Senin, 19 Maret 2012

Pesut, Tak Putus Dirundung Langka

Pesut, Tak Putus Dirundung Langka
sumber: Majalah GATRA,  No. 19 Tahun XVIII (15-21 Maret 2012) - Lingkungan


Tim ahli WWF Indonesia dan BPSPL Pontianak mengadakan survei populasi pesut. Sangat jarang dilakukan. Pesut dapat menjadi indikator subur-tidaknya suatu wilayah perairan. Jumlahnya makin sedikit gara-gara pencemaran lingkungan.

Pak Irut, demikian biasa ia dipanggil, telah lama menggantung jaring ikannya, pensiun sebagai nelayan. Namun Pak Irut masih aktif sebagai Ketua Himpunan Nelayan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sebagai pimpinan, ia tentu merasa harus turut andil menyejahterakan anggota himpunan nelayan itu.

Salah satu caranya, mendukung upaya kelestarian satwa dan biota laut di perairan Kalimantan Barat, terutama hewan langka pesut atau lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris). "Kami bangga dengan kehadiran lumba-lumba itu di perairan kami," katanya kepada tim dari World Wild Fund (WWF) Indonesia.

Bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, WWF Indonesia melakukan survei awal populasi dan sebaran hewan yang disebut juga Irrawaddy dolphin itu pada 20-26 Oktober lalu, di sistem perairan kawasan hutan bakau dan nipah di Kabupaten Batu Ampar, Kubu Raya, dan sekitarnya, selat-selat sempit dan sepanjang dekat pantai Pulau Padang Tikar, Kalimantan Barat.

Pak Irut menjadi salah satu dari puluhan responden penelitian tersebut. Warga Kabupaten Kubu Raya itu mengaku beberapa kali melihat pesut di kawasan Simpang Lidah, Pulau Empat, Simpang Empat, Teluk Simpang Tiga di dekat Teluk Batang, Pulau Maya. Selain observasi langsung, tim riset WWF-BPSPL juga mewawancarai puluhan nelayan dan penduduk setempat di kawasan penelitian.

Menurut Ketua Tim Ekspedisi Pesut, Albertus Tjiu, tim peneliti menyusuri kawasan sungai dan perairan, yang jarak keseluruhannya mencapai 248 kilometer dan 26 jam pengamatan selama lima hari. "Selama survei, tim kami berhasil mendeteksi beberapa ekor pesut di perairan hutan bakau atau di selat sempit," kata Albert.

Jenisnya, antara lain, Indo-Pacific humpback dolphin atau lumba-lumba putih (Sousa chinensis). Ada juga yang menyebutnya sebagai lumba-lumba punggung bungkuk. "Nama daerah setempat untuk spesies ini adalah 'lumba-lumba'. Mereka tidak begitu kenal dengan nama 'pesut'," ujar Albert, yang juga ahli konservasi dari WWF Indonesia. Mereka dijumpai di perairan selat sempit antara Pulau Padang Tikar dan Pulau Maya.

Menurut Albert, survei lumba-lumba ini baru tahap awal. Pada tahap ini, tim riset menggunakan metode pengamatan langsung dan mewawancarai penduduk tadi. "Hasil wawancara merupakan data sekunder yang baik untuk ditindaklanjuti," kata Albert.

Ada rumus khusus yang dipakai tim survei untuk memperkirakan populasi pesut. Yakni, menghitung kepadatan dengan membagi jumlah total pesut yang teramati per transek (jalur perjalanan) sepanjang kiri dan kanan sungai. "Perkiraan jumlah populasi pesut dikalkulasi pada tiap transek dalam tiap periode survei," tutur Albert.

Lantas, bagaimana hasilnya? Sayang sekali, tim survei belum bisa memperkirakan jumlah pasti populasi pesut, khususnya di kawasan Kubu Raya dan Kayong Utara. "Ini terjadi karena jumlah pesut yang dijumpai sangat sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk dikalkulasi secara sistematis," demikian yang dilaporkan para peneliti.

Namun ini baru tahap penelitian awal. "Pada bulan ini, kami melanjutkan survei tahap kedua untuk mengumpulkan data lebih lengkap," ujar Albert. Populasi pesut secara nasional juga belum teridentifikasi. Sejauh ini, para ahli baru bisa memperkirakan populasi pesut di kawasan Sungai Mahakam. "Jumlahnya lebih-kurang 70 ekor. Itu hasil perhitungan WWF pada 2009," kata Albert.

Tapi, tak pelak, status pesut sebagai binatang langka tidak dapat diubah (lihat: Sang Penentu Nasib Ekosistem). Populasi pesut menyusut dengan cepat gara-gara kondisi habitatnya yang makin parah. Dari makin padatnya lalu lintas di perairan, banyaknya polusi, hingga makin meningkatnya kegiatan industri di seputar sungai dan perairan. "Hal-hal itu diduga dapat menjadi ancaman utama menyusutnya populasi pesut," tutur Albert.

Pahadal, kehadiran hewan ini di perairan termasuk penting. "Pesut bisa menjadi indikator kesehatan lingkungan. Artinya, keberadaannya penting bagi manusia untuk mengukur seberapa sehat lingkungannya," Albert melanjutkan.

Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian, BPSPL Pontianak, Kris Handoko, berpendapat sama. "Kehadiran pesut di Kubu Raya menjadi indikator bahwa perairan itu masih memiliki tingkat kesuburan dan produktivitas perikanan yang potensial," katanya.

Namun, lanjut Kris, jika pesut ini tidak diperhatikan, akan berdampak merajalelanya pertumbuhan suatu spesies tertentu akibat adanya rantai makanan yang hilang. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan alam.

Upaya survei ini mendapat tanggapan positif dari kalangan ilmuwan. "Penelitian mengenai mamalia air, khususnya pesut, sangat jarang dilakukan di Indonesia," kata Prof. Dr. Ir. Ngurah N. Wiadnyana, ahli kelautan dan peneliti senior dari Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurut Ngurah, survei terakhir yang lumayan komprehensif tentang pesut pernah dilakukan Pusat Riset Perikanan Tangkap dan WWF Indonesia pada 2003-2004. Populasi pesut di Sungai Mahakam mencapai 60-70 ekor, sedangkan di Sungai Sesayap, Kalimantan Timur, mencapai 76-91 ekor.

"Penelitian mamalia air memang jarang dilakukan karena masalah prioritas penelitian yang lain. Jadi, penelitian mengenai pesut sangat baik dan perlu dukungan dari berbagai pihak. Keberadaan pesut di Indonesia belum terungkap secara mendalam, kecuali di Sungai Mahakam," kata Ngurah kepada Ageng Wuri R.A. dari Gatra.

Bagi Tony Ruchimat, Direktur Jenderal Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP, penelitian itu merupakan upaya yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Tony maklum jika sejauh ini belum ada data tentang jumlah populasi pesut yang akurat.

"Pesut memiliki daerah jelajah yang cukup luas. Di Sungai Sesayap, Kalimantan Timur, saja jelajah pesut hingga mencapai 60 kilometer sepanjang sungai," kata Tony. Selain itu, pesut juga gemar berpindah-pindah mengikuti perubahan arus laut, pola sumber makanan, dan masa kawin.

Karena itulah, menurut Tony, keberadaan pesut sangat ideal menjadi indikator sehat atau tidaknya suatu ekosistem di perairan tersebut. "Sejak awal, sebenarnya nelayan mengandalkan lumba-lumba sebagai petunjuk alami kawasan banyak ikan," ujar Tony.

Tony menyatakan, perubahan ekosistem perairan akan sangat berpengaruh pada pesut. Misalnya saja terjadi perubahan pada tingkat sedimentasi dan salinitas air sungai. "Perubahan itu suatu saat dapat menghambat berkembangnya pakan utama pesut, yaitu udang dan ikan-ikan kecil. Perusakan mangrove juga dapat menurunkan produksi pakan pesut," kata Tony. Walhasil, IUCN, lembaga konservasi hewan internasional, menyatakan satwa ini masuk daftar merah critically endangered alias spesies yang sangat kritis.

Sebab itulah, Ngurah berharap, informasi tentang pesut ini dapat membuka mata orang Indonesia, termasuk kalangan internasional. "Saya juga berharap, kita mampu mengelola dana untuk mengembangkan sistem konservasi yang tepat guna melindungi keberadaan pesut," kata Ngurah lagi.

Nur Hidayat



Sang Penentu Nasib Ekosistem
Pesut atau lumba-lumba (Orcaella brevirostris) adalah spesies mamalia air (bernapas dengan paru-paru dan menyusui anaknya) yang banyak menghuni wilayah perairan tropis dan subtropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mulai India, Filipina, hingga bagian utara Australia. Ada dua jenis lumba-lumba --atau dalam bahasa Inggris disebut irrawaddy dolphin-- di dunia, yaitu Orcaella brevirostris dan Orcaella heinsohni (snubfin dolphin).

Diperkirakan populasi tertinggi lumba-lumba terdapat di perairan hutan bakau Sunderbarn, Bangladesh, dan India, dengan jumlah sekitar 6.000 ekor. Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong, Kamboja, yakni sekitar 70 ekor. Kemudian di Sungai Ayeyawardi, Myanmar, dan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Perairan di Indonesia umumnya dihuni Orcaella brevirostris.

Ketiga lokasi itu dikategorikan memiliki populasi paling kritis (critically endangered), sedangkan di lokasi lainnya dikategorikan sebagai rentan (vulnerable). Di perairan Pulau Kalimantan, spesies ini dapat ditemukan di perairan air tawar di Sungai Mahakam, muara, hingga pesisir pantai di Sabah, Sarawak, Kalimantan Timur, dan sejak 2011 ditemukan di perairan Kalimantan Barat.

Pesut hidup berkelompok dan bergerak dalam kawanan kecil. Biasanya, dalam satu kelompok dapat dijumpai tidak lebih dari 10 ekor pesut, dan individu yang hidup soliter sangat jarang terlihat. Walaupun mereka hidup di air tawar berlumpur yang menjadikan jarak pandang tidak begitu tajam, pesut memiliki kelebihan untuk mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan (memiliki echolocation).

Spesies ini adalah perenang yang lambat. Tetapi mereka dapat berenang dengan kecepatan 20-25 kilometer per jam bila merasa terancam. Mereka juga dapat menyelam hingga 18 menit bila terganggu. Pakan utama pesut adalah udang-udangan, cumi, dan ikan-ikan kecil.


Wujud Fisik
Tubuh pesut mirip beluga, walaupun lebih berkerabat dekat dengan orca atau paus pembunuh. Nama spesies "brevirostris" berasal dari bahasa Latin, yang berarti "berparuh pendek". Pesut di Kalimantan punya kemiripan morfologis dengan satwa lumba-lumba bungkuk (Sausa chinensis).

Namun lumba-lumba bungkuk punya ukuran badan lebih besar, moncong lebih panjang, dan sirip punggung lebih lebar. Umumnya, tubuh pesut berwarna kelabu-biru tua, bagian bawahnya berwarna pucat tanpa pola yang khas.

Berdahi tinggi dan membulat, tidak bermoncong, sirip punggung kecil dan membulat di tengah punggung, dan sirip tangan lebar membulat. Berat seekor pesut dewasa dapat mencapai 130 kilogram, dengan panjang 2-3 meter. Sedangkan anak pesut memiliki berat sekitar 10 kilogram, dengan panjang sekitar 1 meter.


Ekologi dan Habitat
Pada dasarnya, pesut bukanlah lumba-lumba sungai, melainkan lumba-lumba laut yang hidup di perairan payau di dekat pantai dan muara sungai. Habitat pesut di Kalimantan Timur dapat ditemukan hingga hulu anak-anak Sungai Mahakam, dengan jarak sekitar 560 kilometer dari delta dan perairan air asin Sungai Mahakam.

Menempati posisi teratas pada ekosistem perairan asin, payau, dan air tawar yang dangkal, di perairan pantai pesut hidup di kedalaman tidak lebih dari 20-30 meter, dan di sungai pada kedalaman hingga 50 meter. Sebagai spesies yang hidup di dua jenis perairan, tawar dan asin, lumba-lumba dapat menjadi spesies indikator yang mengindikasikan sehat atau tidaknya ekosistem perairan tersebut.

Hasil kajian terbaru yang dilakukan WWF Indonesia menemukan, pesut juga dijumpai di perairan kawasan bakau dan nipah Batu Ampar, selat-selat sempit, dan sepanjang dekat pantai Pulau Padang Tikar. Habitat itu berada di Kabupaten Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat.


Ancaman
Pesut jarang mengalami konflik dengan nelayan yang tinggal dan mencari nafkah di area habitat mereka. Tetapi perusakan habitat, seperti pembangunan bendungan (di Sungai Mekong, Kamboja, dan Ayeyarwadi, Myanmar), pertambangan, perusakan hutan untuk pendirian industri kayu arang, dan bahan baku pulp oleh perusahaan komersial beserta aktivitas lalu lintas yang tinggi di perairan tersebut, diduga merupakan ancaman utama bagi populasi pesut di habitat alam.

Selain itu, di beberapa negara Asia, pesut sengaja ditangkap dan dilatih untuk melakukan pertunjukan di akuarium. Penampilan mereka yang unik membuat spesies ini sangat populer untuk pertunjukan lumba-lumba. Apalagi, memelihara pesut relatif gampang karena spesies ini dapat hidup di kolam air tawar, sehingga para pengusaha bisnis ini dapat menghindari tingginya biaya perawatan sistem akuarium laut.

Pada tahun 2000, pesut dimasukkan dalam daftar merah IUCN sebagai salah satu spesies yang sangat terancam punah. Spesies ini juga dilindungi perundang-undangan di Indonesia. Belum ada referensi yang jelas mengenai jumlah populasi pesut di Indonesia. Menurut Danielle Kreb dari organisasi RASI, jumlah spesies ini di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, adalah 50-70 ekor dan dikategorikan sebagai species yang sangat kritis (critically endangered).

sumber link: http://arsip.gatra.com/majalah/artikel.php?pil=23&id=151332

Pesut, Tak Putus Dirundung Langka

Pesut, Tak Putus Dirundung Langka
sumber: Majalah GATRA,  No. 19 Tahun XVIII (15-21 Maret 2012) - Lingkungan


Tim ahli WWF Indonesia dan BPSPL Pontianak mengadakan survei populasi pesut. Sangat jarang dilakukan. Pesut dapat menjadi indikator subur-tidaknya suatu wilayah perairan. Jumlahnya makin sedikit gara-gara pencemaran lingkungan.

Pak Irut, demikian biasa ia dipanggil, telah lama menggantung jaring ikannya, pensiun sebagai nelayan. Namun Pak Irut masih aktif sebagai Ketua Himpunan Nelayan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sebagai pimpinan, ia tentu merasa harus turut andil menyejahterakan anggota himpunan nelayan itu.

Salah satu caranya, mendukung upaya kelestarian satwa dan biota laut di perairan Kalimantan Barat, terutama hewan langka pesut atau lumba-lumba air tawar (Orcaella brevirostris). "Kami bangga dengan kehadiran lumba-lumba itu di perairan kami," katanya kepada tim dari World Wild Fund (WWF) Indonesia.

Bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, WWF Indonesia melakukan survei awal populasi dan sebaran hewan yang disebut juga Irrawaddy dolphin itu pada 20-26 Oktober lalu, di sistem perairan kawasan hutan bakau dan nipah di Kabupaten Batu Ampar, Kubu Raya, dan sekitarnya, selat-selat sempit dan sepanjang dekat pantai Pulau Padang Tikar, Kalimantan Barat.

Pak Irut menjadi salah satu dari puluhan responden penelitian tersebut. Warga Kabupaten Kubu Raya itu mengaku beberapa kali melihat pesut di kawasan Simpang Lidah, Pulau Empat, Simpang Empat, Teluk Simpang Tiga di dekat Teluk Batang, Pulau Maya. Selain observasi langsung, tim riset WWF-BPSPL juga mewawancarai puluhan nelayan dan penduduk setempat di kawasan penelitian.

Menurut Ketua Tim Ekspedisi Pesut, Albertus Tjiu, tim peneliti menyusuri kawasan sungai dan perairan, yang jarak keseluruhannya mencapai 248 kilometer dan 26 jam pengamatan selama lima hari. "Selama survei, tim kami berhasil mendeteksi beberapa ekor pesut di perairan hutan bakau atau di selat sempit," kata Albert.

Jenisnya, antara lain, Indo-Pacific humpback dolphin atau lumba-lumba putih (Sousa chinensis). Ada juga yang menyebutnya sebagai lumba-lumba punggung bungkuk. "Nama daerah setempat untuk spesies ini adalah 'lumba-lumba'. Mereka tidak begitu kenal dengan nama 'pesut'," ujar Albert, yang juga ahli konservasi dari WWF Indonesia. Mereka dijumpai di perairan selat sempit antara Pulau Padang Tikar dan Pulau Maya.

Menurut Albert, survei lumba-lumba ini baru tahap awal. Pada tahap ini, tim riset menggunakan metode pengamatan langsung dan mewawancarai penduduk tadi. "Hasil wawancara merupakan data sekunder yang baik untuk ditindaklanjuti," kata Albert.

Ada rumus khusus yang dipakai tim survei untuk memperkirakan populasi pesut. Yakni, menghitung kepadatan dengan membagi jumlah total pesut yang teramati per transek (jalur perjalanan) sepanjang kiri dan kanan sungai. "Perkiraan jumlah populasi pesut dikalkulasi pada tiap transek dalam tiap periode survei," tutur Albert.

Lantas, bagaimana hasilnya? Sayang sekali, tim survei belum bisa memperkirakan jumlah pasti populasi pesut, khususnya di kawasan Kubu Raya dan Kayong Utara. "Ini terjadi karena jumlah pesut yang dijumpai sangat sedikit sehingga tidak memungkinkan untuk dikalkulasi secara sistematis," demikian yang dilaporkan para peneliti.

Namun ini baru tahap penelitian awal. "Pada bulan ini, kami melanjutkan survei tahap kedua untuk mengumpulkan data lebih lengkap," ujar Albert. Populasi pesut secara nasional juga belum teridentifikasi. Sejauh ini, para ahli baru bisa memperkirakan populasi pesut di kawasan Sungai Mahakam. "Jumlahnya lebih-kurang 70 ekor. Itu hasil perhitungan WWF pada 2009," kata Albert.

Tapi, tak pelak, status pesut sebagai binatang langka tidak dapat diubah (lihat: Sang Penentu Nasib Ekosistem). Populasi pesut menyusut dengan cepat gara-gara kondisi habitatnya yang makin parah. Dari makin padatnya lalu lintas di perairan, banyaknya polusi, hingga makin meningkatnya kegiatan industri di seputar sungai dan perairan. "Hal-hal itu diduga dapat menjadi ancaman utama menyusutnya populasi pesut," tutur Albert.

Pahadal, kehadiran hewan ini di perairan termasuk penting. "Pesut bisa menjadi indikator kesehatan lingkungan. Artinya, keberadaannya penting bagi manusia untuk mengukur seberapa sehat lingkungannya," Albert melanjutkan.

Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian, BPSPL Pontianak, Kris Handoko, berpendapat sama. "Kehadiran pesut di Kubu Raya menjadi indikator bahwa perairan itu masih memiliki tingkat kesuburan dan produktivitas perikanan yang potensial," katanya.

Namun, lanjut Kris, jika pesut ini tidak diperhatikan, akan berdampak merajalelanya pertumbuhan suatu spesies tertentu akibat adanya rantai makanan yang hilang. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan alam.

Upaya survei ini mendapat tanggapan positif dari kalangan ilmuwan. "Penelitian mengenai mamalia air, khususnya pesut, sangat jarang dilakukan di Indonesia," kata Prof. Dr. Ir. Ngurah N. Wiadnyana, ahli kelautan dan peneliti senior dari Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Menurut Ngurah, survei terakhir yang lumayan komprehensif tentang pesut pernah dilakukan Pusat Riset Perikanan Tangkap dan WWF Indonesia pada 2003-2004. Populasi pesut di Sungai Mahakam mencapai 60-70 ekor, sedangkan di Sungai Sesayap, Kalimantan Timur, mencapai 76-91 ekor.

"Penelitian mamalia air memang jarang dilakukan karena masalah prioritas penelitian yang lain. Jadi, penelitian mengenai pesut sangat baik dan perlu dukungan dari berbagai pihak. Keberadaan pesut di Indonesia belum terungkap secara mendalam, kecuali di Sungai Mahakam," kata Ngurah kepada Ageng Wuri R.A. dari Gatra.

Bagi Tony Ruchimat, Direktur Jenderal Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP, penelitian itu merupakan upaya yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Tony maklum jika sejauh ini belum ada data tentang jumlah populasi pesut yang akurat.

"Pesut memiliki daerah jelajah yang cukup luas. Di Sungai Sesayap, Kalimantan Timur, saja jelajah pesut hingga mencapai 60 kilometer sepanjang sungai," kata Tony. Selain itu, pesut juga gemar berpindah-pindah mengikuti perubahan arus laut, pola sumber makanan, dan masa kawin.

Karena itulah, menurut Tony, keberadaan pesut sangat ideal menjadi indikator sehat atau tidaknya suatu ekosistem di perairan tersebut. "Sejak awal, sebenarnya nelayan mengandalkan lumba-lumba sebagai petunjuk alami kawasan banyak ikan," ujar Tony.

Tony menyatakan, perubahan ekosistem perairan akan sangat berpengaruh pada pesut. Misalnya saja terjadi perubahan pada tingkat sedimentasi dan salinitas air sungai. "Perubahan itu suatu saat dapat menghambat berkembangnya pakan utama pesut, yaitu udang dan ikan-ikan kecil. Perusakan mangrove juga dapat menurunkan produksi pakan pesut," kata Tony. Walhasil, IUCN, lembaga konservasi hewan internasional, menyatakan satwa ini masuk daftar merah critically endangered alias spesies yang sangat kritis.

Sebab itulah, Ngurah berharap, informasi tentang pesut ini dapat membuka mata orang Indonesia, termasuk kalangan internasional. "Saya juga berharap, kita mampu mengelola dana untuk mengembangkan sistem konservasi yang tepat guna melindungi keberadaan pesut," kata Ngurah lagi.

Nur Hidayat



Sang Penentu Nasib Ekosistem
Pesut atau lumba-lumba (Orcaella brevirostris) adalah spesies mamalia air (bernapas dengan paru-paru dan menyusui anaknya) yang banyak menghuni wilayah perairan tropis dan subtropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mulai India, Filipina, hingga bagian utara Australia. Ada dua jenis lumba-lumba --atau dalam bahasa Inggris disebut irrawaddy dolphin-- di dunia, yaitu Orcaella brevirostris dan Orcaella heinsohni (snubfin dolphin).

Diperkirakan populasi tertinggi lumba-lumba terdapat di perairan hutan bakau Sunderbarn, Bangladesh, dan India, dengan jumlah sekitar 6.000 ekor. Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong, Kamboja, yakni sekitar 70 ekor. Kemudian di Sungai Ayeyawardi, Myanmar, dan Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Perairan di Indonesia umumnya dihuni Orcaella brevirostris.

Ketiga lokasi itu dikategorikan memiliki populasi paling kritis (critically endangered), sedangkan di lokasi lainnya dikategorikan sebagai rentan (vulnerable). Di perairan Pulau Kalimantan, spesies ini dapat ditemukan di perairan air tawar di Sungai Mahakam, muara, hingga pesisir pantai di Sabah, Sarawak, Kalimantan Timur, dan sejak 2011 ditemukan di perairan Kalimantan Barat.

Pesut hidup berkelompok dan bergerak dalam kawanan kecil. Biasanya, dalam satu kelompok dapat dijumpai tidak lebih dari 10 ekor pesut, dan individu yang hidup soliter sangat jarang terlihat. Walaupun mereka hidup di air tawar berlumpur yang menjadikan jarak pandang tidak begitu tajam, pesut memiliki kelebihan untuk mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan (memiliki echolocation).

Spesies ini adalah perenang yang lambat. Tetapi mereka dapat berenang dengan kecepatan 20-25 kilometer per jam bila merasa terancam. Mereka juga dapat menyelam hingga 18 menit bila terganggu. Pakan utama pesut adalah udang-udangan, cumi, dan ikan-ikan kecil.


Wujud Fisik
Tubuh pesut mirip beluga, walaupun lebih berkerabat dekat dengan orca atau paus pembunuh. Nama spesies "brevirostris" berasal dari bahasa Latin, yang berarti "berparuh pendek". Pesut di Kalimantan punya kemiripan morfologis dengan satwa lumba-lumba bungkuk (Sausa chinensis).

Namun lumba-lumba bungkuk punya ukuran badan lebih besar, moncong lebih panjang, dan sirip punggung lebih lebar. Umumnya, tubuh pesut berwarna kelabu-biru tua, bagian bawahnya berwarna pucat tanpa pola yang khas.

Berdahi tinggi dan membulat, tidak bermoncong, sirip punggung kecil dan membulat di tengah punggung, dan sirip tangan lebar membulat. Berat seekor pesut dewasa dapat mencapai 130 kilogram, dengan panjang 2-3 meter. Sedangkan anak pesut memiliki berat sekitar 10 kilogram, dengan panjang sekitar 1 meter.


Ekologi dan Habitat
Pada dasarnya, pesut bukanlah lumba-lumba sungai, melainkan lumba-lumba laut yang hidup di perairan payau di dekat pantai dan muara sungai. Habitat pesut di Kalimantan Timur dapat ditemukan hingga hulu anak-anak Sungai Mahakam, dengan jarak sekitar 560 kilometer dari delta dan perairan air asin Sungai Mahakam.

Menempati posisi teratas pada ekosistem perairan asin, payau, dan air tawar yang dangkal, di perairan pantai pesut hidup di kedalaman tidak lebih dari 20-30 meter, dan di sungai pada kedalaman hingga 50 meter. Sebagai spesies yang hidup di dua jenis perairan, tawar dan asin, lumba-lumba dapat menjadi spesies indikator yang mengindikasikan sehat atau tidaknya ekosistem perairan tersebut.

Hasil kajian terbaru yang dilakukan WWF Indonesia menemukan, pesut juga dijumpai di perairan kawasan bakau dan nipah Batu Ampar, selat-selat sempit, dan sepanjang dekat pantai Pulau Padang Tikar. Habitat itu berada di Kabupaten Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat.


Ancaman
Pesut jarang mengalami konflik dengan nelayan yang tinggal dan mencari nafkah di area habitat mereka. Tetapi perusakan habitat, seperti pembangunan bendungan (di Sungai Mekong, Kamboja, dan Ayeyarwadi, Myanmar), pertambangan, perusakan hutan untuk pendirian industri kayu arang, dan bahan baku pulp oleh perusahaan komersial beserta aktivitas lalu lintas yang tinggi di perairan tersebut, diduga merupakan ancaman utama bagi populasi pesut di habitat alam.

Selain itu, di beberapa negara Asia, pesut sengaja ditangkap dan dilatih untuk melakukan pertunjukan di akuarium. Penampilan mereka yang unik membuat spesies ini sangat populer untuk pertunjukan lumba-lumba. Apalagi, memelihara pesut relatif gampang karena spesies ini dapat hidup di kolam air tawar, sehingga para pengusaha bisnis ini dapat menghindari tingginya biaya perawatan sistem akuarium laut.

Pada tahun 2000, pesut dimasukkan dalam daftar merah IUCN sebagai salah satu spesies yang sangat terancam punah. Spesies ini juga dilindungi perundang-undangan di Indonesia. Belum ada referensi yang jelas mengenai jumlah populasi pesut di Indonesia. Menurut Danielle Kreb dari organisasi RASI, jumlah spesies ini di Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, adalah 50-70 ekor dan dikategorikan sebagai species yang sangat kritis (critically endangered).

sumber link: http://arsip.gatra.com/majalah/artikel.php?pil=23&id=151332

Minggu, 11 Maret 2012

WWF Indonesia dan BPSPL Identifikasi Pesut Kalimantan

Jakarta - Untuk pertama kalinya, tim survei WWF Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, berhasil mempelajari dan mendokumentasikan keberadaan populasi pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Selain menemukan pesut Orcaella brevirostris, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Irrawaddy dolphin, tim survey juga menemukan satu kelompok lumba-lumba putih atau lumba-lumba punggung bungkuk (Sousa chinensis) di perairan tersebut. Ini merupakan indikasi keragaman hayati ekosistem air tawar/payau yang tinggi di perairan sebelah barat Kalimantan.
"Keberadaan pesut di kawasan perairan tersebut belum pernah diketahui sebelumnya, sehingga studi awal ini merupakan langkah menggembirakan," kata Albertus Tjiu, ahli konservasi satwa dari WWF Indonesia yang juga terlibat secara aktif dalam survei tersebut, dalam siaran pers yang diterima Gatranews, di Jakarta, Sabtu (10/3).
Menurut Albert, ditemukannya populasi pesut tersebut mengindikasikan pentingnya peningkatan upaya perlindungan habitat satwa air tersebut, baik di hulu maupun hilir sungai, termasuk hutan bakau dan nipah di selat-selat sempit di perairan di Pulau Kalimantan.
Ancaman utama populasi pesut di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara di antaranya adalah konversi hutan mangrove --habitat satwa tersebut-- untuk bahan baku industri arang, degradasi habitat hutan sekitar perairan untuk bahan baku bubur kertas (pulp) komersial, aktivitas lalu lintas air yang tinggi dan dapat menimbulkan stress bagi satwa tersebut, serta tercemarnya air sungai.
"Pelaku usaha yang beroperasi di sekitar perairan itu harus menerapkan praktek pengelolaan usaha yang ramah lingkungan atau best management practices serta memperhatikan sumber-sumber bahan bakunya agar tidak mengancam kelestarian hutan bakau dan perairan tersebut pada umumnya," kata Albert.
Di dunia terdapat dua species pesut, yakni Orcaella brevirostris dan Orcaella heinsohni (Snubfin dolphin). Perairan-perairan di Indonesia umumnya dihuni populasi Orcaella brevirostris. Diperkirakan populasi tertinggi pesut terdapat di perairan hutan bakau Sundabarn, Bangladesh, dan India, dengan populasi sekitar 6000 ekor.
Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong Kamboja, yaitu sekitar 70 ekor, Sungai Ayeyawardi di Myanmar, dan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Ketiga lokasi ini dikategorikan memiliki populasi yang terancam kepunahan (critically endangered), sedangkan yang lainnya dikategorikan sebagai rentan (vulnerable).
"Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara habitat pesut berada di hilir kawasan Heart of Borneo yang berada di wilayah Indonesia. Kelestarian hutan di daerah hulu sungai juga menjadi faktor yang sangat penting demi terpeliharanya ekosistem air tawar di bagian hilir dimana terdapat habitat pesut," kata Tri Agung Rooswiadji, Koordinator Konservasi Air Tawar WWF-Indonesia.
"Ekosistem perairan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Sebagai spesies yang hidup di dua jenis perairan, tawar dan asin, pesut dapat menjadi spesies indikator yang mengindikasikan sehat atau tidaknya ekosistem perairan tersebut," lanjutnya.
Berdasarkan studi mengenai populasi dan habitat satwa tersebut, diharapkan dapat ditentukan langkah-langkah serta kebijakan yang dibutuhkan untuk perlindungan populasi dan lingkungan di sekitarnya. "Survey di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara ini merupakan survey awal, kami berharap akan ada survey lanjutan di sungai-sungai di bagian hulu seperti Sungai Kapuas, Sejenuh dan Mendawa," kata Tri Agung.
Kris Handoko, Kepala Seksi Konservasi dan Pemanfaatan - BPSPL Pontianak, mengatakan bahwa BPSPL Pontianak sangat mendukung dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai spesies pesut ini dan siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk terlaksananya monitoring dan program konservasi mamalia unik ini.
Sejak 2009 hingga saat ini, WWF Indonesia, BPSPL dan mitra lainnya telah melakukan kajian mengenai populasi dan habitat pesut di Kalimantan, yaitu di Sungai Sesayap Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur pada 2009-2010, dan Kubu Raya & Kayong Utara, Kalimantan Barat, pada Oktober 2011. [TMA]
sumber link: http://www.gatra.com/component/content/article/74-lingkungan/9883-wwf-indonesia-dan-bpspl-identifikasi-pesut-kalimantan

WWF Indonesia dan BPSPL Identifikasi Pesut Kalimantan

Jakarta - Untuk pertama kalinya, tim survei WWF Indonesia, bekerja sama dengan Badan Pengembangan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, berhasil mempelajari dan mendokumentasikan keberadaan populasi pesut atau lumba-lumba air payau (Orcaella brevirostris) di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat.

Selain menemukan pesut Orcaella brevirostris, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Irrawaddy dolphin, tim survey juga menemukan satu kelompok lumba-lumba putih atau lumba-lumba punggung bungkuk (Sousa chinensis) di perairan tersebut. Ini merupakan indikasi keragaman hayati ekosistem air tawar/payau yang tinggi di perairan sebelah barat Kalimantan.

"Keberadaan pesut di kawasan perairan tersebut belum pernah diketahui sebelumnya, sehingga studi awal ini merupakan langkah menggembirakan," kata Albertus Tjiu, ahli konservasi satwa dari WWF Indonesia yang juga terlibat secara aktif dalam survei tersebut, dalam siaran pers yang diterima Gatranews, di Jakarta, Sabtu (10/3).

Menurut Albert, ditemukannya populasi pesut tersebut mengindikasikan pentingnya peningkatan upaya perlindungan habitat satwa air tersebut, baik di hulu maupun hilir sungai, termasuk hutan bakau dan nipah di selat-selat sempit di perairan di Pulau Kalimantan.

Ancaman utama populasi pesut di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara di antaranya adalah konversi hutan mangrove --habitat satwa tersebut-- untuk bahan baku industri arang, degradasi habitat hutan sekitar perairan untuk bahan baku bubur kertas (pulp) komersial, aktivitas lalu lintas air yang tinggi dan dapat menimbulkan stress bagi satwa tersebut, serta tercemarnya air sungai.

"Pelaku usaha yang beroperasi di sekitar perairan itu harus menerapkan praktek pengelolaan usaha yang ramah lingkungan atau best management practices serta memperhatikan sumber-sumber bahan bakunya agar tidak mengancam kelestarian hutan bakau dan perairan tersebut pada umumnya," kata Albert.

Di dunia terdapat dua species pesut, yakni Orcaella brevirostris dan Orcaella heinsohni (Snubfin dolphin). Perairan-perairan di Indonesia umumnya dihuni populasi Orcaella brevirostris. Diperkirakan populasi tertinggi pesut terdapat di perairan hutan bakau Sundabarn, Bangladesh, dan India, dengan populasi sekitar 6000 ekor.

Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong Kamboja, yaitu sekitar 70 ekor, Sungai Ayeyawardi di Myanmar, dan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Ketiga lokasi ini dikategorikan memiliki populasi yang terancam kepunahan (critically endangered), sedangkan yang lainnya dikategorikan sebagai rentan (vulnerable).

"Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara habitat pesut berada di hilir kawasan Heart of Borneo yang berada di wilayah Indonesia. Kelestarian hutan di daerah hulu sungai juga menjadi faktor yang sangat penting demi terpeliharanya ekosistem air tawar di bagian hilir dimana terdapat habitat pesut," kata Tri Agung Rooswiadji, Koordinator Konservasi Air Tawar WWF-Indonesia.

"Ekosistem perairan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Sebagai spesies yang hidup di dua jenis perairan, tawar dan asin, pesut dapat menjadi spesies indikator yang mengindikasikan sehat atau tidaknya ekosistem perairan tersebut," lanjutnya.

Berdasarkan studi mengenai populasi dan habitat satwa tersebut, diharapkan dapat ditentukan langkah-langkah serta kebijakan yang dibutuhkan untuk perlindungan populasi dan lingkungan di sekitarnya. "Survey di perairan Kubu Raya dan Kayong Utara ini merupakan survey awal, kami berharap akan ada survey lanjutan di sungai-sungai di bagian hulu seperti Sungai Kapuas, Sejenuh dan Mendawa," kata Tri Agung.

Kris Handoko, Kepala Seksi Konservasi dan Pemanfaatan - BPSPL Pontianak, mengatakan bahwa BPSPL Pontianak sangat mendukung dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai spesies pesut ini dan siap bekerja sama dengan berbagai pihak untuk terlaksananya monitoring dan program konservasi mamalia unik ini.

Sejak 2009 hingga saat ini, WWF Indonesia, BPSPL dan mitra lainnya telah melakukan kajian mengenai populasi dan habitat pesut di Kalimantan, yaitu di Sungai Sesayap Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur pada 2009-2010, dan Kubu Raya & Kayong Utara, Kalimantan Barat, pada Oktober 2011. [TMA]

sumber link: http://www.gatra.com/component/content/article/74-lingkungan/9883-wwf-indonesia-dan-bpspl-identifikasi-pesut-kalimantan