Selasa, 29 September 2009

Kawasan Konservasi Perairan tak seharusnya menjadi "Momok" bagi Nelayan

Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat berbeda dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Pengertian Kawasan Konseravsi Perairan (KKP) menurut UU 31/2004 tentang Perikanan dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Secara detil bagaimana pemerintah daerah melakukan pencadangan kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.
Dengan pengaturan zona sebagaimana dikemukakan, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), yang dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum dilakukan. Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pengelolaan kawasan konservasi ini dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.
Jadi pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ‘pusat’ saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Pada tingkat pemerintah, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan Pemerintah Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.
Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan KKLD, Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Kedepan, antar satu KKLD dengan KKLD lainnya akan saling terhubung membentuk sebuah jejaring yang kuat/tangguh (resilient) baik dari sisi ekologis maupun manajemennya, sehingga fungsi kawasan betul-betul dapat mendukung perikanan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat
Sebaiknya pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternative masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga (SJI)

Kawasan Konservasi Perairan TAK SEHARUSNYA MENJADI "MOMOK" bagi nelayan

Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat berbeda dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan.  Pengertian Kawasan Konseravsi Perairan (KKP) menurut UU 31/2004 tentang Perikanan dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.  Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998.  Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.  Secara detil bagaimana pemerintah daerah melakukan pencadangan kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.

Dengan pengaturan zona sebagaimana dikemukakan, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), yang dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum dilakukan. Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pengelolaan kawasan konservasi ini dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.

Jadi pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ‘pusat’ saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Pada tingkat pemerintah, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu  Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan Pemerintah Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.

Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan KKLD, Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Kedepan, antar satu KKLD dengan KKLD lainnya akan saling terhubung membentuk sebuah jejaring yang kuat/tangguh (resilient) baik dari sisi ekologis maupun manajemennya, sehingga fungsi kawasan betul-betul dapat mendukung perikanan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat

Sebaiknya pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternative masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga (SJI)

Kawasan Konservasi Perairan TAK SEHARUSNYA MENJADI "MOMOK" bagi nelayan

Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat berbeda dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan.  Pengertian Kawasan Konseravsi Perairan (KKP) menurut UU 31/2004 tentang Perikanan dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.  Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998.  Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.  Secara detil bagaimana pemerintah daerah melakukan pencadangan kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.

Dengan pengaturan zona sebagaimana dikemukakan, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), yang dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum dilakukan. Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pengelolaan kawasan konservasi ini dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.

Jadi pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ‘pusat’ saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Pada tingkat pemerintah, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu  Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan Pemerintah Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.

Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan KKLD, Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Kedepan, antar satu KKLD dengan KKLD lainnya akan saling terhubung membentuk sebuah jejaring yang kuat/tangguh (resilient) baik dari sisi ekologis maupun manajemennya, sehingga fungsi kawasan betul-betul dapat mendukung perikanan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat

Sebaiknya pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternative masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga (SJI)

Sabtu, 26 September 2009

The Terrorist Finally Permitted to be Buried in Kudus

KUDUS, KOMPAS.com - The Mijen village administration, Kaliwungu, Kudus, Central Java, eventually allowed the burial of slain terror suspect Bagus Budi Pranoto in the village but on certain conditions.
    
"Bagus’s body is allowed to be buried in the village on condition that his family meet our demands," the head of the village, Sujatno, said after mediating a meeting between Bagus’ family and those opposing Bagus’ burial in the village.
    
Bagus alias Urwah who was killed in Solo along with Malaysian terror mastermind Noordin M Top in a recent police raid hailed from Mijen.
    
The meeting was attended by Kaliwungu sub-district police chief Tugiyanto, Kaliwungu sub-district military chief Harjono, Kaliwungu sub-district head Eko Dwi Djatmiko and several community figures.
    
The demand includes the family’s guarantee for security during  burial. In addition, the family must also prohibit the arrival of people from Solo to Mijen and the raising of banners glorifying jihad.
    
"We wish the burial is done in low profile. If the family could not meet these demands, please bury him elsewhere," Sujatno said.
    
The chairman of the village administration council, Sukis Jiwantoro, had earlier insisted his opposition to Bagus’ burial in the village. The chairman of the Karangtaruna village youth organization, Mbarsidi, also said that Karangtaruna would remain consistently reject Bagus’ burial in the village.
    
Karangtaruna’s deputy head, Taufiq, however once denied the Karangtaruna’s stance, saying that he had never been involved in deciding it. "I considered it the individual decision of the Karangtaruna chief," he said. After the meeting all parties however finally agreed to allow Bagus’ burial in the village on those conditions.
    
Bagus’ family representative, Hasyim, had appealed to those opposing Bagus’ burial in the village to allow the burial there. "The family offers an apology for all that Bagus had done," he said.

sumber: http://english.kompas.com/read/xml/2009/09/25/2303469/The.Terrorist.Finally.Permitted.to.be.Buried.in.Kudus

The Terrorist Finally Permitted to be Buried in Kudus

KUDUS, KOMPAS.com - The Mijen village administration, Kaliwungu, Kudus, Central Java, eventually allowed the burial of slain terror suspect Bagus Budi Pranoto in the village but on certain conditions.
    
"Bagus’s body is allowed to be buried in the village on condition that his family meet our demands," the head of the village, Sujatno, said after mediating a meeting between Bagus’ family and those opposing Bagus’ burial in the village.
    
Bagus alias Urwah who was killed in Solo along with Malaysian terror mastermind Noordin M Top in a recent police raid hailed from Mijen.
    
The meeting was attended by Kaliwungu sub-district police chief Tugiyanto, Kaliwungu sub-district military chief Harjono, Kaliwungu sub-district head Eko Dwi Djatmiko and several community figures.
    
The demand includes the family’s guarantee for security during  burial. In addition, the family must also prohibit the arrival of people from Solo to Mijen and the raising of banners glorifying jihad.
    
"We wish the burial is done in low profile. If the family could not meet these demands, please bury him elsewhere," Sujatno said.
    
The chairman of the village administration council, Sukis Jiwantoro, had earlier insisted his opposition to Bagus’ burial in the village. The chairman of the Karangtaruna village youth organization, Mbarsidi, also said that Karangtaruna would remain consistently reject Bagus’ burial in the village.
    
Karangtaruna’s deputy head, Taufiq, however once denied the Karangtaruna’s stance, saying that he had never been involved in deciding it. "I considered it the individual decision of the Karangtaruna chief," he said. After the meeting all parties however finally agreed to allow Bagus’ burial in the village on those conditions.
    
Bagus’ family representative, Hasyim, had appealed to those opposing Bagus’ burial in the village to allow the burial there. "The family offers an apology for all that Bagus had done," he said.

sumber: http://english.kompas.com/read/xml/2009/09/25/2303469/The.Terrorist.Finally.Permitted.to.be.Buried.in.Kudus

Jumat, 11 September 2009

The Coral Reef Management Symposium On Coral Triangle Area

The Coral Reef Management Symposium On Coral Triangle Area

JAKARTA, INDONESIA, 12-13 October 2009.


ABOUT THE SYMPOSIUM


This Symposium will bring together scientist, managers, policy makers, NGOs and private sectors in finding better solutions for coral reef management especially in coral triangle area as centre of marine biodiversity in the world, sharing information on contemporary science and strategies on coral reef management (lesson learned from coral triangle countries), strengthening capacity building and networks for scientists, managers, governments, and all relevant stakeholders on coral reef management.

Coral Triangle Initiative or CTI is a very important program on building regional network to conserve the coral reef ecosystem. A new Coral Triangle Initiative (CTI), centered around high-level political commitments and proactive implementation by governments of the Coral Triangle area, and supported and carried forward by private sector, international agency and civil society (NGO) partners, could provide a major contribution toward safeguarding the region’s marine and coastal biological resources for the sustainable growth and prosperity of current and future generations.


WHO SHOULD ATTEND


Since this is an excellent forum for sharing ideas and information on various topics related to coral reef management on Coral Triangle Area, broad backgrounds of speakers and audiences are expected and welcomed to participate. During this symposium, we can also formulate the potential contribution of scientists, managers, and decision makers to assure implementation of CTI and MOD (Manado Ocean Declaration).


KEYNOTE SPEAKER:

  • Ministry of Marine Affairs and Fisheries.
  • Other Prominent Speaker.


INVITED SPEAKER:


Several international and national scientists on coral reef managements are invited to give presentations in this symposium.


SYMPOSIUM TOPICS

  • Coral Reef Management
  • Lesson Learned from Contempory Approaches
  • Assessment and Monitoring of Coral Reef around CT Region
  • Coral Reef Vulnerability to Climate Change: What Can We do?
  • Effective Networking of MPA: Lesson Learned across CT countries
  • Coral Reef Recovery, Resilience, and Restoration


REGISTRATION INFORMATION


We would like to invite interested scientists, government officials, managers, students, or public to submit their abstracts for oral presentations. We only have limited slot for oral presentations, so please register as soon as possible if you have not done so. All abstract for oral presentations along with completed application form have to be submitted electronically to iswari2301@gmail.com no later than October 3rd , 2009. We will confirm your acceptance for presentation soon after your submission with a letter of invitation from the Director of COREMAP II.

The accepted presenters and participants will get benefits: free registration, meals during the symposium, seminar kits, and certificate. For presenters, they will also get proceeding for free.

Both presenters and participants need to complete application form and send it by email or fax on the addresses provided before 3rd of October, 2009.


CALL FOR ABSTRACTS AND FULL PAPER


The abstract should be in English Title should be Bold, Centered, and start all major words with Capital letters

List of authors should be Centered, names of multiple authors with a common affiliation are separated by commas, with “and” used before the last author

Font type: Times New Roman (12pt)

Single space paragraph, double spacing between paragraph, text fully justified.

Maximum number of words 250

Full paper should be submitted no later than October 31, 2009. Accepted abstract and full paper will be published in Proceeding of Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle Area.


VENUE

October 12-13, 2009

Bidakara Hotel,

Jl Jenderal Gatot Subroto, Kav. 71-73, Pancoran, Jakarta Selatan 12870

Phone: +62 21- 83793555


SIDE EVENTS


Prior to the symposium, participants are also welcomed to attend a series of national series of national events arranged by Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II):

  • Coral Reef Science Competition (Cerdas Cermat) - October 11, 2009
  • Coral Ambassador ( Duta Karang) - October 9 - 11, 2009
  • Exhibition - October 10-11, 2009
  • Singing Competition - October 10-11, 2009
  • Media Gathering - October 11, 2009
  • Appreciation of Coremap II - October 10-11, 2009


For Futher Information:

COREMAP II

Secretariat: Jl. Tebet Timur Dalam II No. 45

Jakarta Selatan 12820 - Indonesia

Contact Person: Iswari, Eva Tri Lestari

Phone: +62 21- 8378931, 83783958, 8293249

Fax: +62 21 - 8305120

Email: iswari2301@gmail.com

Website: www.coremap.or.id, www.coremap2.com

The Coral Reef Management Symposium On Coral Triangle Area

The Coral Reef Management Symposium On Coral Triangle Area

JAKARTA, INDONESIA, 12-13 October 2009.


ABOUT THE SYMPOSIUM


This Symposium will bring together scientist, managers, policy makers, NGOs and private sectors in finding better solutions for coral reef management especially in coral triangle area as centre of marine biodiversity in the world, sharing information on contemporary science and strategies on coral reef management (lesson learned from coral triangle countries), strengthening capacity building and networks for scientists, managers, governments, and all relevant stakeholders on coral reef management.

Coral Triangle Initiative or CTI is a very important program on building regional network to conserve the coral reef ecosystem. A new Coral Triangle Initiative (CTI), centered around high-level political commitments and proactive implementation by governments of the Coral Triangle area, and supported and carried forward by private sector, international agency and civil society (NGO) partners, could provide a major contribution toward safeguarding the region’s marine and coastal biological resources for the sustainable growth and prosperity of current and future generations.


WHO SHOULD ATTEND


Since this is an excellent forum for sharing ideas and information on various topics related to coral reef management on Coral Triangle Area, broad backgrounds of speakers and audiences are expected and welcomed to participate. During this symposium, we can also formulate the potential contribution of scientists, managers, and decision makers to assure implementation of CTI and MOD (Manado Ocean Declaration).


KEYNOTE SPEAKER:

  • Ministry of Marine Affairs and Fisheries.
  • Other Prominent Speaker.


INVITED SPEAKER:


Several international and national scientists on coral reef managements are invited to give presentations in this symposium.


SYMPOSIUM TOPICS

  • Coral Reef Management
  • Lesson Learned from Contempory Approaches
  • Assessment and Monitoring of Coral Reef around CT Region
  • Coral Reef Vulnerability to Climate Change: What Can We do?
  • Effective Networking of MPA: Lesson Learned across CT countries
  • Coral Reef Recovery, Resilience, and Restoration


REGISTRATION INFORMATION


We would like to invite interested scientists, government officials, managers, students, or public to submit their abstracts for oral presentations. We only have limited slot for oral presentations, so please register as soon as possible if you have not done so. All abstract for oral presentations along with completed application form have to be submitted electronically to iswari2301@gmail.com no later than October 3rd , 2009. We will confirm your acceptance for presentation soon after your submission with a letter of invitation from the Director of COREMAP II.

The accepted presenters and participants will get benefits: free registration, meals during the symposium, seminar kits, and certificate. For presenters, they will also get proceeding for free.

Both presenters and participants need to complete application form and send it by email or fax on the addresses provided before 3rd of October, 2009.


CALL FOR ABSTRACTS AND FULL PAPER


The abstract should be in English Title should be Bold, Centered, and start all major words with Capital letters

List of authors should be Centered, names of multiple authors with a common affiliation are separated by commas, with “and” used before the last author

Font type: Times New Roman (12pt)

Single space paragraph, double spacing between paragraph, text fully justified.

Maximum number of words 250

Full paper should be submitted no later than October 31, 2009. Accepted abstract and full paper will be published in Proceeding of Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle Area.


VENUE

October 12-13, 2009

Bidakara Hotel,

Jl Jenderal Gatot Subroto, Kav. 71-73, Pancoran, Jakarta Selatan 12870

Phone: +62 21- 83793555


SIDE EVENTS


Prior to the symposium, participants are also welcomed to attend a series of national series of national events arranged by Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP II):

  • Coral Reef Science Competition (Cerdas Cermat) - October 11, 2009
  • Coral Ambassador ( Duta Karang) - October 9 - 11, 2009
  • Exhibition - October 10-11, 2009
  • Singing Competition - October 10-11, 2009
  • Media Gathering - October 11, 2009
  • Appreciation of Coremap II - October 10-11, 2009


For Futher Information:

COREMAP II

Secretariat: Jl. Tebet Timur Dalam II No. 45

Jakarta Selatan 12820 - Indonesia

Contact Person: Iswari, Eva Tri Lestari

Phone: +62 21- 8378931, 83783958, 8293249

Fax: +62 21 - 8305120

Email: iswari2301@gmail.com

Website: www.coremap.or.id, www.coremap2.com

Rabu, 09 September 2009

DKP tetapkan 8 (delapan) Kawasan Konservasi Perairan

Delapan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) resmi ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 3 September 2009. Delapan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan tersebut, merupakan kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA. 01/Menhut-IV/2009 – BA. 108/MEN.KP/III/2009, tanggal 4 Maret 2009.



Kawasan-kawasan konseravsi perairan tersebut adalah:

1. Suaka Alam Perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 114.000 (seratus empat belas ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku

2. Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

3. Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo dalam hal ini Kepulauan Panjang dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 (dua ratus tujuh puluh satu ribu enam ratus tiga puluh) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

4. Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 50.000 (lima puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan

5. Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan dan Sekitarnya seluas lebih kurang 2.954 (dua ribu sembilan ratus lima puluh empat) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

6. Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Beserta Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua

7. Taman Wisata Perairan Laut Banda seluas lebih kurang 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 69/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Provinsi Maluku

8. Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 39.900 (tiga puluh Sembilan ribu Sembilan ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat



Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan 8 (delapan) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2) menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan tersebut. Dalam teknis pengelolaan di kawasan, saat ini Direktorat Jenderal KP3K telah mempunyai 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dipersiapkan untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) yang berkedudukan di Pekan Baru.

Lebih lanjut, upaya yang akan dilakukan antara lain adalah penataan batas kawasan, Kawasan yang selama ini pengelolaannya berdasarkan blok-blok, perlu dibuat zonasi yang disertai dengan rencana pengelolaan detail kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan harus senantiasa mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi kawasan, misalnya melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Kegiatan sosialisasi pengelolaan kawasan perlu terus dilakukan guna mendorong partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam konteks pengelolaan terpadu. Selain itu dukungan sarana dan prasarana pengawasan, rehabilitasi kawasan konservasi, monitoring dan evaluasi kawasan konservasi, maupun Penyediaan SDM dengan kapasitas dan kapabilitas baik, sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan kawasan. Yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan kebijakan, sistem perencanaan dan pengembangan yang sinergis yang melibatkan multi pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga memberikan dampak bagi keberlanjutan sumberdaya ikan.

Penetapan 8 (delapan) KKPN itu menambah jumlah kawasan konservasi perairan nasional yang dikelola DKP, setelah pencadangan sebuah Taman Nasional Perairan (TNP) laut sawu seluas 3,5 juta hektar - dicadangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 8 Mei 2009. TNP laut Sawu dan sekitarnya diumumkan pada saat WOC dan CTI Summit di Manado bulan Mei lalu. Selain itu, sebanyak 35 (tiga puluh lima) kawasan konservasi laut daerah (KKLD) telah dicadangkan melaui SK bupati/walikota, termasuk diantaranya 12 lokasi yang ada di wilayah Program COREMAP II, seperti: Batam, Bintan, Lingga, Natuna, Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, Buton, Raja Ampat, Selayar, Pangkep, dan Biak Numfor. Jika dihitung-hitung, total luasan KKLD secara keseluruhan mencapai 4,6 juta hektar. Data dari direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut + 5,4 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Semoga (SJI)

Sabtu, 05 September 2009

DKP tetapkan 8 (delapan) Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Delapan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) resmi ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 3 September 2009. Delapan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan tersebut,  merupakan kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA. 01/Menhut-IV/2009 – BA. 108/MEN.KP/III/2009, tanggal 4 Maret 2009.

 

Kawasan-kawasan konseravsi perairan tersebut adalah:

1.       Suaka Alam Perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 114.000 (seratus empat belas ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku

2.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

3.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo dalam hal ini Kepulauan Panjang dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 (dua ratus tujuh puluh satu ribu enam ratus tiga puluh) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

4.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 50.000 (lima puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan

5.       Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan dan Sekitarnya seluas lebih kurang 2.954 (dua ribu sembilan ratus lima puluh empat) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

6.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Beserta Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua

7.       Taman Wisata Perairan Laut Banda seluas lebih kurang 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 69/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Provinsi Maluku

8.       Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 39.900 (tiga puluh Sembilan ribu Sembilan ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat

 

Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan 8 (delapan) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2) menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan tersebut. Dalam teknis pengelolaan di kawasan, saat ini Direktorat Jenderal KP3K telah mempunyai 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dipersiapkan untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) yang berkedudukan di Pekan Baru.

                Lebih lanjut, upaya yang akan dilakukan antara lain adalah penataan batas kawasan, Kawasan yang selama ini pengelolaannya berdasarkan blok-blok, perlu dibuat zonasi yang disertai dengan rencana pengelolaan detail kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan harus senantiasa mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi kawasan, misalnya melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Kegiatan sosialisasi pengelolaan kawasan perlu terus dilakukan guna mendorong partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam konteks pengelolaan terpadu. Selain itu dukungan sarana dan prasarana pengawasan, rehabilitasi kawasan konservasi, monitoring dan evaluasi kawasan konservasi, maupun Penyediaan SDM dengan kapasitas dan kapabilitas baik, sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan kawasan. Yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan kebijakan, sistem perencanaan dan pengembangan yang sinergis yang melibatkan multi pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga memberikan dampak bagi keberlanjutan sumberdaya ikan.

Penetapan 8 (delapan) KKPN itu menambah jumlah kawasan konservasi perairan nasional yang dikelola DKP, setelah pencadangan sebuah Taman Nasional Perairan (TNP) laut sawu seluas 3,5  juta hektar - dicadangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 8 Mei 2009. TNP laut Sawu dan sekitarnya diumumkan pada saat WOC dan CTI Summit di Manado bulan Mei lalu. Selain itu, sebanyak 35 (tiga puluh lima) kawasan konservasi laut daerah (KKLD) telah dicadangkan melaui SK bupati/walikota, termasuk diantaranya  12 lokasi yang ada di wilayah Program COREMAP II, seperti: Batam, Bintan, Lingga, Natuna, Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, Buton, Raja Ampat, Selayar, Pangkep, dan Biak Numfor. Jika dihitung-hitung, total luasan KKLD secara keseluruhan mencapai 4,6 juta hektar. Data dari direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut + 5,4 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Semoga (SJI)

 

 

DKP tetapkan 8 (delapan) Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Delapan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) resmi ditetapkan oleh menteri kelautan dan perikanan pada tanggal 3 September 2009. Delapan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan tersebut,  merupakan kawasan suaka alam dan/atau kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah diserahterimakan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan Nomor: BA. 01/Menhut-IV/2009 – BA. 108/MEN.KP/III/2009, tanggal 4 Maret 2009.

 

Kawasan-kawasan konseravsi perairan tersebut adalah:

1.       Suaka Alam Perairan Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 114.000 (seratus empat belas ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 63/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Aru Bagian Tenggara dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Maluku

2.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 60.000 (enam puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 64/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

3.       Suaka Alam Perairan di Kawasan Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo dalam hal ini Kepulauan Panjang dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 (dua ratus tujuh puluh satu ribu enam ratus tiga puluh) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo Sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat

4.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 50.000 (lima puluh ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sulawesi Selatan

5.       Taman Wisata Perairan Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan dan Sekitarnya seluas lebih kurang 2.954 (dua ribu sembilan ratus lima puluh empat) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 67/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

6.       Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido Beserta Laut di Sekitarnya seluas lebih kurang 183.000 (seratus delapan puluh tiga ribu) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 68/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua

7.       Taman Wisata Perairan Laut Banda seluas lebih kurang 2.500 (dua ribu lima ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 69/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Banda di Provinsi Maluku

8.       Taman Wisata Perairan Pulau Pieh dan Laut Sekitarnya seluas lebih kurang 39.900 (tiga puluh Sembilan ribu Sembilan ratus) hektar, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 70/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Pulau Pieh dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Sumatera Barat

 

Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan 8 (delapan) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2) menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan tersebut. Dalam teknis pengelolaan di kawasan, saat ini Direktorat Jenderal KP3K telah mempunyai 2 (dua) Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dipersiapkan untuk mengelola kawasan konservasi perairan nasional, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) yang berkedudukan di Pekan Baru.

                Lebih lanjut, upaya yang akan dilakukan antara lain adalah penataan batas kawasan, Kawasan yang selama ini pengelolaannya berdasarkan blok-blok, perlu dibuat zonasi yang disertai dengan rencana pengelolaan detail kawasan konservasi. Pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan harus senantiasa mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi kawasan, misalnya melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Kegiatan sosialisasi pengelolaan kawasan perlu terus dilakukan guna mendorong partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam konteks pengelolaan terpadu. Selain itu dukungan sarana dan prasarana pengawasan, rehabilitasi kawasan konservasi, monitoring dan evaluasi kawasan konservasi, maupun Penyediaan SDM dengan kapasitas dan kapabilitas baik, sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan kawasan. Yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan kebijakan, sistem perencanaan dan pengembangan yang sinergis yang melibatkan multi pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga memberikan dampak bagi keberlanjutan sumberdaya ikan.

Penetapan 8 (delapan) KKPN itu menambah jumlah kawasan konservasi perairan nasional yang dikelola DKP, setelah pencadangan sebuah Taman Nasional Perairan (TNP) laut sawu seluas 3,5  juta hektar - dicadangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 8 Mei 2009. TNP laut Sawu dan sekitarnya diumumkan pada saat WOC dan CTI Summit di Manado bulan Mei lalu. Selain itu, sebanyak 35 (tiga puluh lima) kawasan konservasi laut daerah (KKLD) telah dicadangkan melaui SK bupati/walikota, termasuk diantaranya  12 lokasi yang ada di wilayah Program COREMAP II, seperti: Batam, Bintan, Lingga, Natuna, Mentawai, Nias, Tapanuli Tengah, Buton, Raja Ampat, Selayar, Pangkep, dan Biak Numfor. Jika dihitung-hitung, total luasan KKLD secara keseluruhan mencapai 4,6 juta hektar. Data dari direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta hektar kawasan konservasi laut di Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen pemerintah indonesia yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu 10 juta hektar kawasan konservasi pada tahun 2010. Dari jumlah luasan tersebut DKP menginisiasi dan memfasilitasi + 8,1 juta hektar, sedangkan inisiasi Dephut + 5,4 juta hektar. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan merupakan target utama, Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Semoga (SJI)