Kamis, 30 April 2009

Laut Sawu

" Laut Sawu "

Minggu, 26 April 2009 01:18 WIB
Posting by : warso

Dihuni 50 % Jenis Paus di Seluruh Dunia

Dimana kita bisa menemukan habitat terbesar ikan paus? Jawabnya, di Laut Sawu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bayangkan, sekitar 14 dari 27 jenis paus di seluruh dunia terdapat di laut yang terletak di antara Pulau Timor, Pulau Sawu, Pulau Sumba, Pulau Flores, dan Kepulauan Alor.

Itu berarti lebih dari 50 persen jenis paus di seluruh dunia berada di Laut Sawu yang terletak di bagian selatan segitiga karang dunia (coral reef triangle). Atau secara geografis, Laut Sawu terletak di persimpangan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Tingginya populasi paus di Laut Sawu karena perairan tersebut merupakan jalur migrasi dari 14 jenis paus, termasuk dari jenis langka, yakni paus biru (Balaenoptera musculus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus). Paus sperma merupakan hewan bergigi terbesar di dunia. Disebut demikian karena pada bagian kepalanya terdapat bahan putih susu seperti sperma.

Sementara itu, paus biru adalah jenis paus terbesar yang panjangnya mencapai lebih dari 33 meter dan bobot mencapai 181 ton. Ia bertubuh panjang dan langsing. Paus ini dicirikan oleh warna tubuhnya yang kelabu kebiruan.

Perkiraan jalur migrasi paus sperma adalah dari Samudra Pasifik melewati Laut Banda, Laut Flores, lalu masuk Laut Sawu melalui perairan Pulau Alor dan ke Samudra Hindia di selatan Sumba atau sebaliknya. Rute migrasi ini merupakan jalur tetap dan vital.

Maklum, selain arusnya bagus, pada saat tertentu juga terdapat banyak makanan paus yakni cumi-cumi. Selain mencari pakan, migrasi juga bertujuan mencari perairan yang hangat bagi paus untuk melahirkan.

Populasinya Menyusut
Kini, sebagian pecinta lingkungan merasa khawatir terhadap populasi paus yang terus menyusut. Betapa tidak, nelayan lokal Lamalera secara periodik terus memburu paus-paus tersebut. Tradisi nelayan di Pulau Lembata, NTT itu sudah termashur di seluruh dunia. Menurut dokumen pelaut Portugis, perburuan tersebut sudah dimulai sejak tahun 1642.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lembata, NTT menunjukkan, sejak tahun 1957 mereka memburu dan membunuh sekitar 475 ekor. Itu berarti setiap tahun 20 hingga 50 paus tewas dibunuh.
Cara berburunya sangat unik. Sekelompok nelayan lokal itu hanya bermodalkan sampan bercadik (paledang) dan bersenjatakan tombak (tempuling) berpengait. Ketika ikan paus berhasil dicegat di tengah laut, dengan sekuat tenaga seorang nelayan tadi melompat dari sampannya menghujamkan tombaknya ke badan ikan paus.

Atraksi ini makin sengit manakala paus buruan itu buas. Bisa jadi, sang penombak tadi terseret ke laut lepas. Terjadi pertarungan seru antara nelayan tadi dan ikan paus yang beratnya bisa mencapai 30 ton dengan panjang 9 meter. Malah kadang-kadang perahu kecil itu dihantam paus dan hancur berkeping-keping. Beberapa nelayan pun tewas mengenaskan.

Namun demikian tak sedikit pertempuran itu dimenangkan nelayan. Ikan paus yang telah dilumpuhkan itu kemudian ditarik ke pantai. Dagingnya dipotong-potong dan dijemur. Bau amis menyebar di Kampung Lamalera.
Hampir di setiap rumah penduduk memiliki “pancuran dadakan” yang secara khusus mengalirkan tetesan minyak paus. Sebagian minyak ini dimanfaatkan untuk bahan bakar penerangan pelita di malam hari. Sisanya dijual.

Sementara itu, daging yang telah kering itu dibawa ke pasar untuk dijual atau dibarter dengan ubi jalar, batang tebu, sirih, merica, kemiri, dan lain-lain.

Mencemaskan
Bagi sebagian kalangan, perburuan paus ini mencemaskan. Sebab, proses reproduksi paus berlangsung sangat lambat. Paus dewasa baru bisa melahirkan anaknya ketika sudah berumur 20 tahun. Lagi pula setiap induk paus hanya melahirkan seekor anak.

Paus yang baru dilahirkan akan selalu dekat induknya agar bisa berlindung. Pada umumnya paus mampu tumbuh dengan cepat. Saat baru dilahirkan, anak paus biru misalnya, memiliki berat hanya sekitar tiga ton. Namun setelah tujuh bulan, ia berbobot sekitar 32 ton.

Mamalia laut ini memang unik. Ia memiliki sirip dada sebagai alat keseimbangan pada saat berenang dan sirip ekor sebagai alat berenang. Setelah menyelam selama sekitar 90 menit pada kedalaman 1.000 meter, paus akan kembali permukaan air laut untuk menarik nafas dengan menggunakan paru-paru. Nafas hangat itu lalu dihembuskan ke udara sehingga tampak seperti air mancur.

b. siswo
sumber: koran jakarta

Laut Sawu

" Laut Sawu "

Minggu, 26 April 2009 01:18 WIB
Posting by : warso

Dihuni 50 % Jenis Paus di Seluruh Dunia

Dimana kita bisa menemukan habitat terbesar ikan paus? Jawabnya, di Laut Sawu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Bayangkan, sekitar 14 dari 27 jenis paus di seluruh dunia terdapat di laut yang terletak di antara Pulau Timor, Pulau Sawu, Pulau Sumba, Pulau Flores, dan Kepulauan Alor.

Itu berarti lebih dari 50 persen jenis paus di seluruh dunia berada di Laut Sawu yang terletak di bagian selatan segitiga karang dunia (coral reef triangle). Atau secara geografis, Laut Sawu terletak di persimpangan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Tingginya populasi paus di Laut Sawu karena perairan tersebut merupakan jalur migrasi dari 14 jenis paus, termasuk dari jenis langka, yakni paus biru (Balaenoptera musculus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus). Paus sperma merupakan hewan bergigi terbesar di dunia. Disebut demikian karena pada bagian kepalanya terdapat bahan putih susu seperti sperma.

Sementara itu, paus biru adalah jenis paus terbesar yang panjangnya mencapai lebih dari 33 meter dan bobot mencapai 181 ton. Ia bertubuh panjang dan langsing. Paus ini dicirikan oleh warna tubuhnya yang kelabu kebiruan.

Perkiraan jalur migrasi paus sperma adalah dari Samudra Pasifik melewati Laut Banda, Laut Flores, lalu masuk Laut Sawu melalui perairan Pulau Alor dan ke Samudra Hindia di selatan Sumba atau sebaliknya. Rute migrasi ini merupakan jalur tetap dan vital.

Maklum, selain arusnya bagus, pada saat tertentu juga terdapat banyak makanan paus yakni cumi-cumi. Selain mencari pakan, migrasi juga bertujuan mencari perairan yang hangat bagi paus untuk melahirkan.

Populasinya Menyusut
Kini, sebagian pecinta lingkungan merasa khawatir terhadap populasi paus yang terus menyusut. Betapa tidak, nelayan lokal Lamalera secara periodik terus memburu paus-paus tersebut. Tradisi nelayan di Pulau Lembata, NTT itu sudah termashur di seluruh dunia. Menurut dokumen pelaut Portugis, perburuan tersebut sudah dimulai sejak tahun 1642.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lembata, NTT menunjukkan, sejak tahun 1957 mereka memburu dan membunuh sekitar 475 ekor. Itu berarti setiap tahun 20 hingga 50 paus tewas dibunuh.
Cara berburunya sangat unik. Sekelompok nelayan lokal itu hanya bermodalkan sampan bercadik (paledang) dan bersenjatakan tombak (tempuling) berpengait. Ketika ikan paus berhasil dicegat di tengah laut, dengan sekuat tenaga seorang nelayan tadi melompat dari sampannya menghujamkan tombaknya ke badan ikan paus.

Atraksi ini makin sengit manakala paus buruan itu buas. Bisa jadi, sang penombak tadi terseret ke laut lepas. Terjadi pertarungan seru antara nelayan tadi dan ikan paus yang beratnya bisa mencapai 30 ton dengan panjang 9 meter. Malah kadang-kadang perahu kecil itu dihantam paus dan hancur berkeping-keping. Beberapa nelayan pun tewas mengenaskan.

Namun demikian tak sedikit pertempuran itu dimenangkan nelayan. Ikan paus yang telah dilumpuhkan itu kemudian ditarik ke pantai. Dagingnya dipotong-potong dan dijemur. Bau amis menyebar di Kampung Lamalera.
Hampir di setiap rumah penduduk memiliki “pancuran dadakan” yang secara khusus mengalirkan tetesan minyak paus. Sebagian minyak ini dimanfaatkan untuk bahan bakar penerangan pelita di malam hari. Sisanya dijual.

Sementara itu, daging yang telah kering itu dibawa ke pasar untuk dijual atau dibarter dengan ubi jalar, batang tebu, sirih, merica, kemiri, dan lain-lain.

Mencemaskan
Bagi sebagian kalangan, perburuan paus ini mencemaskan. Sebab, proses reproduksi paus berlangsung sangat lambat. Paus dewasa baru bisa melahirkan anaknya ketika sudah berumur 20 tahun. Lagi pula setiap induk paus hanya melahirkan seekor anak.

Paus yang baru dilahirkan akan selalu dekat induknya agar bisa berlindung. Pada umumnya paus mampu tumbuh dengan cepat. Saat baru dilahirkan, anak paus biru misalnya, memiliki berat hanya sekitar tiga ton. Namun setelah tujuh bulan, ia berbobot sekitar 32 ton.

Mamalia laut ini memang unik. Ia memiliki sirip dada sebagai alat keseimbangan pada saat berenang dan sirip ekor sebagai alat berenang. Setelah menyelam selama sekitar 90 menit pada kedalaman 1.000 meter, paus akan kembali permukaan air laut untuk menarik nafas dengan menggunakan paru-paru. Nafas hangat itu lalu dihembuskan ke udara sehingga tampak seperti air mancur.

b. siswo
sumber: koran jakarta

Kawasan Konservasi untuk Melindungi Paus

" Kawasan Konservasi untuk Melindungi Paus "

Minggu, 26 April 2009 01:23 WIB
Posting by : darto

Kalau paus punah maka yang rugi tentu saja masyarakat tersebut. Karena itulah rencana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional untuk perlindungan ikan paus perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Perburuan paus secara tradisional di Laut Sawu di satu pihak memang menghasilkan devisa bagi warga di Lamalera, Pulau Lembata, NTT. Selain mendapatkan minyak dan daging dari hewan menyusui, mereka juga kedatangan para turis manca negara untuk melihat atraksi tersebut.

Selama tahun 2008 misalnya, para turis dari Australia, Belanda, Jerman, dan Jepang berdatangan. Saat musim berburu (April-Oktober) itulah pantai-pantai di Lamalera tak pernah sepi dari para turis asing.

Selain ingin melihat atraksi itu, para turis juga menikmati keelokan Pulau Komodo. Ya, perairan di Pulau Komodo itu sangat terkenal bagi para penyelam karena memiliki keelokan kehidupan bawah laut. Apalagi jarak antara Pulau Sawu dan Pulau Komodo cukup dekat.

Namun di sisi lain, kalau perburuan ini tidak terkontrol bisa jadi paus malah terancam punah. Gejala itu kini sudah mulai tampak. Sepanjang 2007-2008 misalnya, banyak nelayan mengaku kian sulit memburu paus.
Mamalia yang bernafas dengan paru-paru ini semakin sulit ditemukan di Laut Sawu. Padahal sebelumnya, dalam sepekan mereka dapat memburu 2 sampai 3 ekor paus.

Kalau paus punah maka yang rugi tentu saja masyarakat tersebut. Karena itulah rencana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional untuk perlindungan ikan paus perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Deklarasi Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan World Ocean Confrence (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009. Dengan demikian, laut seluas 4,5 juta hektare itu nantiya menjadi satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus.

Selain itu, nelayan tradisional juga masih tetap diperbolehkan memburu paus pada zona-zona yang telah ditentukan. Melalui pembentukan zonasi dan tata ruang laut diharapkan kegiatan perburuan paus ini menjadi lebih terkontrol.

b.siswo
 
tanggapan:
rencana pencadangan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) laut sawu sebagai Taman Nasional Perairan (TNP) laut sawu seluas +- 3,5 juta hektar, meliputi dua wilayah, yaitu: Perairan Selat Sumba dan sekitarnya seluas +- 567 ribu hektar dan perairan Pulau Sabu-Rote-Timor- Batek dan Sekitarnya seluas +- 2,95 juta hektar.

 

Kawasan Konservasi untuk Melindungi Paus

" Kawasan Konservasi untuk Melindungi Paus "

Minggu, 26 April 2009 01:23 WIB
Posting by : darto

Kalau paus punah maka yang rugi tentu saja masyarakat tersebut. Karena itulah rencana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional untuk perlindungan ikan paus perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Perburuan paus secara tradisional di Laut Sawu di satu pihak memang menghasilkan devisa bagi warga di Lamalera, Pulau Lembata, NTT. Selain mendapatkan minyak dan daging dari hewan menyusui, mereka juga kedatangan para turis manca negara untuk melihat atraksi tersebut.

Selama tahun 2008 misalnya, para turis dari Australia, Belanda, Jerman, dan Jepang berdatangan. Saat musim berburu (April-Oktober) itulah pantai-pantai di Lamalera tak pernah sepi dari para turis asing.

Selain ingin melihat atraksi itu, para turis juga menikmati keelokan Pulau Komodo. Ya, perairan di Pulau Komodo itu sangat terkenal bagi para penyelam karena memiliki keelokan kehidupan bawah laut. Apalagi jarak antara Pulau Sawu dan Pulau Komodo cukup dekat.

Namun di sisi lain, kalau perburuan ini tidak terkontrol bisa jadi paus malah terancam punah. Gejala itu kini sudah mulai tampak. Sepanjang 2007-2008 misalnya, banyak nelayan mengaku kian sulit memburu paus.
Mamalia yang bernafas dengan paru-paru ini semakin sulit ditemukan di Laut Sawu. Padahal sebelumnya, dalam sepekan mereka dapat memburu 2 sampai 3 ekor paus.

Kalau paus punah maka yang rugi tentu saja masyarakat tersebut. Karena itulah rencana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menjadikan Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional untuk perlindungan ikan paus perlu disikapi secara arif dan bijaksana.

Deklarasi Laut Sawu sebagai kawasan konservasi nasional akan dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan World Ocean Confrence (WOC) di Manado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009. Dengan demikian, laut seluas 4,5 juta hektare itu nantiya menjadi satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus.

Selain itu, nelayan tradisional juga masih tetap diperbolehkan memburu paus pada zona-zona yang telah ditentukan. Melalui pembentukan zonasi dan tata ruang laut diharapkan kegiatan perburuan paus ini menjadi lebih terkontrol.

b.siswo
 
tanggapan:
rencana pencadangan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) laut sawu sebagai Taman Nasional Perairan (TNP) laut sawu seluas +- 3,5 juta hektar, meliputi dua wilayah, yaitu: Perairan Selat Sumba dan sekitarnya seluas +- 567 ribu hektar dan perairan Pulau Sabu-Rote-Timor- Batek dan Sekitarnya seluas +- 2,95 juta hektar.

 

Kamis, 23 April 2009

KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN DI INDONESIA (buku)

buku KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN DI INDONESIA, selengkapnya sebagaimana terlampir

KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN DI INDONESIA (buku)

buku KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN DI INDONESIA, selengkapnya sebagaimana terlampir

Pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Bahas

proses dan inisiasi pencadangan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) laut sawu telah lama dilajukan. survei potensi bahkan telah dilakukan sejak tahun 2001. selanjutnya pada tahun 2005 dilakukan kajian dalam rangka mengetahu potensi perairan pulau Batek, laut sawu dan sekitanya, khususnya mengenai keberadaan biota laut migrasi di kawasan tersebut.

Pencadangan KKPN yang nantinya berfungsi sebagai taman nasional perairan (TNP) tersebut meliputi wilayah perairan selat sumba dan sekitarnya seluas 567.165,64 Ha dan wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya seluas 2.953.964,37 Ha. total keseluruhan rencana pencadangan TNP laut sawu tersebut adalah 3.521.130,01 Ha.

pembahasan mengenai draft SK menteri kelautan dan perikanan tentang pencadangan kawasan ini telah dilakukan dan rencananya setelah ada SK pencadangan kawasan konservasi tersebut, selanjutnya akan dideklarasikan pada kegiatan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada 12 Mei mendatang. (sji)

Pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Bahas

proses dan inisiasi pencadangan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) laut sawu telah lama dilajukan. survei potensi bahkan telah dilakukan sejak tahun 2001. selanjutnya pada tahun 2005 dilakukan kajian dalam rangka mengetahu potensi perairan pulau Batek, laut sawu dan sekitanya, khususnya mengenai keberadaan biota laut migrasi di kawasan tersebut.

Pencadangan KKPN yang nantinya berfungsi sebagai taman nasional perairan (TNP) tersebut meliputi wilayah perairan selat sumba dan sekitarnya seluas 567.165,64 Ha dan wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya seluas 2.953.964,37 Ha. total keseluruhan rencana pencadangan TNP laut sawu tersebut adalah 3.521.130,01 Ha.

pembahasan mengenai draft SK menteri kelautan dan perikanan tentang pencadangan kawasan ini telah dilakukan dan rencananya setelah ada SK pencadangan kawasan konservasi tersebut, selanjutnya akan dideklarasikan pada kegiatan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada 12 Mei mendatang. (sji)

Senin, 13 April 2009

Politik Konversi dan Kesejahteraan Nelayan

Senin, 13 April 2009 | 03:53 WIB

Oleh Arif Satria

Ada tiga momentum penting konservasi laut pada awal 2009 ini. Pertama, penyerahan kewenangan sejumlah kawasan konservasi laut dari Departemen Kehutanan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Kedua, target 10 juta hektar kawasan konservasi laut 2010. Ketiga, Coral Triangle Initiative Summit.

Target 10 juta hektar kawasan konservasi laut tahun 2010 sepertinya hampir tercapai seiring rencana Laut Sawu dijadikan kawasan konservasi laut.

Sementara itu, Coral Triangle Initiative (CTI) Summit yang akan digelar pada 13-15 Mei di Manado seperti sebuah momen pemukulan gong dimulainya babak baru politik konservasi di Indonesia.

Kini pertanyaan lanjutan adalah bagaimana prospek kesejahteraan nelayan dalam politik konservasi yang baru ini?

Pertanyaan ini penting mengingat konservasi di dunia mana pun banyak yang bermasalah dengan perikanan sehingga wajar bila World Fisheries Congress Keempat tahun 2004 mengangkat tema ini.

Kesejahteraan nelayan

Kawasan konservasi laut umumnya berada di kawasan tengah dan timur Indonesia yang memang masuk kawasan CTI.

Berdasarkan data nilai tukar nelayan (NTN) bulan Maret-Oktober 2008, kesejahteraan nelayan di kawasan CTI tersebut dapat dipetakan menjadi dua wilayah. Pertama, wilayah yang memiliki NTN lebih dari 100. Wilayah yang masuk kategori ini adalah Nusa Tenggara Timur (102,85), Kalimantan Timur (100,17), Sulawesi Utara (102,77), Sulawesi Tengah (105,21), Sulawesi Selatan (100,58), Gorontalo (109,27), Sulawesi Barat (101,93), Maluku (114,93), dan Papua Barat (109,97).

Adapun yang kedua adalah wilayah yang memiliki NTN di bawah 100. Yang termasuk kategori ini adalah Bali (93,26), Nusa Tenggara Barat (90,48), Kalimantan Selatan (92,81), Sulawesi Tenggara (99,66), Maluku Utara (88,17), dan Papua (94,89).

NTN di atas 100 artinya indeks harga yang diterima nelayan lebih tinggi daripada indeks harga yang dibayar nelayan. Memang kemudian sering disimpulkan bahwa NTN di atas 100 tergolong sejahtera meski banyak pula yang berkeberatan mengatakan NTN sebagai indikator kesejahteraan nelayan.

Alasannya, pendapatan nelayan yang bersumber dari kegiatan nonperikanan tidak dihitung. Begitu pula NTN tersebut masih merupakan gabungan antara nelayan dan pembudidaya ikan.

Jadi, kalau sebuah wilayah memiliki NTN sebesar 100 belum tentu menggambarkan nelayannya sejahtera. Sebab, bisa jadi nilai tersebut banyak disumbang oleh pembudidaya ikan, begitu pula sebaliknya.

Namun, NTN adalah data tersedia yang terbaik (the best available data) tentang kesejahteraan nelayan yang dibuat Badan Pusat Statistik.

Data NTN tersebut menggambarkan bahwa tidak semua nelayan dan pembudidaya ikan di wilayah CTI tergolong sejahtera. Bahkan, Bali dan NTB sebagai salah satu daerah wisata bahari potensial justru memiliki NTN sangat rendah.

Padahal, bukankah selama ini wisata bahari diagung-agungkan sebagai salah satu pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir?

Kondisi seperti itu penting untuk diwaspadai mengingat selama ini kawasan konservasi selalu dianggap sumber potensial untuk wisata bahari yang pada gilirannya nanti dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Seolah-olah kesejahteraan masyarakat pesisir akan otomatis meningkat begitu kawasan konservasi ditetapkan.

Padahal, kesejahteraan nelayan terkait dengan dua hal, yaitu akses pada pemanfaatan sumber daya serta akses dan kontrol pada pengelolaan sumber daya.

Semakin kecil akses pada kedua hal tersebut, sudah dapat diduga kesejahteraan nelayan akan makin terancam.

Hal itu memang sudah terbukti di beberapa kawasan konservasi dan taman nasional laut, di mana nelayan semakin terbatas aksesnya pada pemanfaatan sumber daya laut. Ini karena daerah tangkapannya menjadi zona inti yang dilindungi.

Hal ini pulalah yang membuat banyak nelayan dan pemerintah daerah alergi terhadap istilah konservasi meski kasus-kasus tersebut terjadi pada kawasan konservasi versi lama yang didesain secara sentralistik tanpa melibatkan pemerintah daerah, apalagi nelayan.

Sementara itu, kawasan konservasi versi baru yang lebih desentralistik melalui bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) belum dapat diimplementasikan karena terbentur pada desain institusionalisasinya. Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait dengan bentuk dan model kelembagaan KKLD. Ini termasuk mekanisme partisipasi masyarakat dan pembiayaannya.

Saat ini baru Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang relatif lebih maju dibandingkan daerah lain. Di Berau, masyarakat sudah diberi kesempatan membuat zonasi versi mereka sendiri berdasarkan pengetahuannya (local knowledge).

Ternyata apa yang dihasilkan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan versi ilmiah yang dibuat para ahli. Namun, dengan masyarakat terlibat dalam proses penentuan zonasi tersebut akan membuat kawasan konservasi menjadi lebih legitimate.

Legitimasi masyarakat ini adalah faktor terpenting dalam konservasi.

Tantangan CTI

Dengan kondisi KKLD yang umumnya belum berjalan ini, ditambah lagi dengan CTI yang melibatkan dunia internasional, tantangan konservasi laut di Indonesia akan semakin kompleks.

Kompleksitasnya terletak pada dua hal. Pertama, aspek kelembagaan. Bayangkan, di sana ada KKLD, Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, juga Wilayah Pengelolaan Perikanan. Ketiga kawasan pengelolaan tersebut sampai sekarang belum jalan dan ditangani oleh unit yang berbeda-beda.

Memang, CTI bisa saja menjadi penyelaras kawasan-kawasan tersebut. Namun, bisa juga CTI hanya akan menjadi kesepakatan di atas kertas bila ketiga kawasan yang menjadi ujung tombak tersebut tidak berjalan secara sinergis.

Kedua, aspek kesejahteraan. Yang perlu dibuka ke publik adalah aturan-aturan apa saja yang akan disepakati dalam CTI Summit nanti yang berdampak bagi nelayan?

Daerah CTI juga merupakan spawning ground bagi tuna sirip kuning (yellow-fin tuna) dan bisa jadi akan ada aturan internasional yang melarang penangkapan tuna kecil oleh nelayan di wilayah kita sendiri.

Kalau hal itu terjadi, sudah dapat diduga bahwa kesejahteraan nelayan penangkap tuna di sekitar Sulawesi akan terganggu.

Lalu, apa kompensasi untuk para nelayan itu? Adilkah kita bila demi untuk memenuhi konsumsi tuna masyarakat di negara maju, nelayan kita dipaksa untuk tidak menangkapnya di wilayah laut negerinya sendiri?

Satu contoh tersebut bisa menjadi bahan bagi kita dalam mencoba memformulasikan desain konservasi laut yang lebih adil dan menyejahterakan rakyat.

CTI yang anggotanya negara-negara sedang berkembang mestinya lebih fokus pada kepentingan rakyat negara sedang berkembang dan tidak silau dengan agenda-agenda internasional yang sangat manis, tetapi sebenarnya bisa mengancam kesejahteraan nelayan kita sendiri.

Arif Satria Dosen Fakultas Ekologi Manusia serta Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB

 

Politik Konversi dan Kesejahteraan Nelayan

Senin, 13 April 2009 | 03:53 WIB

Oleh Arif Satria

Ada tiga momentum penting konservasi laut pada awal 2009 ini. Pertama, penyerahan kewenangan sejumlah kawasan konservasi laut dari Departemen Kehutanan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Kedua, target 10 juta hektar kawasan konservasi laut 2010. Ketiga, Coral Triangle Initiative Summit.

Target 10 juta hektar kawasan konservasi laut tahun 2010 sepertinya hampir tercapai seiring rencana Laut Sawu dijadikan kawasan konservasi laut.

Sementara itu, Coral Triangle Initiative (CTI) Summit yang akan digelar pada 13-15 Mei di Manado seperti sebuah momen pemukulan gong dimulainya babak baru politik konservasi di Indonesia.

Kini pertanyaan lanjutan adalah bagaimana prospek kesejahteraan nelayan dalam politik konservasi yang baru ini?

Pertanyaan ini penting mengingat konservasi di dunia mana pun banyak yang bermasalah dengan perikanan sehingga wajar bila World Fisheries Congress Keempat tahun 2004 mengangkat tema ini.

Kesejahteraan nelayan

Kawasan konservasi laut umumnya berada di kawasan tengah dan timur Indonesia yang memang masuk kawasan CTI.

Berdasarkan data nilai tukar nelayan (NTN) bulan Maret-Oktober 2008, kesejahteraan nelayan di kawasan CTI tersebut dapat dipetakan menjadi dua wilayah. Pertama, wilayah yang memiliki NTN lebih dari 100. Wilayah yang masuk kategori ini adalah Nusa Tenggara Timur (102,85), Kalimantan Timur (100,17), Sulawesi Utara (102,77), Sulawesi Tengah (105,21), Sulawesi Selatan (100,58), Gorontalo (109,27), Sulawesi Barat (101,93), Maluku (114,93), dan Papua Barat (109,97).

Adapun yang kedua adalah wilayah yang memiliki NTN di bawah 100. Yang termasuk kategori ini adalah Bali (93,26), Nusa Tenggara Barat (90,48), Kalimantan Selatan (92,81), Sulawesi Tenggara (99,66), Maluku Utara (88,17), dan Papua (94,89).

NTN di atas 100 artinya indeks harga yang diterima nelayan lebih tinggi daripada indeks harga yang dibayar nelayan. Memang kemudian sering disimpulkan bahwa NTN di atas 100 tergolong sejahtera meski banyak pula yang berkeberatan mengatakan NTN sebagai indikator kesejahteraan nelayan.

Alasannya, pendapatan nelayan yang bersumber dari kegiatan nonperikanan tidak dihitung. Begitu pula NTN tersebut masih merupakan gabungan antara nelayan dan pembudidaya ikan.

Jadi, kalau sebuah wilayah memiliki NTN sebesar 100 belum tentu menggambarkan nelayannya sejahtera. Sebab, bisa jadi nilai tersebut banyak disumbang oleh pembudidaya ikan, begitu pula sebaliknya.

Namun, NTN adalah data tersedia yang terbaik (the best available data) tentang kesejahteraan nelayan yang dibuat Badan Pusat Statistik.

Data NTN tersebut menggambarkan bahwa tidak semua nelayan dan pembudidaya ikan di wilayah CTI tergolong sejahtera. Bahkan, Bali dan NTB sebagai salah satu daerah wisata bahari potensial justru memiliki NTN sangat rendah.

Padahal, bukankah selama ini wisata bahari diagung-agungkan sebagai salah satu pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir?

Kondisi seperti itu penting untuk diwaspadai mengingat selama ini kawasan konservasi selalu dianggap sumber potensial untuk wisata bahari yang pada gilirannya nanti dapat menjadi sumber pertumbuhan baru. Seolah-olah kesejahteraan masyarakat pesisir akan otomatis meningkat begitu kawasan konservasi ditetapkan.

Padahal, kesejahteraan nelayan terkait dengan dua hal, yaitu akses pada pemanfaatan sumber daya serta akses dan kontrol pada pengelolaan sumber daya.

Semakin kecil akses pada kedua hal tersebut, sudah dapat diduga kesejahteraan nelayan akan makin terancam.

Hal itu memang sudah terbukti di beberapa kawasan konservasi dan taman nasional laut, di mana nelayan semakin terbatas aksesnya pada pemanfaatan sumber daya laut. Ini karena daerah tangkapannya menjadi zona inti yang dilindungi.

Hal ini pulalah yang membuat banyak nelayan dan pemerintah daerah alergi terhadap istilah konservasi meski kasus-kasus tersebut terjadi pada kawasan konservasi versi lama yang didesain secara sentralistik tanpa melibatkan pemerintah daerah, apalagi nelayan.

Sementara itu, kawasan konservasi versi baru yang lebih desentralistik melalui bentuk Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) belum dapat diimplementasikan karena terbentur pada desain institusionalisasinya. Artinya, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait dengan bentuk dan model kelembagaan KKLD. Ini termasuk mekanisme partisipasi masyarakat dan pembiayaannya.

Saat ini baru Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, yang relatif lebih maju dibandingkan daerah lain. Di Berau, masyarakat sudah diberi kesempatan membuat zonasi versi mereka sendiri berdasarkan pengetahuannya (local knowledge).

Ternyata apa yang dihasilkan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan versi ilmiah yang dibuat para ahli. Namun, dengan masyarakat terlibat dalam proses penentuan zonasi tersebut akan membuat kawasan konservasi menjadi lebih legitimate.

Legitimasi masyarakat ini adalah faktor terpenting dalam konservasi.

Tantangan CTI

Dengan kondisi KKLD yang umumnya belum berjalan ini, ditambah lagi dengan CTI yang melibatkan dunia internasional, tantangan konservasi laut di Indonesia akan semakin kompleks.

Kompleksitasnya terletak pada dua hal. Pertama, aspek kelembagaan. Bayangkan, di sana ada KKLD, Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion, juga Wilayah Pengelolaan Perikanan. Ketiga kawasan pengelolaan tersebut sampai sekarang belum jalan dan ditangani oleh unit yang berbeda-beda.

Memang, CTI bisa saja menjadi penyelaras kawasan-kawasan tersebut. Namun, bisa juga CTI hanya akan menjadi kesepakatan di atas kertas bila ketiga kawasan yang menjadi ujung tombak tersebut tidak berjalan secara sinergis.

Kedua, aspek kesejahteraan. Yang perlu dibuka ke publik adalah aturan-aturan apa saja yang akan disepakati dalam CTI Summit nanti yang berdampak bagi nelayan?

Daerah CTI juga merupakan spawning ground bagi tuna sirip kuning (yellow-fin tuna) dan bisa jadi akan ada aturan internasional yang melarang penangkapan tuna kecil oleh nelayan di wilayah kita sendiri.

Kalau hal itu terjadi, sudah dapat diduga bahwa kesejahteraan nelayan penangkap tuna di sekitar Sulawesi akan terganggu.

Lalu, apa kompensasi untuk para nelayan itu? Adilkah kita bila demi untuk memenuhi konsumsi tuna masyarakat di negara maju, nelayan kita dipaksa untuk tidak menangkapnya di wilayah laut negerinya sendiri?

Satu contoh tersebut bisa menjadi bahan bagi kita dalam mencoba memformulasikan desain konservasi laut yang lebih adil dan menyejahterakan rakyat.

CTI yang anggotanya negara-negara sedang berkembang mestinya lebih fokus pada kepentingan rakyat negara sedang berkembang dan tidak silau dengan agenda-agenda internasional yang sangat manis, tetapi sebenarnya bisa mengancam kesejahteraan nelayan kita sendiri.

Arif Satria Dosen Fakultas Ekologi Manusia serta Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB

 

Kamis, 02 April 2009

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN - PER.02/MEN/2009

bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat 2, Pasal 11 ayat 3, Pasal 12 ayat 3, Pasal 13 ayat 3, dan Pasal 14 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara penetapan kawasan konservasi perairan

bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN - PER.02/MEN/2009

bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 9 ayat 2, Pasal 11 ayat 3, Pasal 12 ayat 3, Pasal 13 ayat 3, dan Pasal 14 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara penetapan kawasan konservasi perairan

bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR