Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan Revisi Undang-Undang tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan menjamin hak masyarakat adat setempat. Pemberdayaan masyarakat adat termasuk nelayan kecil ditandai dengan masuknya unsur masyarakat dalam inisiasi penyusunan rencana zonasi setara dengan pemerintah dan dunia usaha. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif C. Sutardjo, pada Rapat Paripurna DPR RI tentang Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan Terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil di Jakarta, Rabu (18/12).
Sharif menjelaskan, Keberadaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sangat strategis. Terutama, mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan pasal 33 UUD 45 merupakan kekayaan alam yang dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. “Semua ini berarti, UU No.27 menjamin akses masyarakat yang bermukim di pulau pulau kecil,” katanya.
Substansi dari revisi UU No. 27 Tahun 2007, kata Sharif adalah perlindungan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta mengakui dan menghormati masyarakat lokal dan masyarakat tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Kalau dulu untuk menyusun rencana pengelolaan, rencana aksi, dan rencana strategis hanya melibatkan Pemda dan dunia usaha, sekarang ditambah masyarakat. Jadi revisi ini sudah menegakkan prinsip good governance,” ujarnya.
Sharif menegaskan, RUU tentang perubahan atas UU No. 27/2007 menempatkan peran strategis Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastuktur, jaminan pasar, dan asset ekonomi produktif lainnya. “RUU ini memberikan penguatan terhadap peran masyarakat, yaitu dalam menyampaikan usulan penyusunan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengusulkan wilayah penangkapan ikan tradisional, dan mengusulkan wilayah masyarakat hukum adat,” tandasnya.
Guna menghindari pengalihan tanggung jawab Negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, tandas Sharif, Negara dapat memberikan hak pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui mekanisme perizinan. Dengan demikian negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Dalam RUU tentang Perubahan Atas UU No. 27/2007, mekanisme perizinan diterjemahkan dalam bentuk Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan. Perizinan tersebut akan memberikan kepastian hukum dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegasnya.
Sharif mengatakan, pada proses penyusunan RUU tentang Revisi atas UU No. 27/2007, pihaknya telah melibatkan para pakar dan akademisi dari berbagai universitas, praktisi pengelolaan pesisir, masyarakat pesisir, pelaku usaha, serta lembaga kemasyarakatan, baik dalam forum diskusi secara formal maupun informal. “Mengenai revisi UU 27/2007, kami sudah mengadakan konsultasi dengan berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, IPB dan Universitas Padjajaran. Begitu juga masukan dari masyarakat seperti rekan-rekan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga dilibatkan. Agar ada input sebagai bahan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah untuk memformulasikan substansi UU itu,” tandasnya
sumber: kkp.go.id