinsi dan atau kabupaten yang berbasis maritim dengan
provinsi/kabupaten yang memiliki daratan luas harus dipisah pola fiskalnya.

"Seperti Wakatobi (kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara), ini tidak
akan pernah bisa mengejar ketertinggalan dari yang lain karena
perhitungan dana alokasi umum atau DAU berdasarkan luas daratan. Laut
tidak diperhitungkan. Dalam konsep pemerintah, yang dimaksud wilayah
adalah daratan. Ini merugikan daerah yang lebih luas lautnya," jelasnya.

Pembangunan ekonomi maritim yang ia maksudkan di antaranya menyangkut fungsi dari wisata bahari, perikanan, transportasi, dan pengembangan pelabuhan. "Ini harus menjadi kerangka kerja pengembangan ekonomi maritim Indonesia. Ini gagasan awalnya," kata Masihu.

Keyakinannya akan potensi laut Indonesia ini karena sumber daya di bawah
laut begitu besar dan belum tereksplorasi.

"Emas, uranium, dan titanium kita penuh, tapi teknologi kita belum
nyampe. Saya orang kimia, jadi paham. Saya sudah tulis itu di buku.
Sekarang problemnya masih teknologi saja," ujarnya.

*Bersitegang dengan Habibie*

Ketika menjadi anggota DPR pada 1997-1999, Masihu pernah berdebat
"sengit" dengan BJ Habibie yang saat itu menjadi Menteri Negara Riset
dan Teknologi. Masihu memprotes Habibie yang mengagungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Dalam satu persidangan di DPR, tahun 1997, Masihu menguraikan gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah Habibie terpilih menjadi wakil presiden, Masihu yang baru pulang dari kunjungan kerja di Yogyakarta mendapat kabar bahwa dirinya dicari BJ Habibie.

"Saya sempat takut juga. Saya kira mau dimarahi karena bersitegang di
DPR itu. Pas masuk, saya minta maaf kepada Wapres. Tapi di luar dugaan,
saya malah disuruh duduk untuk menceritakan kembali gimana konsep
membangun ekonomi maritim yang saya maksud," papar Masihu.

Habibie lalu meminta Masihu membantu Wapres yang hendak mengembangkan dunia maritim.

"Saya kemudian jatuh hati kepada Habibie, dari berhubungan sebuah
konsepsi lahir kerja sama. Itu yang membuat saya kagum. Di Indonesia
jarang orang seperti itu. Biasanya, kalau kita berbeda pendapat,
bermusuhan. Karena itu saya respek, bersahabat. Saya disuruh menulis
konsep itu," ceritanya.

Gagasan Masihu inilah yang akhirnya bisa mendorong supaya kelautan dan
daerah kepulauan diperhatikan. Gagasan itu bahkan telah ia tuangkan
dalam bentuk buku, terutama tentang bagaimana mengembangkan perikanan dan kelautan, pulau-pulau kecil, perhubungan, industri kelautan di pelabuhan, pariwisata bahari, hukum laut, sistem pertahanan laut
Indonesia, dan pengelolaan kapal-kapal tenggelam.

*Belum puas*

Meski kini sudah ada Departemen Kelautan dan Perikanan, Masihu merasa
wilayah kepulauan dan daerah pesisir masih diabaikan. Dirinya tetap
masih memperjuangkan supaya dalam pandangan fiskal harus dibagi dua,
untuk daerah yang berbasis lautan luas dan yang berbasis daratan luas.

Menurut Masihu, Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi konsepsi
kita tidak mencerminkan sebuah pandangan negara kepulauan. Kenyataan ini yang mendorong Masihu untuk kembali memperjuangkan penerapan
gagasan-gagasannya itu.

Salah satunya, ia berharap terjadi penguatan lembaga Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD melalui orang-orang yang kelak---pada periode hasil
pemilu mendatang--- duduk di dalamnya.

Saat ini, Masihu bersama salah satu badan PBB sedang merancang
pendidikan politeknik maritim di Sibolga, Sumatera Utara. Politeknik
maritim ini sebagai bagian dari konsep sabuk ekonomi maritim berbasis
kepulauan yang ia gagas.

Mengapa di Sibolga? Sebab, Sibolga adalah bagian dari kota pantai yang
mengarah ke Samudra Indonesia. Pada waktu-waktu tertentu, kapal-kapal
ikan yang berada di Samudra Indonesia harus mengambil minyak, air,
garam, dan lain-lain di Sibolga. Aktivitas ini bisa menggerakkan roda
ekonomi wilayah Sibolga dan sekitarnya.

"Feeling saya, kalau Indonesia tidak jadi negara maritim, Indonesia
tidak bisa maju. Karena daratan kita terbatas dan padat. Adapun laut
kita potensinya sangat luas dan belum tergarap dengan baik," kata Masihu.

Kecintaan dia pada laut sudah tertanam sejak lama. Dia adalah anak
nelayan dari Kaledupa (dulu di Kabupaten Buton, sekarang Kabupaten
Wakatobi). Ketika kecil, Masihu hidup di laut, berlayar ke pulau-pulau
lain di Indonesia bersama ayah dan keluarganya.

"Ilmu kelautan sudah saya tamatkan secara alami ketika masih di sekolah
dasar. Saya paham betul bagaimana laut itu dan manfaatnya bagi
kesejahteraan bangsa. Semua data tersebut saya punya," ujarnya. (KEN)

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?

Berikut artikel dimuat di KORAN TEMPO, 27 des 2008.Moga bermanfaat

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?
 (Catatan Akhir Tahun 2008)
Oleh :
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB
 
Tahun 2008 banyak fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 Juli 2008 lalu membuat bea masuk 51 produk perikanan kita ke Jepang menjadi nol. Semula ini pertanda globalisasi kian menguat. Namun globalisasi perikanan juga ternyata bermasalah. Pertemuan WTO di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporakporandakan perdagangan perikanan. Pertanyaannya: bagaimana dampak globalisasi perikanan terhadap Indonesia?
 
Globalisasi perikanan memiliki paling tidak tiga isu. Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan  budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produksi menjadi isu global tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan.. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung
bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun.  Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purese seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu, ke depan budidaya akan terus didorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukkan Cina dan Vietnam. Namun diperkirakan tahun 2030 di dunia pun tangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76% perikanan di dunia sudah dieksploitasi penuh dan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikanan suatu negara sudah sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi dialami baik NSB dan NM, akibat globalisasi energi dimana BBM menjadi mainan para spekulan internasional.
Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dalam menyiasati dan akhirnya kolaps.   
 
Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi.Hampir bisa diduga bahwa investasi di sektor perikanan akan menurun. Paling tidak dilihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendala dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp 11-13ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industri perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industri pakan.
 
Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated, unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor UE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU. Bagi Indonesia, adanya gerakan anti IUU fishing bisa berkah atau bencana. Berkahnya adalah karena laut kita
adalah obyek pencurian ikan. Belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004, kerugian kita mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/ tahun, dan ada sekitar 1000 kapal yang dapat dikategorikan IUU fishing, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Nah, bencananya adalah kini kita tak bisa lagi menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita
masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC ternyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik internasional, dan tidak hanya masalah teknis. Dan, disinilah NSB menjadi korban. 
 
Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar UE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapta/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang NSB punya kesempatan untuk meraih keuntungan dari pasar NM yang
makin terbuka. Namun persoalannya bukan relasi antara NSB-NM, tetapi lebih pada NSB-NSB. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah diduga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing.  Kedua, keuntungan ekspor NSB hanya akan dinikmati para eksportir atau pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku akan tetap menikmati harga lokal. Apakah dengan bea-masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukkan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan kenaikan pembangunan ekonomi dan manusia.
 
Nah, kini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia.Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu segera diantisipasi fenomena ini melalui instrumen pengendalian impor, seperti peningkatan uji mutu produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor, dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.
 
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000)  nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan bahwa masalah overeksploitasi sumberdaya ikan di NSB ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal yang sama juga sesuai hasil riset beberapa ilmuwan Jepang di World Fisheries Congress lalu yang melihat subsidi tidak berkorelasi dengan kerusakan sumberdaya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja,
memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai.
 
Untuk itu, globalisasi perikanan harus disikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?

Berikut artikel dimuat di KORAN TEMPO, 27 des 2008.Moga bermanfaat

GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?
 (Catatan Akhir Tahun 2008)
Oleh :
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB
 
Tahun 2008 banyak fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 Juli 2008 lalu membuat bea masuk 51 produk perikanan kita ke Jepang menjadi nol. Semula ini pertanda globalisasi kian menguat. Namun globalisasi perikanan juga ternyata bermasalah. Pertemuan WTO di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporakporandakan perdagangan perikanan. Pertanyaannya: bagaimana dampak globalisasi perikanan terhadap Indonesia?
 
Globalisasi perikanan memiliki paling tidak tiga isu. Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan  budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produksi menjadi isu global tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan.. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung
bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun.  Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purese seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu, ke depan budidaya akan terus didorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukkan Cina dan Vietnam. Namun diperkirakan tahun 2030 di dunia pun tangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76% perikanan di dunia sudah dieksploitasi penuh dan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikanan suatu negara sudah sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi dialami baik NSB dan NM, akibat globalisasi energi dimana BBM menjadi mainan para spekulan internasional.
Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dalam menyiasati dan akhirnya kolaps.   
 
Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi.Hampir bisa diduga bahwa investasi di sektor perikanan akan menurun. Paling tidak dilihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendala dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp 11-13ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industri perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industri pakan.
 
Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated, unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor UE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU. Bagi Indonesia, adanya gerakan anti IUU fishing bisa berkah atau bencana. Berkahnya adalah karena laut kita
adalah obyek pencurian ikan. Belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004, kerugian kita mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/ tahun, dan ada sekitar 1000 kapal yang dapat dikategorikan IUU fishing, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Nah, bencananya adalah kini kita tak bisa lagi menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita
masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC ternyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik internasional, dan tidak hanya masalah teknis. Dan, disinilah NSB menjadi korban. 
 
Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar UE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapta/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang NSB punya kesempatan untuk meraih keuntungan dari pasar NM yang
makin terbuka. Namun persoalannya bukan relasi antara NSB-NM, tetapi lebih pada NSB-NSB. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah diduga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing.  Kedua, keuntungan ekspor NSB hanya akan dinikmati para eksportir atau pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku akan tetap menikmati harga lokal. Apakah dengan bea-masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukkan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan kenaikan pembangunan ekonomi dan manusia.
 
Nah, kini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia.Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu segera diantisipasi fenomena ini melalui instrumen pengendalian impor, seperti peningkatan uji mutu produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor, dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.
 
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000)  nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan bahwa masalah overeksploitasi sumberdaya ikan di NSB ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal yang sama juga sesuai hasil riset beberapa ilmuwan Jepang di World Fisheries Congress lalu yang melihat subsidi tidak berkorelasi dengan kerusakan sumberdaya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja,
memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai.
 
Untuk itu, globalisasi perikanan harus disikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang

KOMPAS, Sabtu*, 27 Desember 2008

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:52 WIB

*Ester Lince Napitupulu*

"Barangsiapa menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai
perdagangan. Barangsiapa menguasai perdagangan, dialah yang akan
menguasai dunia!"

Spirit yang melandasi kejayaan Britania Raya sejak berabad-abad lampau
tersebut, bagi Laode Masihu Kamaluddin, masih sangat relevan dengan tata
ekonomi dunia hari ini. Buktinya? Sekarang pun ada dua gelombang yang
masih jadi rebutan: gelombang udara (baca: frekuensi) dan gelombang laut!

Indonesia sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya
berupa laut dan pantai, sudah seharusnya melihat laut sebagai potensi
untuk menjadi bangsa yang maju dan disegani.

"Bagaimanapun, 90 persen perdagangan dunia masih melalui laut, dan 40
persennya melalui Indonesia," ujar tokoh penggagas terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan ini.

Keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di laut itu pula yang
mendorong Masihu---begitu ia biasa disapa---mengembang kan gagasan sabuk  ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Konsep  yang mengajak pembangunan negara ini berpaling ke laut itu diperjuangkan  Masihu sejak ia duduk di kursi legislatif pada kurun 1993-2004 hingga  sekarang.

Guru besar di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara,
Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Malang ini
memanfaatkan berbagai forum ilmiah dan seminar untuk terus menyuarakan  gagasannya sebagai ilmuwan. Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan  sudah terbentuk, ia belum puas karena spiritnya belum seperti yang diharapkan.

Masihu terus berjuang supaya gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim
berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai itu terwujud. Dia ingin
supaya provinsi dan atau kabupaten yang berbasis maritim dengan
provinsi/kabupaten yang memiliki daratan luas harus dipisah pola fiskalnya.

"Seperti Wakatobi (kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara), ini tidak
akan pernah bisa mengejar ketertinggalan dari yang lain karena
perhitungan dana alokasi umum atau DAU berdasarkan luas daratan. Laut
tidak diperhitungkan. Dalam konsep pemerintah, yang dimaksud wilayah
adalah daratan. Ini merugikan daerah yang lebih luas lautnya," jelasnya.

Pembangunan ekonomi maritim yang ia maksudkan di antaranya menyangkut fungsi dari wisata bahari, perikanan, transportasi, dan pengembangan pelabuhan. "Ini harus menjadi kerangka kerja pengembangan ekonomi maritim Indonesia. Ini gagasan awalnya," kata Masihu.

Keyakinannya akan potensi laut Indonesia ini karena sumber daya di bawah
laut begitu besar dan belum tereksplorasi.

"Emas, uranium, dan titanium kita penuh, tapi teknologi kita belum
nyampe. Saya orang kimia, jadi paham. Saya sudah tulis itu di buku.
Sekarang problemnya masih teknologi saja," ujarnya.

*Bersitegang dengan Habibie*

Ketika menjadi anggota DPR pada 1997-1999, Masihu pernah berdebat
"sengit" dengan BJ Habibie yang saat itu menjadi Menteri Negara Riset
dan Teknologi. Masihu memprotes Habibie yang mengagungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi
.

Dalam satu persidangan di DPR, tahun 1997, Masihu menguraikan gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah Habibie terpilih menjadi wakil presiden, Masihu yang baru pulang dari kunjungan kerja di Yogyakarta mendapat kabar bahwa dirinya dicari BJ Habibie.

"Saya sempat takut juga. Saya kira mau dimarahi karena bersitegang di
DPR itu. Pas masuk, saya minta maaf kepada Wapres. Tapi di luar dugaan,
saya malah disuruh duduk untuk menceritakan kembali gimana konsep
membangun ekonomi maritim yang saya maksud," papar Masihu.

Habibie lalu meminta Masihu membantu Wapres yang hendak mengembangkan dunia maritim.

"Saya kemudian jatuh hati kepada Habibie, dari berhubungan sebuah
konsepsi lahir kerja sama. Itu yang membuat saya kagum. Di Indonesia
jarang orang seperti itu. Biasanya, kalau kita berbeda pendapat,
bermusuhan. Karena itu saya respek, bersahabat. Saya disuruh menulis
konsep itu," ceritanya.

Gagasan Masihu inilah yang akhirnya bisa mendorong supaya kelautan dan
daerah kepulauan diperhatikan. Gagasan itu bahkan telah ia tuangkan
dalam bentuk buku, terutama tentang bagaimana mengembangkan perikanan dan kelautan, pulau-pulau kecil, perhubungan, industri kelautan di pelabuhan, pariwisata bahari, hukum laut, sistem pertahanan laut
Indonesia, dan pengelolaan kapal-kapal tenggelam.

*Belum puas*

Meski kini sudah ada Departemen Kelautan dan Perikanan, Masihu merasa
wilayah kepulauan dan daerah pesisir masih diabaikan. Dirinya tetap
masih memperjuangkan supaya dalam pandangan fiskal harus dibagi dua,
untuk daerah yang berbasis lautan luas dan yang berbasis daratan luas.

Menurut Masihu, Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi konsepsi
kita tidak mencerminkan sebuah pandangan negara kepulauan. Kenyataan ini yang mendorong Masihu untuk kembali memperjuangkan penerapan
gagasan-gagasannya itu.

Salah satunya, ia berharap terjadi penguatan lembaga Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD melalui orang-orang yang kelak---pada periode hasil
pemilu mendatang--- duduk di dalamnya.

Saat ini, Masihu bersama salah satu badan PBB sedang merancang
pendidikan politeknik maritim di Sibolga, Sumatera Utara. Politeknik
maritim ini sebagai bagian dari konsep sabuk ekonomi maritim berbasis
kepulauan yang ia gagas.

Mengapa di Sibolga? Sebab, Sibolga adalah bagian dari kota pantai yang
mengarah ke Samudra Indonesia. Pada waktu-waktu tertentu, kapal-kapal
ikan yang berada di Samudra Indonesia harus mengambil minyak, air,
garam, dan lain-lain di Sibolga. Aktivitas ini bisa menggerakkan roda
ekonomi wilayah Sibolga dan sekitarnya.

"Feeling saya, kalau Indonesia tidak jadi negara maritim, Indonesia
tidak bisa maju. Karena daratan kita terbatas dan padat. Adapun laut
kita potensinya sangat luas dan belum tergarap dengan baik," kata Masihu.

Kecintaan dia pada laut sudah tertanam sejak lama. Dia adalah anak
nelayan dari Kaledupa (dulu di Kabupaten Buton, sekarang Kabupaten
Wakatobi). Ketika kecil, Masihu hidup di laut, berlayar ke pulau-pulau
lain di Indonesia bersama ayah dan keluarganya.

"Ilmu kelautan sudah saya tamatkan secara alami ketika masih di sekolah
dasar. Saya paham betul bagaimana laut itu dan manfaatnya bagi
kesejahteraan bangsa. Semua data tersebut saya punya," ujarnya. (KEN)

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang

KOMPAS, Sabtu*, 27 Desember 2008

Ekonomi Maritim di Ujung Gelombang
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:52 WIB

*Ester Lince Napitupulu*

"Barangsiapa menguasai gelombang, dialah yang akan menguasai
perdagangan. Barangsiapa menguasai perdagangan, dialah yang akan
menguasai dunia!"

Spirit yang melandasi kejayaan Britania Raya sejak berabad-abad lampau
tersebut, bagi Laode Masihu Kamaluddin, masih sangat relevan dengan tata
ekonomi dunia hari ini. Buktinya? Sekarang pun ada dua gelombang yang
masih jadi rebutan: gelombang udara (baca: frekuensi) dan gelombang laut!

Indonesia sebagai negara kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya
berupa laut dan pantai, sudah seharusnya melihat laut sebagai potensi
untuk menjadi bangsa yang maju dan disegani.

"Bagaimanapun, 90 persen perdagangan dunia masih melalui laut, dan 40
persennya melalui Indonesia," ujar tokoh penggagas terbentuknya
Departemen Kelautan dan Perikanan ini.

Keyakinan bahwa masa depan ekonomi Indonesia ada di laut itu pula yang
mendorong Masihu---begitu ia biasa disapa---mengembang kan gagasan sabuk  ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Konsep  yang mengajak pembangunan negara ini berpaling ke laut itu diperjuangkan  Masihu sejak ia duduk di kursi legislatif pada kurun 1993-2004 hingga  sekarang.

Guru besar di Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara,
Universitas Islam Bandung, dan Universitas Muhammadiyah Malang ini
memanfaatkan berbagai forum ilmiah dan seminar untuk terus menyuarakan  gagasannya sebagai ilmuwan. Meskipun Departemen Kelautan dan Perikanan  sudah terbentuk, ia belum puas karena spiritnya belum seperti yang diharapkan.

Masihu terus berjuang supaya gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim
berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai itu terwujud. Dia ingin
supaya provinsi dan atau kabupaten yang berbasis maritim dengan
provinsi/kabupaten yang memiliki daratan luas harus dipisah pola fiskalnya.

"Seperti Wakatobi (kabupaten kepulauan di Sulawesi Tenggara), ini tidak
akan pernah bisa mengejar ketertinggalan dari yang lain karena
perhitungan dana alokasi umum atau DAU berdasarkan luas daratan. Laut
tidak diperhitungkan. Dalam konsep pemerintah, yang dimaksud wilayah
adalah daratan. Ini merugikan daerah yang lebih luas lautnya," jelasnya.

Pembangunan ekonomi maritim yang ia maksudkan di antaranya menyangkut fungsi dari wisata bahari, perikanan, transportasi, dan pengembangan pelabuhan. "Ini harus menjadi kerangka kerja pengembangan ekonomi maritim Indonesia. Ini gagasan awalnya," kata Masihu.

Keyakinannya akan potensi laut Indonesia ini karena sumber daya di bawah
laut begitu besar dan belum tereksplorasi.

"Emas, uranium, dan titanium kita penuh, tapi teknologi kita belum
nyampe. Saya orang kimia, jadi paham. Saya sudah tulis itu di buku.
Sekarang problemnya masih teknologi saja," ujarnya.

*Bersitegang dengan Habibie*

Ketika menjadi anggota DPR pada 1997-1999, Masihu pernah berdebat
"sengit" dengan BJ Habibie yang saat itu menjadi Menteri Negara Riset
dan Teknologi. Masihu memprotes Habibie yang mengagungkan ilmu
pengetahuan dan teknologi
.

Dalam satu persidangan di DPR, tahun 1997, Masihu menguraikan gagasannya tentang sabuk ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai. Beberapa bulan kemudian, tak lama setelah Habibie terpilih menjadi wakil presiden, Masihu yang baru pulang dari kunjungan kerja di Yogyakarta mendapat kabar bahwa dirinya dicari BJ Habibie.

"Saya sempat takut juga. Saya kira mau dimarahi karena bersitegang di
DPR itu. Pas masuk, saya minta maaf kepada Wapres. Tapi di luar dugaan,
saya malah disuruh duduk untuk menceritakan kembali gimana konsep
membangun ekonomi maritim yang saya maksud," papar Masihu.

Habibie lalu meminta Masihu membantu Wapres yang hendak mengembangkan dunia maritim.

"Saya kemudian jatuh hati kepada Habibie, dari berhubungan sebuah
konsepsi lahir kerja sama. Itu yang membuat saya kagum. Di Indonesia
jarang orang seperti itu. Biasanya, kalau kita berbeda pendapat,
bermusuhan. Karena itu saya respek, bersahabat. Saya disuruh menulis
konsep itu," ceritanya.

Gagasan Masihu inilah yang akhirnya bisa mendorong supaya kelautan dan
daerah kepulauan diperhatikan. Gagasan itu bahkan telah ia tuangkan
dalam bentuk buku, terutama tentang bagaimana mengembangkan perikanan dan kelautan, pulau-pulau kecil, perhubungan, industri kelautan di pelabuhan, pariwisata bahari, hukum laut, sistem pertahanan laut
Indonesia, dan pengelolaan kapal-kapal tenggelam.

*Belum puas*

Meski kini sudah ada Departemen Kelautan dan Perikanan, Masihu merasa
wilayah kepulauan dan daerah pesisir masih diabaikan. Dirinya tetap
masih memperjuangkan supaya dalam pandangan fiskal harus dibagi dua,
untuk daerah yang berbasis lautan luas dan yang berbasis daratan luas.

Menurut Masihu, Indonesia merupakan negara kepulauan, tetapi konsepsi
kita tidak mencerminkan sebuah pandangan negara kepulauan. Kenyataan ini yang mendorong Masihu untuk kembali memperjuangkan penerapan
gagasan-gagasannya itu.

Salah satunya, ia berharap terjadi penguatan lembaga Dewan Perwakilan
Daerah atau DPD melalui orang-orang yang kelak---pada periode hasil
pemilu mendatang--- duduk di dalamnya.

Saat ini, Masihu bersama salah satu badan PBB sedang merancang
pendidikan politeknik maritim di Sibolga, Sumatera Utara. Politeknik
maritim ini sebagai bagian dari konsep sabuk ekonomi maritim berbasis
kepulauan yang ia gagas.

Mengapa di Sibolga? Sebab, Sibolga adalah bagian dari kota pantai yang
mengarah ke Samudra Indonesia. Pada waktu-waktu tertentu, kapal-kapal
ikan yang berada di Samudra Indonesia harus mengambil minyak, air,
garam, dan lain-lain di Sibolga. Aktivitas ini bisa menggerakkan roda
ekonomi wilayah Sibolga dan sekitarnya.

"Feeling saya, kalau Indonesia tidak jadi negara maritim, Indonesia
tidak bisa maju. Karena daratan kita terbatas dan padat. Adapun laut
kita potensinya sangat luas dan belum tergarap dengan baik," kata Masihu.

Kecintaan dia pada laut sudah tertanam sejak lama. Dia adalah anak
nelayan dari Kaledupa (dulu di Kabupaten Buton, sekarang Kabupaten
Wakatobi). Ketika kecil, Masihu hidup di laut, berlayar ke pulau-pulau
lain di Indonesia bersama ayah dan keluarganya.

"Ilmu kelautan sudah saya tamatkan secara alami ketika masih di sekolah
dasar. Saya paham betul bagaimana laut itu dan manfaatnya bagi
kesejahteraan bangsa. Semua data tersebut saya punya," ujarnya. (KEN)

Jumat, 26 Desember 2008

Pemerintah Perhatikan Daerah Pesisir

sumber: http://republika.co.id/koran/0/22611.html
Jumat, 26 Desember 2008 pukul 08:40:00
Pemerintah Perhatikan Daerah Pesisir Pulau terluar rawan diklaim pihak lain.


GRESIK--Pemerintah Indonesia memberikan atensi yang tinggi terhadap pemberdayaan di pesisir. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kalau wilayah pesisir tidak diberdayakan, akan berbahaya dan akan hilang.

Hal tersebut disampaikan Presiden SBY dalam sambutannya pada acara puncak Peringatan Hari Nusantara Ke-9 Tahun 2008 di Pelabuhan Umum Gresik, Rabu (24/12). Presiden mengingatkan, pada kasus Pulau Ligitan dan Sipadan, di mana Pemerintah Indonesia akhirnya tidak bisa mempertahankan pulau itu karena Malaysia selalu memberdayakan wilayah tersebut. SBY meminta agar bangsa Indonesia lebih pandai dalam mengelola dan mengawasi pulau-pulau terdepan. Karena itu, pemerintah mengembangkan kebijakan dan program khusus untuk pulau-pulau terdepan.

"Mari, kita tingkatkan pengelolaan perikanan kita, sistem, metode, dan infrastruktur. Mari, lanjutkan pembangunan di daerah yang memiliki wilayah lautan dan pesisir. Mari, terus bantu tingkatkan taraf kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir dan dukung perguruan tinggi dan lembaga pendidikan untuk betul-betul bisa mendorong dan mempercepat perkembangan sektor ini," paparnya.

Ditegaskannya, Pemerintah Indonesia telah melakukan pendataan pulau-pulau terluar yang tersebar di wilayah Indonesia. Pada 2005, jumlah pulau yang terdata berjumlah 5.029 pulau. Tahun 2006, sebanyak 3.826 pulau. Dan, pada 2007 sampai Agustus, tercatat 4.921 pulau. "Pulau ini akan didaftarkan. Sebab, jika tidak didata, akan rawan dan rentan diklaim negara lain," imbuh Presiden.

Selain itu, SBY berharap pada masyarakat, khususnya yang menerima bantuan, agar semua bantuan yang diserahkan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. "Infrastrukturnya tolong dirawat dengan baik. Sarana pelayaran, seperti kapal-kapal, peliharalah dengan sebaik-baiknya. Karena, anggaran negara yang kita gunakan tidak sedikit," ujarnya.

Presiden berpesan agar seluruh komponen bangsa, baik generasi saat ini maupun yang akan datang, untuk terus mempertahankan, mengamankan, menjaga, serta mengembangkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. "Mari, kita bangun dan kita kembangkan sumber daya alam yang banyak sekali. Demi kesejahteraan rakyat kita, tepat kiranya ke depan ini, pembangunan di Indonesia harus bersama-sama secara seimbang menggunakan dan mendayagunakan sumber daratan dan sumber kelautan," katanya.

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal yang hadir di acara itu menegaskan, berkat Deklarasi Djuanda, Indonesia memiliki wilayah laut yang sangat luas. "Luas laut sekitar tiga perempat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Sebelumnya, masyarakat internasional mengakui bahwa batas laut teritorial selebar tiga mil laut terhitung dari garis pantai terendah," ujarnya.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa segala perairan yang ada di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan RI dan merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan RI.

Usai memberikan sambutan, Presiden menandatangani prasasti sebagai tanda pengoperasian empat unit kapal perintis. Kapal-kapal tersebut, antara lain satu unit KM Papua Enam tipe 350 DWT untuk wilayah Merauke, Provinsi Papua; satu unit KM Bukit Patung tipe 350 DWT untuk wilayah Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah; satu unit KM Tanjung Tungkar tipe 750 DWT untuk wilayah Tual, Provinsi Maluku; dan satu unit KMP Egrom kapal feri 500 GT untuk operasi wilayah Saumlaki, Provinsi Maluku. tok

(-)