Jumat, 15 Januari 2010

PENGELOLAAN KOLABORATIF KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN UNTUK MEWUJUDKAN PERIKANAN BERKELANJUTAN BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Paradigma dan Perkembangan Konservasi Sumberdaya Ikan di Indonesia

Upaya konservasi perairan di Indonesia tumbuh selaras dengan pembangunan nasional di bidang konservasi sumberdaya ikan, tuntutan masyarakat pesisir serta perkembangan konservasi dunia yang  berwawasan global. Kesadaran konservasi di Indonesia bahkan telah muncul jauh sebelum masa penjajahan belanda, hal ini ditunjukan, misalnya pada abad ke-13 (zaman majapahit) telah muncul undang-undang yang mengatur pengelolaan air dan terbitnya ordonansi tentang pengaturan satwa liar pada zaman penjajahan Belanda. Perjalanan konservasi di Indonesia terus bergulir pada masa sebelum kemerdekaan, dan orde-orde pemerintahan pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hingga kini, jejak kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut masih berjalan di beberapa desa pesisir. Di Sulawesi Utara, misalnya, masyarakat Sangihe-Talaud memiliki tradisi eha laut sebagai masa jeda panen ikan selama tiga hingga enam bulan. Usai eha, dilakukan upacara mane’e, sebuah pola pemanenan ikan tradisional yang telah disepakati bersama oleh para tetua adat.  Maluku dan Irian juga memiliki aturan adat yang dinamakan sasi yang mengatur tata cara pemanenan ikan dengan sistem buka tutup (open and close system), serta banyak contoh kearifan tradisional lainnya di berbagai daerah. Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya Kawasan konservasi perairan dalam mendukung pelestarian sumberdaya kelautan dan pesisir, hal ini tercermin dalam deklarasi kawasan konservasi laut pertama tahun 1973 di Pulau Pombo, Maluku.

Perjalanan regulasi di bidang konservasi dan pengelolaannya juga tidak kalah dinamis. Sudah dimulai pada zaman kerajaan dengan “kitab-kitab-nya” hingga terbit beberapa Undang-undang, turunan undang-undang serta perubahannya. Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat maju dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, khususnya yang terkait  pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Begitu pula halnya dengan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat pesisir memiliki kewenangan pengelolaan dan tanggung jawab yang jelas untuk menjaga, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir di sekitarnya secara berkelanjutan.

Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP 60/2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya ikan yang ujung-ujungnya tentu saja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup  konservasi ekosistem, jenis dan genetik ikan.

Penetapan Kawasan konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Secara detil mengenai tata cara pencadangan kawasan konservasi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.

Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasiPertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998.  Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Text Box: Berdasarkan PP No. 60/2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan  IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup. Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.  Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan.

Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi laut daerah (KKLD), Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai kawasan konservasi laut (KKL). Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

 

Prospek Pelaksanaan Pengelolaan Kolaboratif di Indonesia – sebuah tinjauan

Prospek pengelolaan kolaboratif di Indonesia cenderung hanya terlihat dengan banyaknya peran pemerintah yang lebih menonjol di dalam berbagai usaha – usaha yang bersifat pengelolaan sumberdaya alam seperti tentang pengelolaan migas, hutan, lingkungan dan termasuk saat ini adalah sumberdaya hayati laut, karena walau bagaimanapun usaha pengelolaan sumberdaya alam tersebut merupakan pemasukan bagi pemerintah pusat.

Keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang menjalankan yang seluas-luasnya bagi Pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah (Pasal 2 ayat 3). Walau masih ada pembatasan urusan yang menjadi urusan pusat, telah jelas di dalam UU ini bahwa kewenangan daerah, khususnya Kabupaten/kota begitu luas, sehingga seolah – olah berhak mengatur diri sendiri. Lebih khusus mengenai wilayah laut, pasal 18 ayat 4 UU 32/2004 secara gamblang menyatakan bahwa  kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut yang meliputi Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sungguh luar biasa peran yang dapat diambil daerah kabupaten/kota untuk mengelola wilayahnya, tentunya pelibatan masyarakat dan prospek pengelolaan kolaboratif lebih terbuka dimana kebijakan lebih aspiratif dan dimulai dari bottom up, jadi disini menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif (co-management) serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistrubusikan di antara kedua belah pihak. (3) Tahapan proses manajemen ketika secara actual kerjasama pengelolaan betul – betul terwujud. (Sebagai contoh, pada tahapan perencanaan, implementasi, atau evaluasi).

      Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) digambarkan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hierarkhi bentuk management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu: infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination.

digram co-mngmnt

Sumber: Pomeroy & Berkes, 1997

Selanjutnya berdasarkan teori Sen Sen and Nielsen (1996) tentang hirarki manajemen yang terdiri diri dari lima bentuk yaitu; instruksi, konsultasi, koperasi, pengarahan dan informasi. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi ko-manajemen kooperatif mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama – sama oleh kedua belah pihak.

Prospek pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam PP 60/2007 pasal 18, yang menyatakan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumberdaya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007) Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerja sama antarpemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya ikan.

 

Komitmen Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan yang Berkelanjutan

Melalui forum internasional pada pertemuan para pihak Convention on Biological Diversity (COP CBD), bulan Maret 2006 di Brasil, pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berkomitmen untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan seluas 10 juta hektar pada tahun 2010. Komitmen ini ditindaklanjuti dan berlanjut hingga tercapainya 20 juta hektar pada tahun 2020. Tujuan akhirnya jelas, upaya konservasi perairan tidak cukup berhenti pada target luasan kawasan konservasi, namun secara konsisten berupaya mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif bagi kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kapasitas SDM, kelembagaan dan pendanaan yang berkelanjutan.

Komitmen membangun kawasan konservasi perairan oleh Pemerintah Indonesia, secara konsisten dibuktikan dengan peran aktif Indonesia dalam inisiasi, kolaborasi dan kerjasama konservasi di tingkat regional dan internasional. misalnya dalam kerjasama SSME (Sulu Sulawesi Marine Ecoregion), BSSE (Bismarck Solomon Seas Ecoregion) dan CTI (Coral Triangle Initiative). Kerjasama internasional dalam konservasi sangat diperlukan terutama untuk mencegah kepunahan atau terancamnya jenis dan ekosistem dari kepunahan yang disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatan yang tidak berkelanjutan. Beberapa konvensi internasional terkait dengan konservasi yang mengikat secara hukum diantaranya adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flauna and Flora), Ramsar dan CBD.  Pengembangan kerjasama dan langkah strategis skala regional maupun internasional tersebut terus ditindaklanjuti dengan peran aktif dan langkah nyata untuk mendukung pelaksanaan konservasi perairan di Indonesia serta berkontribusi positif terhadap penyelesaian masalah lingkungan dunia. Ditingkat lokal, pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi dan pengembangan jejaring pengelolaan antar kawasan konservasi merupakan keniscayaan yang perlu terus ditingkatkan.

Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang musti dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut + 5,4 juta hektar. Luasan 8,1 juta hektar tersebut terdiri dari sebuah taman nasional perairan laut sawu seluas 3,5 juta hektar dan 35 lokasi kawasan konservasi laut daerah (KKLD) yang luasnya mencapai 4,6 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat.

 

 

KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN LAUT DI INDONESIA

No

Kawasan Konservasi

Jumlah Kawasan

Luas (Ha)

A

Inisiasi Dephut

40

     5,418,931.55

 

- Taman Nasional Laut

7

     4,043,541.30

 

- Taman Wisata Alam Laut

18

         767,102.00

 

- Suaka Margasatwa Laut

7

         337,308.25

 

- Cagar Alam Laut

8

         270,980.00

 

 

 

 

B

Inisiasi Pemda dan DKP

36

     8,110,136.11

 

- Kawasan Konservasi Perairan Nasional

(Taman Nasional Perairan Laut Sawu)

1

3,521,130.01

 

- Kawasan Konservasi Laut Daerah

35

     4,589,006.10

 

 

 

 

 

Jumlah Total

76

   13,529,067.66

Catatan:

·     4 (empat) Taman Wisata Alam Laut (Kapoposang; Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan; Padaido; P. Pieh) ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) yang dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

·     2 (dua) Suaka Margasatwa laut (Raja Ampat; Waigeo-Kep. Panjang) ditetapkan sebagai Suaka Alam Perairan (SAP) yang dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

·     1 (satu) Cagar Alam Laut (Kep. Aru Tenggara) ditetapkan sebagai Suaka Alam Perairan (SAP) yang dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

·     1 (satu) Cagar Alam Laut (Taman Laut Banda) ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan (TWP) yang dikelola oleh Departemen Kelautan dan Perikanan

 

Keterangan

Selain itu ada beberapa upaya Konservasi Kawasan Perairan yang diinisiasi oleh DKP melalui :

a.

Program COFISH berupa Suaka Perikanan sebanyak 3 kawasan seluas 453.23 Ha

b.

Program CRMP dan COFISH berupa DPL dan DPM sebanyak 25 kawasan seluas 2.085,90 Ha

Program-program  konservasi yang dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan perikanan melalui Direktorat Konservasi dan taman Nasional Laut, antara lain dilaksanakan melalui: (1) Konservasi Ekosistem; (2)  Konservasi Jenis dan Genetik; (3) Pembinaan dan Penguatan SDM; (4) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman; serta (5) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional. Program-program tersebut, dilakukan untuk tujuan, yaitu: (1) Mengembangkan Konservasi Sumberdaya Ikan dan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil melalui upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan pada tingkat ekosistem, jenis dan genetik. (2) Mendorong penguatan fungsi otoritas pengelola Konservasi Sumberdaya Ikan.

Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen.

Kawasan konservasi yang telah ada sangat diharapkan mampu mendukung perikanan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, namun selain itu pengembangan dan perluasan kawasan konservasi sebagai upaya pencapaian luasan kawasan efektif tetap terus dikembangkan. Idealnya persentase ekosistem habitat sumberdaya ikan beserta perairan disekitarnya yang perlu dikonservasi mencapai 10-30 persen luas perairan Indonesia. Sampai 2014, diharapkan telah dicadangkan sebanyak 5 persen wilayah perairan, atau sekitar 15,5 juta hektar. Menilik luasan kawasan yang telah ada, maka target sampai 2014 (RPJM II) adalah sekitar 2 juta hektar kawasan konservasi perairan yang baru. Untuk itu, kegiatan fasilitasi pemantapan KKP dilakukan pada calon KKP laut dan calon KKP di perairan daratan. Kegiatan ini bertujuan untuk membahas calon kawasan konservasi yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi potensinya, mensosialisasikan calon kawasan konservasi kepada masyarakat serta menggalang masukan terhadap rencana pencadangan kawasan konservasi perairan. Keluaran yang diharapkan adalah draft SK Bupati/walikota tentang pencadangan kawasan konservasi perairan, yang selanjutnya dapat direkomendasikan untuk ditetapkan pencadangannya. Selain itu, kegiatan pemantapan calon kawasan konservasi juga dilakukan untuk penyiapan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Anambas, dimaksudkan untuk menindaklanjuti hasil studi yang telah dilakukan tahun 2006 serta mengidentifikasi perkembangan informasi calon KKPN tersebut yang kemudian ditindaklanjuti bekerjasama dengan LKPPN Pekan baru untuk mewujudkan pencadangan KKPN Anambas yang diharapkan terwujud pada tahun 2010.

Text Box: Kawasan konservasi perairan (KKP) laut secara individu maupun jaringan merupakan alat utama dalam melindungi keanekaragaman hayati perairan laut. Namun, kesepakatan tentang seberapa besar habitat yang harus dilindungi keanekaragaman hayati lautnya dalam menjamin konektivitas ekologi belum ada kata putus. Di Indonesia, diharapkan sedikitnya 10 persen dari luasan KKP dijadikan zona inti untuk perlindungan mutlak habitat sumberdaya ikan. Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan konservasi meningkat 40 persen. Manfaat KKP terkait dengan perikanan, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik, seperti spillover, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan. Manfaat KKP kepada perikanan tersebut sangat tergantung kepada strategi tingkah laku spesies ikan target, dan desain dari KKL sendiri, termasuk lokasi, ukuran, dan bentuknya. Manfaat lainnya untuk perikanan yaitu adanya peningkatan stabilitas perikanan. KKP juga bermanfaat untuk pariwisata bahari yang mampu mendorong terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitarnya maupun pendapatan daerah. Beberapa Bukti lapangan tentang dampak KAWASAN KONSERVASI laut bagi Perikanan, antara lain:  -	Misalnya: Dari 110 spesies yang tercatat di dalam wilayah terumbu karang yang dilindungi, 52 di antaranya tidak dijumpai di wilayah penangkapan (McClanahan 1994 in Roberts & Hawkins 2000).  -	Contoh pengelolaan kawasan konservasi di Bintan, melalui program coremap telah dikembangkan mata pencaharian alternative pengelolaan kepiting bakau di KKLD. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). Di Raja Ampat, dikelola dengan sistem Pungutan Konseravsi berupa PIN bagi pengunjung KKLD untuk kegiatan menyelam dll. Demikian pula di BERAU, praktek pengelolaan konservasi telah nyata menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Seluruh perairan Berau ditetapkan sebagai cadangan KKLD.  -	Beberapa cuplikan tentang dampak wilayah perlindungan laut di wilayah Indo-Pasifik berdasarkan negara. Indonesia. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan kecil di Sulawesi Utara (Blongko and Kakarotan) (McClanahan et al. 2006). Papua New Guinea. Biomassa dan rata-rata ukuran spesies ikan tertentu lebih besar yang berada di dalam daripada di sekitar wilayah perlindungan yang dikelola secara tradisional (Muluk and Ahus) (McClanahan et al. 2006). Pilipina. Biomassa predator ukuran besar meningkat 8 kali di wilayah perlindungan Apo. Di wilayah penangkapan, rata-rata kerapatan dan keragaman spesies dari predator besar juga meningkat (Russ & Alcala 1996, in Roberts & Hawkins 2000). Hawaii. Persediaan ikan tercatat 63% lebih banyak di dalam wilayah larangan penangkapan (Grigg, 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kenya. Persediaan spesies ikan komersial utama (groupers, snappers, and emperors) tercatat 10 kali lebih banyak di dalam wilayah yang sepenuhnya dilindungi di Kisite Marine National Park bila dibandingkan di wilayah perlindungan di mana penangkapan diizinkan (Watson & Ormond 1994, in Roberts & Hawkins 2000). Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan selanjutnya dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Jadi, pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Ditingkat pusat, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu  Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan di Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau bahkan dalam pengelolaan keuangannya dapat ditingkatkan dengan menggunakan pola pengelolaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional dan memenuhi syarat-syarat pengelolaan BLUD.

 

Harmonisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia

Sampai saat ini, kewenangan urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan dilaksanakan oleh lebih dari satu instansi, dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berbeda. Dengan sistem pengelolaan seperti itu, akan timbul tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan. Tumpang tindih wewenang ini lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sedangkan benturan kepentingan dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pengaturan. Sebabnya jelas: perumusan dan pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh lebih dari satu otoritas.

Kawasan konservasi perairan memerlukan pendekatan manajemen yang lebih spesifik, antara lain karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan wewenang maupun batas-batas wilayah administrasi pemerintahan. Di sisi lain, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan wewenang urusan-urusan pemerintahan di bidang konservasi kawasan perairan dan konservasi jenis ikan berkaitan sangat erat dengan tugas pokok dan fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat. Selain itu, menurut undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam proses penentuan arah kebijakan konservasi sumber daya perairan. Jalan tengah yang perlu dilakukan adalah perumusan pembagian urusan secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan kerangka kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap implementasinya.

Harmonisasi dan Penyelarasan urusan bidang konservasi pesisir dan jenis antara departemen kehutanan dan departemen kelautan dan perikanan, sebagian telah membuahkan hasil dengan ditandatanganinya Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA.01/Menhut-IV/2009 - BA.108/MEN.KP/III/2009 tanggal 4 Maret 2009. Terdapat 8 (delapan) KSA/KPA yang diserahterimakan dari Dephut kepada DKP. Selanjutnya, dalam rangka menindaklanjuti  berita acara serah terima tersebut dilakukan evaluasi terhadap 8 kawasan konservasi untuk ditetapkan sesuai nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan. Evaluasi ke-8 kawasan dilakukan sekaligus juga mensosialiasikan berita acara serta tindaklanjut penetapan kawasan. Hasil evaluasi 8 kawasan konservasi tersebut tertuang dalam laporan hasil evaluasi yang dijadikan pertimbangan disesuaikan dengan kriteria penetapan kawasan konservasi perairan, antara lain terhadap kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Nomenklatur terkait penetapan Kawasan Konservasi tersebut sesuai dengan PP 60/2007 antara lain: Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan dan Suaka Perikanan. Kegiatan Selanjutnya setelah evaluasi adalah melakukan pelengkapan data, pembahasan dengan departemen kehutanan dan pihak-pihak terkait serta dengan biro hukum terkait dengan draft surat keputusan menteri tentang penetapan 8 Kawasan Konservasi Perairan tersebut. 

Delapan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) resmi ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 3 September 2009. Delapan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan tersebut,  merupakan kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan.

Kawasan-kawasan konservasi perairan tersebut adalah:

1.       Suaka Alam Perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 114.000 (seratus empat belas ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku

2.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

3.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo dalam hal ini Kepulauan Panjang dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 (dua ratus tujuh puluh satu ribu enam ratus tiga puluh) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

4.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 50.000 (lima puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan

5.       Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan dan Sekitarnya seluas lebih kurang 2.954 (dua ribu sembilan ratus lima puluh empat) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

6.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Beserta Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua

7.       Taman Wisata Perairan Laut Banda seluas lebih kurang 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 69/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Provinsi Maluku

8.       Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 39.900 (tiga puluh Sembilan ribu Sembilan ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat

Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan 8 (delapan) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2) menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan tersebut. Dalam teknis pengelolaan di kawasan, saat ini Direktorat Jenderal KP3K telah mempunyai 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dipersiapkan untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) yang berkedudukan di Pekan Baru. Kegiatan sosialisasi telah dilakukan dibeberapa lokasi, sekaligus dilakukan untuk membentuk kelembagaan transisi berupa gugus tugas (joint task force) untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional yang telah ditetapkan.

 

Membangun Kolaborasi Jejaring Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia

Sebagai upaya tindaklanjut pengembangan kawasan konservasi perairan (laut) dilakukan penguatan manajemen maupun keterkaitan ekologis antar kawasan konservasi dalam bentuk jejaring kawasan konservasi. Jejaring adalah merupakan keterkaitan antara kawasan konservasi laut (KKL) yang mempresentasikan daya lenting spesies dan habitatnya untuk mencapai keseimbangan ekosistem melalui pengelolaan bersama. Jejaring (network) antar KKP mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Beberapa alasan dalam membuat jejaring antar KKP diantaranya adalah untuk:  (1) menggambarkan, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati; (2) memberikan model pemanfaatan KKP yang mendukung ekosistem setempat; (3) menjaga atau melindungi tempat biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman; (4) menjaga keberadaan potensi sumberdaya perikanan laut, serta (5) upaya memperluas dan meningkatkan ketahanan KKP.

Keterkaitan (connectivity) merupakan kata kunci pengembangan jejaring kawasan konservasi perairan. Adanya keterkaitan bioekologis merupakan pertimbangan dasar untuk mengelola beberapa KKP dalam satu sistem pengelolaan bersama untuk mewujudkan KKP yang tahan (resilient) terhadap ancaman dan dapat berfungsi efektif untuk mendukung perikanan berkelanjutan.

Jejaring KKP sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Pasal 19 dinyatakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan konservasi perairan, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun global. Jejaring KKP tersebut dibentuk berdasarkan keterkaitan biofisik antar KKP disertai dengan bukti ilmiah yang meliputi aspek oceanografi, limnologi, bioekologi perikanan, dan daya tahan lingkungan. Jejaring KKP pada tingkat lokal maupun nasional dilaksanakan melalui kerja sama antar unit organisasi pengelola, sedangkan di tingkat regional maupun global dilaksanakan melalui kerja sama antar negara. Yang dimaksud dengan jejaring KKP pada tingkat regional adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan ekoregion yang mencakup dua atau lebih negara bertetangga serta memiliki keterkaitan ekosistem. Sedangkan jejaring KKP pada tingkat global adalah kawasan konservasi perairan yang terdapat dalam suatu hamparan beberapa ekoregion yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan ekosistem secara global dan mencakup beberapa negara.

Sampai saat ini keberadaan kawasan konservasi perairan (laut) belum terintegrasi antara KKP satu dengan KKP lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKP tersebut terdapat suatu keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun pengelolaan. Penyusunan keterkaitan jejaring KKP berdasarkan 2 (dua) kriteria dasar yaitu;  (1) Kriteria Ekologis; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal ekologis (Ekoregion), keterkaitan (network) ini berupa secara fisik dan biologis. (2) Kriteria Pengelolaan; Kriteria ini menunjukkan bahwa antara KKP satu dengan lainnya terdapat keterkaitan dalam hal pengelolaan. Bentuk jejaring pengelolaan berupa sistem pengelolaan bersama terhadap KKP tersebut.

Dalam pengelolaan KKP secara bersama beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu: Keterlibatan stakeholders dalam pengelolaan bersama KKP sangat penting dalam mendukung terlaksananya pengelolaan yang baik. Masing-masing stakeholders mempunyai peran dan tugas dalam pengelolaan tersebut. Selain itu, dalam upaya pengelolaan KKP diperlukan suatu lembaga/badan/dinas pengelola yang akan menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan, penyelesaian permasalahan dan penyampaian informasi. Selain itu tugasnya adalah melibatkan berbagai stakeholders lain dalam pengelolaan KKP. Guna pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan, pendanaan kawasan konservasi merupakan hal yang tidak bisa dikesampingkan, oleh karena itu berbagai mekanisme pendanaan yang ada dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dilakukan.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengembangkan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan guna mewujudkan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut yang mampu Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Hayati Laut agar Fungsinya Lestari dan Manfaatnya Berkelanjutan. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Kawasan Konservasi perairan laut tersebut telah disusun sedemikian rupa sehingga bersifat memayungi berbagai kegiatan pengelolaan pada ekosistem-ekosistem penting oleh berbagai pemangku kepentingan, baik di tingkat nasional maupun lokal. Selain itu penyusunan Strategi Utama Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut tersebut juga mengakomodasi isu-isu penting yang memiliki dampak secara internasional. Semua ini dimaksudkan agar para pemangku kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, terutama di daerah, memiliki ruang gerak yang luas untuk melakukan pengelolaan sesuai kekhasan ekosistem-ekosistem di daerahnya dengan tetap mengacu pada kepentingan nasional maupun internasional. Strategi nasional dan rencana aksi terdiri dari Sepuluh kelompok strategi, antara lain: (1) Pembangunan dan Pengembangan Pangkalan Data Mutakhir; (2) Peningkatan Peran Stakeholders; (3) Pengembangan Kebijakan, Hukum, dan Peningkatan Pentaatannya; (4) Penguatan Kelembagaan; (5) Pendidikan dan Peningkatan Kepedulian Mengenai KKP; (6) Peningkatan Kerjasama dan Jaringan Internasional; (7) Pembiayaan Pengelolaan KKP; (8) Pemanfaatan Secara Arif dan Bijaksana; (9) Restorasi dan Rehabilitasi Eksosistem; dan (10) Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim. Sepuluh strategi ini telah dijabarkan dalam program aksi dan kegiatan, termasuk tolok ukur untuk menilai keberhasilan penerapannya.

Membangun jejaring pengelolaan kawasan konservasi perairan pada prakteknya bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Upaya kerjasama dan jejaring pengelolaan KKP terus menerus dilakukan untuk menumbuhkan pengelolaan efektif di kawasan kawasan konservasi baik yang dilakukan secara lokal, nasional, regional maupun internasional, misalnya: pengelolaan kawasan konservasi terumbu karang yang diinisiasi Coremap II (mengintegrasikan pengelolaan daerah perlindungan laut (DPL) tingkat desa dalam sebuah pengelolaan KKLD di kabupaten). Contoh lainnya adalah: pengelolaan di 6 lokasi KKP Raja Ampat, inisiasi pengelolaan di ekoregion sunda kecil, inisiasi pengelolaan seascape Kepala Burung, kerjasama pengelolaan di ekoregion laut Bismark Solomon (BSSE), kerjasama pengelolaan KKP di wilayah Sulu Sulawesi Marine Eco-region (SSME), dan juga inisiasi kerjasama lintas negara dalam pengelolaan di segitiga karang yang dilakukan oleh 6 negara, yaitu CTI-CFF, Coral Triangle Initiative for coral reef, fisheries and food security. Melalui berbagai upaya kerjasama dan jejaring pengelolaan yang dijalin tersebut, semoga upaya mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi perairan yang efektif untuk kesejahteraan masyarakat pada akhirnya dapat terwujud.

 

Praktek-praktek Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia

Teramat banyak praktek-praktek kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi yang ada dan cukup berhasil. Pola ko-manajemen ini sepertinya merupakan salah satu yang paling berhasil dalam praktek mengelola sumberdaya alam, ini menunjukkan bahwa kemitraan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi di berbagai daerah mempunyai andil besar dalam keberlanjutan pengelolaan KKP.

Sebagai Contoh, kolaborasi pengelolaan KKP di Raja Ampat  menerapkan sistem Pungutan Konservasi berupa PIN bagi pengunjung KKLD untuk kegiatan menyelam dan lain sebagainya.  Sebuah kegiatan membangun tujuan wisata yang ramah lingkungan, berkelanjutan dan memberikan sumbangsih nyata terhadap konservasi dan masyarakat lokal. Sebanyak 6 (enam) lokasi di Raja Ampat dicadangkan dengan Ketetapan SK Bupati, setelah masyarakat adat Raja Ampat memberikan mandatnya kepada pemerintah daerah untuk mengelola kawasan-kawasan tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Demikian pula di Berau, praktek pengelolaan konservasi telah nyata menyumbangkan PAD bagi daerahnya. Seluruh perairan Berau ditetapkan sebagai cadangan KKLD. Uraian singkat berikut ini adalah contoh inisiasi kecil kolaborasi dari belasan kisah sukses pengelolaan sumberdaya yang ada di Indonesia.

 

·         Kolaborasi Pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu

Perairan Laut Sawu melewati proses panjang dalam upaya pencadangannya sebagai Taman Nasional Perairan (TNP). Berbagai pihak secara bersama terlibat dalam proses pencadangan taman nasional yang multimanfaat bagi masyarakat selain juga diharapkan sebagai area perlindungan biota peruaya khas kawasan tersebut, yaitu jenis cetacean.

Proses identifikasi dan inventarisasi TNP laut sawu sejatinya telah dimulai sejak tahun 2005 oleh Satker Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Hasil kajian awal ini kemudian ditindklanjuti oleh pemerintah daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan membentuk Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sawu (Tim PPKKL Laut Sawu). Selanjutnya pemerintah pusat, daerah maupun LSM bersama-sama berupaya untuk meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi tersebut melalui sosialisasi, pameran, workshop, pelatihan dan pendidikan konservasi.

Kronologi pencadangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu, singkatnya sebagai berikut:

Tahun 2005     : Kajian awal KKL Laut Sawu

Tahun 2006     : Pembentukan Tim PPKKL Laut Sawu, sosialisasi di masyarakat, workshop, studi banding, pameran, pendidikan konservasi, pelatihan

Tahun 2007     : Sosialisasi di masyarakat, workshop, komitmen bersama, pelatihan, survei

Tahun 2008     : Workshop, sosialisasi di masyarakat, pendidikan konservasi, pelatihan

Tahun 2009     : Workshop, muatan Lokal, pendidikan konservasi, kajian Tim PPKKL, sosialisasi di masyarakat, pelatihan, usulan Gubernur NTT, penyiapan SK menteri, pembahsan draft SK, deklarasi Pencadangan pada side event WOC dan CTI Summit, 13 Mei 2009.

Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu seluas 3,5 juta hektar dideklarasikan  berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 38 tahun 2009  tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur.  Taman Nasional Perairan Laut Sawu mencakup (1) wilayah perairan Selat Sumba dan Sekitarnya dan (2) Wilayah Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya. Pencadangan kawasan seluas 3,5  juta hektar tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan ilmiah diantaranya, kawasan ini merupakan tempat migrasi 14 (empat belas) spesies dari 27 spesies Cetacean di dunia, termasuk  paus jenis rare blue  whale dan sperm whales,  habitat hidup 4 spesies penyu, 336 spesies ikan,  dan 500 spesies karang.


Peta Pencadangan TNP Laut Sawu

Pencadangan TNP laut sawu tersebut ditindaklanjuti dengan sosialisasi pencadangan kawasan, mengkaji ulang luasan dan batas kawasan,  penyusunan rencana pengelolaan dan menyiapkan organisasi pengelola/kelembagaan pengelola kawasan TNP laut sawu. Penyusunan Rencana pengelolaan dan pengelolaan TNP laut sawu berkolaborasi dengan beberapa LSM internasional, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Masyarakat. Dalam persiapan dan pengelolaan awal telah dibentuk Tim PPPKKL (disempurnakan menjadi Tim P4KKL) serta ada dukungan pendanaan dari Pemerintah Jerman. Rencana Pengelolaan TNP Laut Sawu terus dibahas dengan stakeholder terkait untuk finalisasi. Semoga Pencadangan TNP laut sawu yang telah dilakukan secara kolaboratif dapat berlanjut dengan pola pengelolaan yang juga kolaboratif untuk mensejahterakan masyarakat.

 

·         Pengelolaan Kolaboratif   Kawasan Konseravsi berbasis Terumbu Karang – Mata Pencaharian Alternatif di KKP telah menunjukkan hasil

Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Trumbu Karang (COREMAP) tahap II, merupakan salah satu program nasional yang bertujuan meningkatkan kapasitas masyarakat dan institusi lokal dalam mengelola terumbu karang secara berkelanjutan untuk kesejahteraan, melalui berbagai komponen kegiatan seperti penguatan kelembagaan, pengelolaan berbasis masyarakat, pengawasan dan pemantauan serta upaya penyadaran masyarakat yang dilaksanakan.

Pola rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan COREMAP sifatnya tidak langsung menyentuh karangnya. Selain pengembangan kebijakan, upaya yang dilakukan adalah dengan mengembangkan kelompok-kelompok masyarakat pengelola terumbu karang, kemudian membantu masyarakat membuat kawasan konservasi perairan serta menciptakan mata pencaharian alternatif sehingga tekanan beban terumbu karang dari gangguan maupun pemanfaatan oleh masyarakat menurun, terumbu karang menjadi tumbuh sehat, menghasilkan ikan berlimpah dan ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan mata pencaharian alternatif (MPA) pada COREMAP II merupakan suatu kegiatan usaha baru atau usaha lama yang dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Umumnya usaha yang dilakukan adalah kegiatan sampingan dan mampu meningkatkan pendapatan seperti usaha budidaya, usaha pengolahan atau usaha ekonomi lainnya yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan MPA perikanan di KKP dilakukan di zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan. Mata pencaharian alternatif diharapkan menjangkau 10.000 kepala keluarga masyarakat pesisir, mampu secara nyata meningkat pendapatannya sekurangnya 2 persen pertahun.  

Penentuan jenis MPA tidak hanya dilihat dari keinginan masyarakat saja, tetapi harus mempertimbangkan faktor-faktor lainnya. Bahkan untuk memastikan bahwa jenis-jenis usaha yang akan diusulkan sebagai MPA, maka sebelumnya dilakukan kajian secara komprehensif tentang jenis-jenis usaha yang telah ada dan peluang pengembangan usaha lainnya. Faktor-faktor usaha ekonomi yang dikaji kelayakannya adalah; (a) kesesuaian lokasi (kebutuhan benih, lingkungan perairan, kebiasaan masyarakat setempat), (b) penguasaan teknologi, (c) melibatkan banyak orang, (d) ketersediaan sarana dan prasarana, (e) tenaga terampil, dan (f) keterjangkauan terhadap pasar. Pemilihan jenis MPA tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas, dapat menyebabkan peluang keberhasilannya sangat kecil apalagi jika dikaitkan dengan terget proyek. Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan MPA, maka Pokmas diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang manajemen dan teknis usaha, sistem keuangan, dan pembukuan (bookeeping). Topik pelatihan yang diberikan harus disesuaikan dengan jenis-jenis MPA yang akan dilaksanakan, serta kebutuhan praktis untuk pengembangan MPA. Siklus MPA tidak berujung di Desa/Kelurahan dimana MPA dilaksanakan, akan tetapi masih ada mata rantai yang harus dilewati utamanya untuk penjualan produk atau hasil dari MPA. Praktek mengelola alternatif pencaharian secara kolaboratif antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat tersebut, kini mulai dirasakan hasilnya.

BATAM. Kegiatan usaha MPA yang telah dilaksanakan di desa-desa wilayah konservasi terumbu karang  kota ini diantaranya keramba jaring tancap/KJT (ikan), keramba jaring apung/KJA (ikan), produksi kerupuk ikan, pengolahan ikan teri, kerajinan tangan dan lainnya (kios, kedai dan lain-lain). Kelompok Masyarakat (POKMAS) yang melakukan kegiatan budidaya ikan (KJA & KJT) mencapai 57 POKMAS. Walau hasil yang diperoleh cukup lumayan, tetap saja bukan tidak ada kendala dalam kegiatan alternatif budidaya di kawasan konservasi ini, kendala bibit kerapu macan yang belum kontinyu (kebutuhan tahun 2009 sedikitnya 30 ribu ekor ukuran 3 inchi) juga harga ikan ukuran komsumsi yang fluktuatif adalah kendala yang paling dirasakan masyarakat. Sementara Kegiatan alternatif terus tumbuh, kondisi terumbu karang yang membaik telah menjadi asset pariwisata bahari baru di Kota Batam yang siap mengisi Pendapatan Daerah.

BINTAN. Seperti deskripsi perkembangan MPA tampilan Tabel. A hakekatnya tidak jauh berbeda dengan aktivitas di Batam, maupun beberapa lokasi ko-manajemen COREMAP II lainnya  (Lingga, Natuna, Tapanuli Tengah, Nias, Nias Selatan, Kepulauan Mentawai, Pangkep, Selayar, Buton, Wakatobi, Sikka, Biak dan Raja Ampat). Salah satu perkembangan MPA di Bintan, khususnya di Kecamatan Gunung Kijang yang mengandalkan kegiatan budidaya ikan karang (kerapu sunu dan kerapu hitam) di KJT di Desa Gunung Kijang, kelurahan Kawal, Desa Teluk Bakau, dan Desa Malang Rapat sudah berjalan. Hasil Panen KJT kelurahan kawal bulan Nopember 2009 mencapai 142 kg dengan hasil pendapatan sejumlah Rp. 21.394.000,-. Selanjutnya, kegiatan Pokmas gender yang memproduksi kerupuk ikan (parang, tenggiri, tamban, jampung, alu-alu, dll) dengan periode produksi 4-6 kali perbulan berkisar 10-15 Kg per produksi. Hasilnya masing-masing anggota pokmas rata-rata mendapatkan tambahan penghasilan ± Rp. 100.000,-. Mata Pencaharian Alternatif (MPA) Pengelolaan kepiting bakau di KKP bintan juga dilaporkan cukup berhasil. Hasilnya cukup lumayan, bahkan dapat dijadikan wisata saat pemanenannya (wisata kuliner/seafood kepiting). Ini adalah salah satu contoh kecil manfaat kawasan konservasi perairan yang mampu mendorong alternatif mata pencaharian untuk peningkatan pendapatan.

 

Tabel. A. Perkembangan Kegiatan MPA – KKP Kabupaten Bintan Tahun 2009

JENIS MPA

JML / POKMAS

                                                                        DESKRIPSI

Desa Kampung Hilir Kecamatan Tambelan

Budidaya Keramba Tancap

10/ Menggirang

KJT terdiri dari 6 lobang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 3 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu macan dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 120.000 / kg.

Desa Kampung Melayu  Kecamatan Tambelan

Budidaya Keramba Tancap

10/ Meruan

KJT terdiri dari 6 lobang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 3 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu macan dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 120.000 / kg.

Desa Batu Lepuk  Kecamatan Tambelan

Budidaya Keramba Tancap

6 / Pokmaswas

KJT terdiri dari 6 lobang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 3 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu macan dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 120.000,-

Kelurahan Teluk Senuai  Kecamatan Tambelan

Rumput Laut

10/ Singa Laut

Penanaman Rumput Laut dengan sistem tancap dan dikembangkan sekitar 2 Ha

Budidaya Keramba Tancap

6/ Pokmaswas

KJT terdiri dari 6 lobang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 3 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu macan dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 1120.000,-

Budidaya Keramba Tancap

6 / Pokmaswas

KJT terdiri dari 6 lobang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 3 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu macan dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 120.000,-

Kecamatan Bintan Pesisir

Demplot Pengembangan Rumput Laut

5 / Barat

Penanaman 4.000 kg benih rumput laut pada lahan seluas 50 m2, dengan sistem tancap dan dipagar dengan waring, agar predator tidak memakan rumput laut. Lama pemeliharaan sekitar 45 hari

KJT Kerapu Sunu dan Kerapu Hitam

5/ Bina Karya

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dan kerapu hitam dengan jumlah 1200 ekor dengan harga jual Rp 205.000,- / kg.

Kelurahan Kawal Kecamatan Gunung Kijang

KJT Kerapu Sunu dan Kerapu Hitam

10 / Kerapu

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dengan harga jual Rp 205.000,- / kg dan kerapu hitam dengan harga jual Rp. 90.000,-

KJT Kerapu Sunu dan Kerapu Hitam

10 / Sunu

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dengan harga jual Rp 205.000,- / kg dan kerapu hitam dengan harga jual Rp. 90.000,-

Desa Teluk Bakau Kecamatan Gunung Kijang

KJT Kerapu Sunu dan Kerapu Hitam

10 / Lebam

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dengan harga jual Rp 205.000,- / kg dan kerapu hitam dengan harga jual Rp. 90.000,-

Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang

KJT Kerapu Sunu dan Kerapu Hitam

10 / Ketam

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dengan harga jual Rp 205.000,- / kg dan kerapu hitam dengan harga jual Rp. 90.000,- .

Pengembangan Wisata Bahari

10 / Tenggiri

KJT terdiri dari 4 lubang, dengan ukuran setiap lobang 4 x 4 m. Lebar pelantarnya 50 cm. Ukuran rumah jaga 3 x 3 m. Ikan yang akan dipelihara adalah ikan kerapu sunu dengan harga jual Rp 205.000,- / kg dan kerapu hitam dengan harga jual Rp. 90.000,-

Sumber: COREMAP II-DKP, 2009

 

·         Inisiasi Pengelolaan Turtle Center di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (Pangumbahan Turtle Park)

Pengelolaan penyu di Pantai Pangumbahan dengan berbagai dinamikanya telah dilalui selama hampir 35 tahun, sampai pada akhirnya pada medio 2008 Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi bertekad mengelola sepenuhnya penyu hijau tersebut tanpa ada pemanfaatan dari penyu maupun bagian-bagiannya. Tekad ini diwujudkan dengan telah dicadangkannya kawasan pangumbahan sebagai Taman pesisir sesuai dengan SK Bupati no: 523/Kep.639-Dislutkan/2008. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pelestarian Penyu di Kabupaten Sukabumi sebagai pengganti peraturan daerah sebelumnya. Intinya perda tersebut menegaskan tidak ada pemanfaatan langsung dari penyu dan bagian-bagiannya serta perlindungan habitatnya, adanya peluang untuk pengembangan ekowisata terbatas serta untuk kepentingan penelitian dan pengembangan penyu hijau itu sendiri.

Inisiatif pengelolaan Kolaboratif juga ditunjukkan di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan (Pangumbahan Turtle Park). Di Paruh akhir Desember 2009, Menteri Kelautan dan Perikanan yang diwakili oleh Sekjen DKP meresmikan Turtle Center di kawasan tersebut. Walau masih merupakan langkah awal, yang merupakan inisiasi konservasi bersama dalam mewujudkan pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata berbasis penyu yang melibatkan peranserta masyarakat.

Pengelolaan Taman Pesisir Pangumbahan dan didukung dengan kawasan lain disekitarnya sebagai area penyangga.     Taman Pesisir yang dimaksud dijadikan area inti yang dikelola oleh Pemda, sedangkan untuk area penyangga, dibagi dalam 2 (dua) zona. Zona pertama dari Ujung Genteng hingga Cibuaya dan zona kedua, Cibuaya hingga batas areal Pangumbahan. Untuk pengelolaan kedua zona akan dilakukan secara kolaborasi. Secara pasti sistem kolaborasi pengelolaannya masih dalam perundingan, namun untuk zona 1 (satu) akan dikoordinasikan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara sedangkan zona 2 (dua) merupakan hak guna usaha (HGU) yang peruntukannya sebagai kawasan sabuk hijau (green belt) yang  akan kembali dihutankan. Pengelolaan kolaborasi di 2 (dua) zona tersebut tentunya akan melibatkan seluruh lapisan baik pemerintah, pemilik lahan, masyarakat maupun pihak swasta. Bupati Sukabumi berharap agar kedua zona tersebut dapat dijadikan sebagai peluang usaha bagi masyarakat. (sebagaimana dikutip Jurnal Bogor, 22/10/09).

Pengelolaan turtle center di kawasan pesisir pantai penyu pangumbahan yang dilakukan secara kolaboratif bersama masyarakat desa ujung genteng –pangumbahan dan sekitarnya diharapkan dapat menjadi simbol atau icon Kabupaten Sukabumi menjadi lebih dikenal dunia Internasional. Pemanfaatan turtle center untuk berbagai kegiatan seperti Pusat Penelitian, pelatihan, pendidikan lingkungan, bisnis, pariwisata, pemberdayaan  ekonomi  masyarakat, maupun pemanfaatan jasa lingkungan dapat dioptimalkan dengan tidak melupakan fungsi konservasi penyu yang sesungguhnya.

Di tingkat nasional, selain membantu memfasilitasi kawasan konservasi tersebut pemerintah melalui kolaborasi 2 (dua) departemen, yaitu Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan telah merampungkan Nasional Action Plan untuk Penyu. Berbagai komitmen bersama dalam pengelolaan sumberdaya laut secara berkelanjutan yang telah dilaksanakan di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan tersebut selanjutnya dapat ditindaklanjuti oleh berbagai sektor terkait sehingga hasilnya diharapkan dapat lebih nyata, khususnya bagi masyarakat pesisir Sukabumi.

 

 

Harapan Perwujudan Kesejahteraan Masyarakat atas Kawasan Konservasi Perairan

Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan, antara lain: (1) Pilot Project Pengelolaan KKP Laut Daerah (KKLD), program ini merupakan program percepatan pengelolaan KKLD untuk perikanan berkelanjutan dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu; (2) Coral Center – Center of Excelent, merupakan Strategi Pasca Coremap dan juga representasi dukungan untuk CTI. Coral center merupakan kawasan terpadu untuk Pusat Penelitian, Training, Bisnis, entertainment, jasa lingkungan, dan lain-lain; (3) Turtles Center – Pangumbahan Turtles Park, merupakan program percontohan mendukung pemanfaatan kawasan konservasi untuk pariwisata berbasis konservasi; (4) Penilaian efektivitas pengelolaan KKP (KKP Awards), pemberian penghargaan sebagai apresiasi untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan laut daerah yang efektif.

 Mengelola secara kolaboratif kawasan konservasi perairan yang efektif pada prakteknya bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya dilakukan sesuai dengan kewenangannya, pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternatif masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga co-management, kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga Perwujudan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Perairan yang Efektif untuk Mendukung Perikanan Berkelanjutan bagi Kesejahteraan Masyarakat bukan hanya ucapan semata namun segera dapat tercapai. (SJI)