Senin, 27 Januari 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
Mengingat
:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 25A, serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1, angka 17, angka 18, angka 19, angka 23, angka 26, angka 28, angka 29, angka 30, angka 31, angka 32, angka 33, angka 38, dan angka 44 diubah, dan di antara angka 18 dan angka 19 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 18A, serta di antara angka 27 dan angka 28 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 27A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
8. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
9. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
14. Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.
17. Rencana Zonasi Rinci adalah rencana detail dalam 1 (satu) Zona berdasarkan arahan pengelolaan di dalam Rencana Zonasi dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan teknologi yang diterapkan serta ketersediaan sarana yang pada gilirannya menunjukkan jenis dan jumlah surat izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
18. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.
18A. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.
23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27A. Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
28. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
2. Ketentuan ayat (1) dan ayat (7) Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Usulan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha.
(2) Mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan Masyarakat.
(3) Pemerintah Daerah berkewajiban menyebarluaskan konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan.
(4) Bupati/wali kota menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil kabupaten/kota kepada gubernur dan Menteri untuk diketahui.
(5) Gubernur menyampaikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil provinsi kepada Menteri dan Bupati/wali kota di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(6) Gubernur atau Menteri memberikan tanggapan dan/atau saran terhadap usulan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
(7) Dalam hal tanggapan dan/atau saran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dipenuhi, dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimaksud diberlakukan secara definitif.
3. Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Izin
4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.
(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan.
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.
(4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.
6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi.
7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam,
wajib memiliki Izin Pengelolaan.
(2) Izin Pengelolaan untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
9. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil pada wilayah Masyarakat Hukum Adat oleh Masyarakat Hukum Adat menjadi kewenangan Masyarakat Hukum Adat setempat.
(2) Pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan nasional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat.
(2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
11. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 22A, Pasal 22B, dan Pasal 22C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diberikan kepada:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat.
Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan Izin Pengelolaan harus memenuhi syarat teknis, administratif, dan operasional.
Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka waktu, luasan, dan berakhirnya Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya.
(2) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
a. konservasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. budi daya laut;
e. pariwisata;
f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g. pertanian organik;
h. peternakan; dan/atau
i. pertahanan dan keamanan negara.
(3) Kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib:
a. memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan;
b. memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat; dan
c. menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
13. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing harus mendapat izin Menteri.
(2) Penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengutamakan kepentingan nasional.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas;
b. menjamin akses publik;
c. tidak berpenduduk;
d. belum ada pemanfaatan oleh Masyarakat Lokal;
e. bekerja sama dengan peserta Indonesia;
f. melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada peserta Indonesia;
g. melakukan alih teknologi; dan
h. memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan saham dan luasan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dan huruf h diatur dengan Peraturan Presiden.
14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti pada kawasan konservasi untuk eksploitasi ditetapkan oleh Menteri dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
(2) Menteri membentuk Tim untuk melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi perikanan dan kelautan.
(3) Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ber-Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis, ditetapkan oleh Menteri dengan persetujuan DPR.
(4) Tata cara perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
15. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Menteri berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil lintas provinsi, Kawasan Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan Kawasan Konservasi Nasional.
(2) Gubernur berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.
(3) Bupati/wali kota berwenang memberikan dan mencabut Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) di wilayah Perairan Pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan kewenangannya.
16. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Menteri berwenang:
a. menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis terhadap perubahan lingkungan; dan
b. menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan izin serta perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
17. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh akses terhadap bagian perairan pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan;
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c. mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k. memperoleh ganti rugi; dan
l. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
18. Ketentuan ayat (2) Pasal 63 diubah sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberdayakan Masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mendorong kegiatan usaha Masyarakat melalui peningkatan kapasitas, pemberian akses teknologi dan informasi, permodalan, infrastruktur, jaminan pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya.
(3) Dalam upaya Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam:
a. pengambilan keputusan;
b. pelaksanaan pengelolaan;
c. kemitraan antara Masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d. pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e. pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g. penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; dan
h. pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pemberdayaan Masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.
19. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
(1) Pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan Izin Lokasi yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa peringatan, pembekuan sementara, dan/atau pencabutan Izin Lokasi.
(3) Pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan Izin Pengelolaan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan lokasi;
d. pencabutan izin;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. denda administratif.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
20. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
21. Di antara Pasal 75 dan Pasal 76 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 75A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75A
Setiap Orang yang memanfaatkan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memiliki Izin Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
22. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 78A dan Pasal 78B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri.
Pasal 78B
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, izin untuk memanfaatkan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang telah ada tetap berlaku dan wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun.
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 2
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2014
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
I. UMUM
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil selama ini belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Mekanisme HP-3 mengurangi hak penguasaan negara atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga ketentuan mengenai HP-3 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sangat strategis untuk mewujudkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta meningkatkan kesejahteraan Masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil belum memberikan
hasil yang optimal. Oleh karena itu, dalam rangka optimalisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, negara bertanggung jawab atas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (perseorangan atau swasta) melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak lain tersebut tidak mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dengan demikian, negara tetap menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga dilakukan dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat serta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mengakui dan menghormati Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat. Secara umum undang-undang ini mencakup pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; serta pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Masukan, tanggapan, saran, dan perbaikan dari berbagai pemangku kepentingan utama, instansi Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya disampaikan secara efektif melalui jalur komunikasi yang tersedia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemerintah provinsi wajib melakukan perbaikan serta memublikasikan dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan yang diterima dari pihak penanggap.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam hal dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak mendapat tanggapan dan/atau saran sampai batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang ini, dokumen tersebut dianggap final.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “nelayan tradisional” adalah nelayan yang menggunakan kapal tanpa mesin, dilakukan secara turun temurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kawasan pelabuhan meliputi daerah lingkungan kepentingan pelabuhan dan daerah lingkungan kerja pelabuhan.
Pantai umum merupakan bagian dari kawasan pemanfaatan umum yang telah dipergunakan oleh Masyarakat, antara lain, untuk kepentingan keagamaan, sosial, budaya, rekreasi pariwisata, olah raga, dan ekonomi.
Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memfasilitasi”, antara lain, dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22A
Cukup jelas.
Pasal 22B
Cukup jelas.
Pasal 22C
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “akses publik” adalah jalan masuk yang berupa kemudahan, antara lain:
a. akses Masyarakat memanfaatkan sempadan pantai dalam menghadapi Bencana Pesisir;
b. akses Masyarakat menuju pantai dalam menikmati keindahan alam;
c. akses nelayan dan pembudi daya ikan dalam kegiatan perikanan, termasuk akses untuk mendapatkan air minum atau air bersih;
d. akses pelayaran rakyat; dan
e. akses Masyarakat untuk kegiatan keagamaan dan adat di pantai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Peserta Indonesia, antara lain, Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta badan usaha swasta nasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “aspek ekologi” adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelestarian lingkungan/ekosistem di pulau-pulau kecil.
Yang dimaksud dengan “aspek sosial” adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kehidupan (sistem sosial budaya) Masyarakat di pulau-pulau kecil.
Yang dimaksud dengan “aspek ekonomi” adalah aspek-aspek yang mempengaruhi kelayakan bisnis/investasi dan tingkat kesejahteraan Masyarakat di pulau-pulau kecil.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kawasan konservasi nasional” adalah Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 60
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “wilayah penangkapan ikan secara tradisional” adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 75
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 75A
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 78A
Yang dimaksud dengan “kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” termasuk Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain:
a. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu;
b. Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa;
c. Taman Nasional (Laut) Bunaken;
d. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi;
e. Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate;
f. Taman Nasional Teluk Cenderawasih; dan
g. Taman Nasional Kepulauan Togean.
Pasal 78B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5490

Kamis, 09 Januari 2014

Siaran Pers KKP: KKP Konsisten Perbaiki Nasib Nelayan

KKP Konsisten Perbaiki Nasib Nelayan
 
Program industrialisasi kelautan dan perikanan dengan pendekatan ekonomi biru (blue economy) yang dicanangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan(KKP) menunjukkan hasil positif. Indikator Kinerja Utama (IKU) KKP tahun 2013 menjadi cerminan keberhasilan tersebut. Beberapa indikator menunjukkan pencapaian bahkan melampaui target yang ditetapkan KKP. Diantaranya, melalui program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN), pada tahun 2013 di 200Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI), pemerintah telah memberikan untuk individu nelayan berupa Sertifikasi Hak atas Tanah Nelayan (SeHAT) sebanyak 18.000 bidang, peralatan rantai dingin sebanyak 95 paket, 6.000 unit rumah sangat murah, listrik murah 10.995 unit, BOS dan beasiswa anak nelayan untuk 1.600 orang, dan Layanan kesehatan untuk 2.100 puskesmas. "Ini bukti konkret dan konsistensi pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan nelayan". Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo pada acara Chief Editors Meeting, di Jakarta, Rabu (8/1).
 
Sharif menambahkan, selain untuk individu nelayan, bantuan juga diberikan untuk kelompok nelayan.  Diantaranya,  penyediaan kapal penangkap ikan >30 GT sebanyak 75 unit, penyediaan kapal penangkap ikan 10-15 GT sebanyak 13 unit, Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) Perikanan Tangkap di 2.000 KUB, PUMP P2HP untuk 567 Poklahsar, PUMP Perikanan Budidaya untuk 300 kelompok, Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat/PUGAR untuk 800 kelompok, 200 unit konversi BBM ke gas, pendampingan pada kelompok untuk 6.141 nelayan serta Pengembangan usaha rumput laut di 7 provinsi. "Untuk perbaikan sarana dan prasarana PPI,  KKP telah membangun 2 unit pabrik es, 16 unit Cold Storage, 25 unit Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN). Kemudian penyediaan angkutan nelayan murah roda tiga berinsulasi sebanyak 25 unit serta penyediaan sarana air bersih di 166 lokasi", ujarnya.
 
Sharif menjelaskan, dari data IKU KKP 2013, menunjukkan hampir semua program yang ditetapkan KKP dapat di selesaikan dengan hasil baik. Dimana, produksi perikanan tangkap mencapai 19,56 juta ton atau melampaui 12% dari target yang ditetapkan 17,42 juta ton. Produksi perikanan budidaya tahun 2013 mencapai 13,70 juta ton atau melampaui 17% dari target 11,63 juta ton. Demikian juga dengan produksi garam rakyat tahun 2013 mencapai 1,041 juta ton atau melampaui hampir 2 kali lipat dari yang ditargetkan KKP sebesar 545 ribu ton. "Tingkat konsumsi ikan dalam negeri sebagai indikator utama tingkat konsumsi ikan nasional juga sudah mencapai  35,62 kg/kapita/tahun, naik dari 33,89 kg/kapita/tahun 2012 atau naik rata-rata 5,04% pertahun. Kenaikan ini juga diikuti dengan tumbuhnya nilai tukar nelayan yang sudah mencapai angka 104,34", jelasnya.
 
Sedangkan di bidang konservasi dan sumberdaya kelautan dan perikanan juga menunjukkan perkembangan positif. Dimana, luas kawasan konservasi perairan yang dikelola secara berkelanjutan mencapai 3.647 juta hektar atau melebihi dari target 3,6 juta hektar yang ditetapkan tahun 2012. Termasuk, jumlah penambahan kawasan konservasi perairan dari target 500 ribu hektar tercapai 689 ribu hektar atau melampaui target hingga 38%. Adapun jumlah pulau pulau kecil termasuk pulau kecil terluar yang dikelola sebanyak 62 pulau atau melebihi dari target yang ditetapkan KKP sebanyak 60 pulau. “KKP juga menargetkan wilayah perairan bebas IUU Fishing dan kegiatan yang merusak sumberdaya KP dari target 40%, kini sudah tercapai 46,35%,” tegasnya.
 
Nilai ekspor hasil perikanan, lanjut Sharif, hingga data ini disampaikan sudah mencapai US$ 4,19 miliar. Kenaikan ini juga diikuti dengan menurunnya jumlah kasus penolakan ekspor hasil perikanan per negara mitra tahun 2013 masih dibawah 10 kasus. Bahkan dari data pertumbuhan nilai ekspor dari 2011-2012 produk perikanan rata rata terjadi kenaikan hingga 11,62%, jauh diatas pertumbuhan ekspor Nasional yang hanya minus 6,25%. Sebailkya, nilai impor perikanan dari 2011-2012 terus mengalami penurunan hingga -15.49% jauh dibawah nilai impor nasional yang mencapai 9,40%. “Dari data tersebut, neraca perdagangan tahun 2012 perikanan surplus US$ 3,52 miliar atau 81,11% dari total transaksi perdagangan impor, jauh diatas Neraca perdagangan nasional yang defisit US$ -1,33 miliar,” katanya.
 
Sharif menegaskan, program industrialisasi kelautan dan perikanan memang sudah menjadi konsen KKP. Untuk itu upaya peningkatan kinerja ekspor terus dilakukan. Diantaranya, KKP telah melakukan peningkatan utilitas kapasitas industri untuk 6 komoditas utama. Yakni  ikan kaleng cakalang (canned tuna), ikan kaleng sardine (canned sardine), Ikan tuna loin segar dan beku (fresh and frozen  tuna loin), udang beku dan olahan, Katsuebushi Cakalang dan tuna rebus. Selanjutnya KKP juga melakukan perluasan dan diversifikasi produk ekspor, Compliance terhadap standar dan persyaratan pasar internasional, Promosi dan branding produk ekspor serta penanganan hambatan ekspor baik tarif maupun non tarif. “Prinsipnya ekspor hasil perikanan telah diarahkan pada produk bernilai tambah, dengan meningkatnya harga rata rata produk perikanan”, ujarnya.
 
Keberhasilan kinerja KKP juga ditunjukkan pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan yang terus mengalami kenaikan. Dari data sementara tahun 2013, PDB Perikanan mencapai 6,45%. Data ini menunjukkan perkembangan PDB perikanan tumbuh diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Dimana laju pertumbuhan PDB tahun 2013 dari data triwulan III, PDB Perikanan sudah mencapai 6,45, masih jauh diatas pertumbuhan PDB Pertanian 3,27% dan PDB Nasional 5,82 %. “Apabila dibandingkan dengan tahun 2012 sampai triwulan III, nilai PDB Perikanan naik sebesar 6,42% yakni dari Rp 42,8 Triliun pada tahun 2012 menjadi Rp 45,4 triliun tahun 2013,” tambahnya.
 
Keberhasilan pelaksanaan program KKP juga tidak terlepas dari komitmen peningkatan kinerja yang profesional dan transparan dilingkungan KKP. Terbukti dari penilaian akuntabilitas keuangan dan kinerja, laporan keuangan KKP mendapat penilaian wajar tanpa pengecualian. KKP juga memperoleh nilai sangat baik atau nilai A dalam penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). Bahkan prestasi ini menjadikan KKP satu satunya pembina sektor yang memperoleh penghargaan Akuntabilitas sangat baik. Sedangkan Penilaian Pelayanan Publik, nilai integritas KKP mencapai 7,12 atau naik dari 6,68 di tahun 2012. Untuk kegiatan anti korupsi, KKP mendapat nilai inisiatif Anti Korupsi 7,6 naik dari 7,4 ditahun 2012. Penghargaan lain  juga diberikan presiden RI, berupa penghargaan Karya Iptek Anak Bangsa pada acara Harteknas ke 18, yakni penemuan vaksis Hydrovac dan Streptovic. Termasuk, Anugerah Parahita Ekapraya (APE) pada puncak peringatan Hari Ibu tahun 2013 atas prestasi pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di KKP dan Herudi Technical Committee Award 2013 dari Badan Standarisasi Nasional untuk perumusan SNI Produk Perikanan.
 
Sharif menambahkan, anggaran APBN KKP tahun 2014 sebesar Rp 6,52 triliun atau turun dibanding anggaran tahun 2013 sebesar Rp  7,09 triliun. Dengan APBN tersebut KKP tetap memberi target untuk peningkatan PDB Perikanan 7,25  Nilai tukar nelayan/pembudiaya ikan 112/105 dan Tingkat konsumsi ikan dalam negeri menjadi 38,00 kg/kapita/tahun. Sedangkan untuk produksi perikanan tangkap ditarget sebesar 6,08 perikanan budidaya 13,97 serta produksi garam rakyat ditingkatkan menjadi 3,30 juta ton. Nolai ekspor hasil perikanan akan dinaikkan US$ 5,65 miliar. Sebaliknya jumlah kasus penolakan ekspor ditekan dibawah 10 kasus. Target lain, diantaranya untuk luas kawasan konservasi perairan yang dikelola secara berkelanjutan seluas 4,5 juta hektar dan jumlah penambahan kawasan konservasi 500 ribu hektar. “Termasuk jumlah pulau pulau kecil termasuk pulau pulau kecil terluar dikelola 30 pulau dan wilayah perairan bebas IUU Fishing dan kegiatan yang merusak sumberdaya kelautan perikanan ditarget mencapai 39%,” tutupnya.

sumber: http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10350/KKP-Konsisten-Perbaiki-Nasib-Nelayan/

Capaian 2013: Pengelolaan Efektif KKP-3K Capai 3,647 juta Hektar, luasan KKP-3K bertambah 689 ribu hektar



Target yang disasar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam notulen Renstra 2010-2014 adalah pengelolaan efektif kawasan konservasi laut tahun pada tahun 2014 seluas  4,5 juta hektar, serta menambah 2 juta hektar kawasan konservasi dari status 13,5 juta pada tahun 2009 sebagai titit tolak angka renstra. sehingga target komulatif luas kawasan pada tahun 2014 (akhir masa renstra) adalah 15,5 juta hektar. tak perlu menunggu hingga 2014, saat ini status luas kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP-3K) telah tercatat 15,76 juta hektar. Pun demikian, untuk target capaian tahunan terhadap luas kawasan konservasi baru di tahun 2013 yang dipantau langsung oleh tim UKP4 menunjukkan capaian melegakan, yakni 689.945 hektar, atau sekitar 138% dari target 500 ribu hektar yang diemban. Sejatinya dengan tambahan luas kawasan konservasi yang datang atas komitmen pemerintah daerah bersama masyarakat lokal ini mampu mendongkrak luas kawasan konservasi yang lebih lagi dari 16 juta hektare (ha). lantas, hingga akhir 2014 nanti kita masih memiliti target tahunan untuk menambah 300 ribuan hektar lagi kawasan konservasi baru, walau ujung target 2014 sesungguhnya telah tercapai.
Luas Kawasan Konservasi
Menyoal berapa status luasan kawasan konservasi di penghujung tahun 2013 ini, perjalanannya dapat dimulai pada status kawasan di medio 2012 yakni 15,78 juta hektar yang telah diumumkan ke publik, selanjutnya luas kawasan merangkak naik dan statusnya hingga akhir tahun 2012 seluas 16.096.881,81 Ha, status (16 juta ha) ini kembali diumumkan ke publik pada lokakarya nasional konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil pada bulan juni 2013. Dinamika perkembangan konservasi pasang surut dengan adanya kebijakan penataan ruang daerah maupun berbagai kebijakan serta masalah teknis perhitungan luas kawasan konservasi. Jika dilihat dari luasan 16 juta hektar pada medio 2013 ditambah dengan capaian luas kawasan konservasi pada tahun 2013 yang mencapai 690 ribu-an hektar, sejatinya luas kawasan konservasi menjadi 16,7 juta hektar. Namun alasan beberapa perhitungan dan dinamika kebijakan serta harmonisasi  penataan ruang di daerah, misalnya di Kabupaten Berau yang semula pencadangan luas kawasan konservasinya mencapai 1,273 juta hektar kini diharmoniasasikan dengan pemanfaatan lainnya sehingga luas kawasan konservasi menjadi 285 ribu hektar dan beberapa dinamika di daerah lainnya menyangkut kawasan konservasi yang mengembang dan mengkerut. untuk yang demikian ini, maka status luas kawasan konservasi di penghujung tahun 2013 berdasarkan data yang dihimpun Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan sebagaimana disajikan tabel berikut:
No
Kawasan Konservasi
Jumlah Kawasan
Luas (Ha)
A
Inisiasi Kemenhut
32
 4,694,947.55
Taman Nasional Laut
7
 4,043,541.30
Taman Wisata Alam Laut
14
 491,248.00
Suaka Margasatwa Laut
5
 5,678.25
Cagar Alam Laut
6
 154,480.00
B
Inisiasi KKP dan Pemda
99
 11,069,263.30
Taman Nasional Perairan
1
 3,521,130.01
Suaka Alam Perairan
3
 445,630.00
Taman Wisata Perairan
6
 1,541,040.20
Kawasan Konservasi Perairan Daerah
89
 5,561,463.09

Jumlah Total
131
 15,764,210.85
Sumber: informasi kawasan konservasi perairan indonesia, Dit. KKJI, 2013 (sebagaimana dapat diakses di kkji.kp3k.kkp.go.id)
Dalam catatan Keterangan Pers di bilangan Cikini, Jakarta Pusat (31/12/2013) Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad percaya bahwa dalam 5 tahun lagi, pemerintah bisa mencapai target jangka panjang dengan memperluas wilayah areal konservasi laut komulatif sebesar 20 juta ha. Hal ini didukung dengan kinerja pemerintah serta respon pemerintah daerah dan masyarakat  lokal dalam mengelola kawasan laut yang bijaksana. “Komitmen janji kita 20 juta ha kawasan konservasi perairan. di tahun 2020,” ungkap Sudirman. Dengan semakin besar wilayah konservasi pemerintah pun bertemu banyak masalah, tentu upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi untuk meningkatkan produksi perikanan dan mendorong pemanfaatan lainnya demi kepentingan kesejahteraan masyarakat lokal merupakan hal penting yang senantiasa terus dilakukan. “Kehadiran kita di kawasan konservasi bisa efektif dan tidak malah membunuh nelayan lokal,” jelas Sudirman.
Pengelolaan Efektif
Paradigma dan Pengelolaan kawasan konservasi perairan di Indonesia menapaki era baru sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Poin pertama, dalam hal Kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, kini tidak lagi menjadi monopoli pemerintah pusat melainkan sebagian telah terdesentralisasi menjadi kewajiban pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Poin kedua, adalah pengelolaan kawasan konservasi dengan sistem ZONASI,
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu. Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Kini, peran Pemerintah pusat dalam konteks paradigma ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah.
Berkembangnya Paradigma dan era baru konservasi dalam dasawarsa terakhir ini, menumbuhkan puluhan bahkan ratusan inisiatif pemerintah daerah yang memiliki wilayah perairan (baik di daratan maupun lautan) berlomba-lomba membidani kelahiran kawasan konservasi perairan di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah kepada dunia internasional yang disampaikan pada COP 6 CBD Brasil tahun 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan komitmen pencapaian kawasan konservasi seluas 10 Juta Hektar pada tahun 2010. Tumbuhnya semangat ini kemudian disambut baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah bersama mawsyarakat untuk mewujudkannya. Hingga pada Forum APEC tahun 2007 di Sydney, presiden menyampaikan inisiatif kerjasama  6 negara dalam pengelolaan segitiga terumbu karang  (Coral Triangle Initiatives), komitmen untuk menggandakan target luasan kawasan konservasi menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 pun disiarkan kepada dunia internasional. selanjutnya, komitmen ini ditegaskan kembali tahun 2009, juga oleh Presiden SBY dalam World Ocean Conference dan CTI Summit di Manado, mengumumkan kembali komitmen pencapaian target 20 juta hektar luas kawasan konservasi perairan tersebut pada tahun 2020.
Bertambah luasnya kawasan konservasi dan dinamikanya, tantangan pengelolaan kawasan konservasi bukannya menjadi berkurang malah cenderung semakin kompleks. upaya pembinaan, sosialisasi dan fasilitasi senantiasa terus dikembangkan untuk mendawamkan makna dan praktek konservasi yang sesungguhnya diseluruh level. Pada banyak kasus, komitmen kepala daerah dan partisipasi masyarakat lokal yang demikian antusias dengan semakin memahami makna konservasi untuk membangun kemapanan ekonomi lokal dan pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi kunci sukses keberlanjutan pengelolaan ketimbang faktor lainnya.
Dalam target pengelolaan efektif-KKP-3Knya, Renstra KKP yang dirancang tahun 2009 menyasar 21 lokasi fokus pengelolaan yang meliputi 9 Kawasan Konservasi Perairan Nasional dan 12 Kawasan Konservasi Perairan Daerah, dengan keseluruhan luas rancangan sekitar 4,5 juta hektar.  Dalam perkembangan selanjutnya, rencana pengelolaan efektif menjadi 24 lokasi, melalui pencadangan  TWP Kepulauan Anambas pada Tahun 2011 serta 2 lokasi kebijakan Blue Economyyakni Lombok Timur (NTB) dan Klungkung (Bali) pada rentang tahun 2011-2013.
Pengelolaan berkelanjutan merupakan upaya yang dilakukan pengelola kawasan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatan dan pengelolaan yang menjamin ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya yang ada. Adapun upaya-upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi meliputi : koordinasi dan pembinaan, peningkatan infrastruktur, penyusunan NSPK, review dan implementasi rencana pengelolaan, sosialisasi, konsultasi public,Peningkatan kapasitas, operasionalisasi lembaga pengelola, Rehabilitasi kawasan, evaluasi pengelolaan, Pengawasan sumberdaya ikan dan sebagainya. Untuk menilai efektivitas pengelolaan Kawasan Konservasi, telah disusun sebuah instrumen sebagai patokan praktis dalam menakar efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Alat Standar ini telah ditetapkan melalui Keputusan Dirjen KP3K Nomor Kep.44/KP3K/2012 tanggal 9 Oktober 2012 tentang Pedoman Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).
Ringkas-nya tingkatan/level efektivitas pengelolaan berdasarkan E-KKP3K dimaksud adalah sebagai berikut: Level 1 (merah) :Usulan inisiatif, identifikasi dan inventarisasi kawasan, pencadangan kawasan; Level 2 (kuning) : Kriteria level 1 + Unit organisasi pengelola dengan SDM + Rencana Pengelolaan dan zonasi + Sarpras Pendukung pengelolaan + Dukungan Pembiayaan Pengelolaan; Level 3 (hijau) : Kriteria level 2 + Pengesahan rencana pengelolaan dan zonasi + standard operating procedure (SOP) pengelolaan + pelaksanaan rencana pengelolaan dan zonasi + penetapan kawasan konservasi perairan; Level 4 (biru) : Kriteria level 3 + penataan batas kawasan + pelembagaan + pengelolaan sumberdaya kawasan + Pengelolaan Sosial, ekonomi dan budaya; dan Level 5 (emas) : Kriteria level 4 + peningkatan kesejahteraan masyarakat + pendanaan berkelanjutan. pada level 1-3 (merah-hijau) seluruh perangkat pengelolaan diukur dan pada level 4 (biru) output dan sebagian outcome dalam hal tata kelola, biofisik-ekologis, sosial-ekonomi-budaya  terukur dan berjalan dengan baik, sedangkan pada level 5 (emas), kawasan konservasi telah mandiri dengan outcome pengelolaan kawasan konservasi yang telah berjalan dengan baik tersebut berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Menyoal berapa kurun waktu yang patut diduga untuk pencapaian masing-masing level pengelolaan efektif, para pakar mengungkap analisis dan kesepahamannya, yakni: Level 1 (Merah) dapat dicapai pada 3 tahun pertama pengelolaan; Level 2 (kuning) dapat dicapai pada 5 tahun berikutnya; Level 3 (hijau) pada 7 tahun selanjutnya; Level 4 (biru) pada 10 tahun berikutnya; dan level 5 (emas) merupakan output/outcome yang dicapai setelah lebih dari 10 tahun, atau sekurangnya satu periode jangka panjang rencana pengelolaan kawasan konservasi (20 tahun). Dengan demikian, pengelolaan efektif sebuah kawasan konservasi tidak bisa sekonyong-konyong dipaksa naik level/warna/tingkatan secara dramatis setiap setiap tahunnya. Namun, peningkatan prosentase capaian dalam sub-level/kriteria rinci menjadi perhatian, dan yang terpenting adalah pekerjaan rumah yang harus diimplementasikan oleh pengelola bersama masyarakat menanggapi pemenuhan level/warna/tingkatan secara bertahap sesuai tatalaksana yang tertib. 
Berikut uraian singkat hasil evaluasi efektivitas berdasarkan penilaian E-KKP3K tahun 2013 terhadap lokasi-lokasi kawasan (target) tersebut di atas.
Status Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Secara Berkelanjutan
NoLokasi
2012
(Lakip 2012)
2013
Target 2014
1KKPN/TNP Laut Sawu, NTTMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 25%
2KKPN/TWP Gili Matra, NTBMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
3KKPN/TWP Laut Banda, MalukuMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 25%
4KKPD/Raja Ampat, Papua BaratMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%Kuning 100%
Hijau 25%
5KKPD/Sukabumi, Jawa BaratMerah 100%
Kuning 100%Hijau 50%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 50%
Biru 15%
6KKPD/Berau, KaltimMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 75%
Hijau 25%
7KKPD/Pesisir Selatan, SumbarMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 75%
8KKPD/Bonebolango, GorontaloMerah 100%
Kuning 25%
Merah 100%
Kuning 75%
9KKPN/TWP P. Pieh, SumbarMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
10KKPN/TWP Padaido, PapuaMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 25%
11KKPN/TWP Kapoposang, SulselMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
12KKPN/SAP Aru Tenggara, MalukuMerah 100% Kuning 50%Merah 100%
Kuning 75%
13KKPN/SAP Raja Ampat, Papua BaratMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
14KKPN/SAP Waigeo, Papua BaratMerah 100%
Kuning 75%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
15KKPD/Batang, Jawa TengahMerah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
Merah 100%
Kuning 100%
Hijau 35%
Biru 15%
16KKPD/Lampung Barat, LampungMerah 100%
Kuning 25%
Merah 100%
Kuning 50%
17KKPD/Alor, NTTMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 50%
18KKPD/Indramayu, Jawa BaratMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 50%
19KKPD/Batam, KepriMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 100%
20KKPD/Bintan, KepriMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 100%
21KKPD/Natuna, KepriMerah 100%
Kuning 50%
Merah 100%
Kuning 75%
22KKPN Kep. AnambasMerah 100%
Kuning 50%
23KKPD Lombok TimurMerah 100%
Kuning 50%
Hijau 15%
24KKPD KlungkungMerah 100%
Kuning 75%
Hijau 25%
Total Tahun 2013

422,395.17
Total Tahun 2012
3,225,122.00

CAPAIAN KUMULATIF hingga 2013

3,647,517.17
Sumber: Dit. KKJI, bahan LAKIP 2013 (dapat dipublikasikan dengan ijin)
Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sudirman Saad mengatakan tahun ini capaian pengelolaan efektif konservasi laut bertambah 3,64 juta hektare. Luas pengelolaan efektif konservasi laut tahun ini meningkat sekitar 400.000 ha dibandingkan dengan pada 2012 yang hanya 3,2 juta ha. “Target kita tahun depan sebesar  4,5 juta ha,” ujar Sudirman di Jakarta, Selasa (31/12).