Sabtu, 29 Agustus 2009

Rabu, 26 Agustus 2009

Issu Penjualan Pulau di Mentawai

Di Mentawai, Bangun Resor Dulu Baru Minta Izin

KOMPAS.com/Caroline Damanik

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi memberikan keterangan pers mengenai penawaran terbuka tiga pulau di Mentawai melalui situs, Rabu (26/8).

/

Rabu, 26 Agustus 2009 | 16:17 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Selama ini terjadi kekeliruan mekanisme perizinan dalam pembangunan resor di Kepulauan Mentawai. "Biasanya pengusaha itu bangun dulu resor di mana, baru dia minta izin ke Pemda," tutur Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam keterangan pers di Departemen Kelautan dan Perikanan, Rabu (26/8).

Ia menyampaikan keterangan pers kepada wartawan untuk meluruskan kabar yang menyebutkan tiga pulau di Kepulauan Mentawai dijajakan melalui situs privateislandsonline.com. Freddy menelepon langsung Bupati Mentawai Edison Saleleubaja untuk mengonfirmasi berita tersebut.

 
Menurut Bupati, seperti dikatakan Freddy, dari ketiga pulau yang diributkan itu, baru satu yang memperoleh izin hak guna usaha, sedangkan dua lagi masih dalam proses meskipun sejumlah resor sudah dibangun di atasnya.

"Bupati bilang dia enggak tahu karena pengusaha-pengusaha itu masuk people to people. Mereka menemui kepala adat dan di sana terjadi proses pelepasan tanah adat. Di Indonesia kan kita menghormati itu," lanjutnya.

Sayangnya, mekanismenya keliru. Seharusnya, para investor melaporkan terlebih dahulu sebelum membangun. Pemda juga tak tahu-menahu soal pembangunan resor di pulau-pulau yang memang jarang dihuni.

"Mereka baru tahu ada resor ketika resor sudah dibangun. Harus bisa diluruskan oleh pemda. Bupati hanya diberi izin hak guna usaha, tapi tidak seluruh pulau hanya beberapa hektar," ujar Freddy.

Tiga pulau dimaksud adalah Pulau Siloinak, Pulau Kandui, dan Pulau Karambejat. Pulau Siloinak, menurut laporan pemda, sedang diproses. Freddy berharap pemda segera meluruskan kabar ini ke media massa agar tidak terjadi kesalahan persepsi.

 

Tiga Pulau di Mentawai Dijual ke Orang Asing?

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Penawaran penjualan terbuka tiga pulau di Mentawai melalui situs privateislandsonline.com membuat semua pihak terkejut, termasuk pemerintah pusat. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengaku segera meminta konfirmasi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Mentawai menyusul kabar tersebut.

Freddy mengungkapkan, Bupati Mentawai mengatakan tidak benar bahwa ketiga pulau tersebut, yaitu Kandui, Silabu, dan Siloinak, telah dimiliki oleh asing dan akan dijual. Bupati Mentawai, seperti dikutip Freddy, menegaskan bahwa istilah 'jual' dipergunakan untuk promosi resor yang telah dibangun di ketiga pulau tersebut.

"Saya telepon Bupati, dia jelaskan mereka (pengusaha) melakukan penawaran dengan kata 'jual'. Tapi tidak semua dikuasai mereka hanya separuh saja yang dijual ada yang disewa. Nah, di atasnya didirikan resor," ujar Freddy dalam keterangan pers di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Rabu (26/8).

Sayangnya, kekeliruan mekanisme perolehan izin terjadi antara pengusaha asing dan pemerintah daerah. Menurut keterangan Bupati, kebiasaan selama ini pengusaha membangun dulu resor di atasnya baru mengurus izinnya. "Terbalik jadinya. Di mana-mana kita kan harus bikin izin dulu," tegasnya.

Bupati Mentawai mengaku tak tahu-menahu pada awalnya mengenai pembangunan resor di beberapa pulau tersebut. "Tidak ada pemberitahuan ke pemda bahwa mau dikembangkan seperti itu. Di situ memang tidak berpenghuni. Orang singgah dan kemudian pergi. Baru tahu ada resor ketika resor sudah dibangun. Ini harus bisa diluruskan oleh pemda," tandas Freddy

 

sumber:

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/26/16173036/di.mentawai.bangun.resor.dulu.baru.minta.izin

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/26/1517539/tiga.pulau.di.mentawai.dijual.ke.orang.asing

Issu Penjualan Pulau di Mentawai

Di Mentawai, Bangun Resor Dulu Baru Minta Izin

KOMPAS.com/Caroline Damanik

Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi memberikan keterangan pers mengenai penawaran terbuka tiga pulau di Mentawai melalui situs, Rabu (26/8).

/

Rabu, 26 Agustus 2009 | 16:17 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Selama ini terjadi kekeliruan mekanisme perizinan dalam pembangunan resor di Kepulauan Mentawai. "Biasanya pengusaha itu bangun dulu resor di mana, baru dia minta izin ke Pemda," tutur Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam keterangan pers di Departemen Kelautan dan Perikanan, Rabu (26/8).

Ia menyampaikan keterangan pers kepada wartawan untuk meluruskan kabar yang menyebutkan tiga pulau di Kepulauan Mentawai dijajakan melalui situs privateislandsonline.com. Freddy menelepon langsung Bupati Mentawai Edison Saleleubaja untuk mengonfirmasi berita tersebut.

 
Menurut Bupati, seperti dikatakan Freddy, dari ketiga pulau yang diributkan itu, baru satu yang memperoleh izin hak guna usaha, sedangkan dua lagi masih dalam proses meskipun sejumlah resor sudah dibangun di atasnya.

"Bupati bilang dia enggak tahu karena pengusaha-pengusaha itu masuk people to people. Mereka menemui kepala adat dan di sana terjadi proses pelepasan tanah adat. Di Indonesia kan kita menghormati itu," lanjutnya.

Sayangnya, mekanismenya keliru. Seharusnya, para investor melaporkan terlebih dahulu sebelum membangun. Pemda juga tak tahu-menahu soal pembangunan resor di pulau-pulau yang memang jarang dihuni.

"Mereka baru tahu ada resor ketika resor sudah dibangun. Harus bisa diluruskan oleh pemda. Bupati hanya diberi izin hak guna usaha, tapi tidak seluruh pulau hanya beberapa hektar," ujar Freddy.

Tiga pulau dimaksud adalah Pulau Siloinak, Pulau Kandui, dan Pulau Karambejat. Pulau Siloinak, menurut laporan pemda, sedang diproses. Freddy berharap pemda segera meluruskan kabar ini ke media massa agar tidak terjadi kesalahan persepsi.

 

Tiga Pulau di Mentawai Dijual ke Orang Asing?

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

JAKARTA, KOMPAS.com — Penawaran penjualan terbuka tiga pulau di Mentawai melalui situs privateislandsonline.com membuat semua pihak terkejut, termasuk pemerintah pusat. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi mengaku segera meminta konfirmasi dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Mentawai menyusul kabar tersebut.

Freddy mengungkapkan, Bupati Mentawai mengatakan tidak benar bahwa ketiga pulau tersebut, yaitu Kandui, Silabu, dan Siloinak, telah dimiliki oleh asing dan akan dijual. Bupati Mentawai, seperti dikutip Freddy, menegaskan bahwa istilah 'jual' dipergunakan untuk promosi resor yang telah dibangun di ketiga pulau tersebut.

"Saya telepon Bupati, dia jelaskan mereka (pengusaha) melakukan penawaran dengan kata 'jual'. Tapi tidak semua dikuasai mereka hanya separuh saja yang dijual ada yang disewa. Nah, di atasnya didirikan resor," ujar Freddy dalam keterangan pers di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Rabu (26/8).

Sayangnya, kekeliruan mekanisme perolehan izin terjadi antara pengusaha asing dan pemerintah daerah. Menurut keterangan Bupati, kebiasaan selama ini pengusaha membangun dulu resor di atasnya baru mengurus izinnya. "Terbalik jadinya. Di mana-mana kita kan harus bikin izin dulu," tegasnya.

Bupati Mentawai mengaku tak tahu-menahu pada awalnya mengenai pembangunan resor di beberapa pulau tersebut. "Tidak ada pemberitahuan ke pemda bahwa mau dikembangkan seperti itu. Di situ memang tidak berpenghuni. Orang singgah dan kemudian pergi. Baru tahu ada resor ketika resor sudah dibangun. Ini harus bisa diluruskan oleh pemda," tandas Freddy

 

sumber:

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/26/16173036/di.mentawai.bangun.resor.dulu.baru.minta.izin

http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/08/26/1517539/tiga.pulau.di.mentawai.dijual.ke.orang.asing

CTI - Regional Plan of Action

source: uscti.org

http://www.uscti.org/uscti/Resources/CTI%20Regional%20Plan%20of%20Action_June%2023%202009.pdf

CTI - Regional Plan of Action

source: uscti.org

http://www.uscti.org/uscti/Resources/CTI%20Regional%20Plan%20of%20Action_June%2023%202009.pdf

Senin, 24 Agustus 2009

PENGHARGAAN DUNIA BUAT PELINDUNG KARANG

 
PENGHARGAAN DUNIA BUAT PELINDUNG KARANG


Berliner Gessellschaft fϋr Groβaquarien (BGG) atau Asosiasi Aquarium Besar Berlin, menganugerahkan penghargaan BSFA atau Blue Starfish Award (Piala Bintang Laut Biru) kepada Agus Dermawan dan Eny Budi Sri Haryani Siswosusanto. Penghargaan ini adalah yang pertama kali diberikan, dan akan disampaikan setiap dua tahun, oleh BGG bekerjasama dengan Turtle Foundation Jerman dan ZGAP (Zoologische Gessellschaft fur Arten un Populationschutz). Agus dan Eny dianggap telah berperan penting dalam upaya perlindungan terumbu karang (coral reef) dan habitat laut (marine habitat).. Penghargaan disampaikan di Aqua Dom Berlin, Jerman minggu lalu.

Agus Dermawan saat ini menjabat sebagai Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan. Adapun Eny Budi adalah Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi dan Pemanfaatan Pesisir dan Lautan, DKP. Selama di Jerman para penerima anugerah berkesempatan melakukan diskusi dengan para pemerhati lingkungan, serta difasilitasi mengunjungi Museum Oseanografi Monaco yang berhasil melakukan penyelamatan 30 spesies ikan hias laut dalam penangkaran ex-situ, diantaranya adalah Banggai Cardinal Fish (Pteraodon kaudernii), yakni jenis ikan endemik Indonesia yang tahun lalu mendapat perhatian CITES.

Uwe Abraham, CEO BGG, ketika menyampaikan perhargaan menyatakan bahwa keduanya telah menunjukkan dedikasi dan keberhasilan yang luar biasa dalam pelestarian terumbu karang serta habitat laut di Indonesia. Selama mengabdi, Agus sekitar 25 tahun dan Eny selama 18 tahun, telah aktif turut serta menghasilkan berbagai perangkat hukum, peraturan, kebijakan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik tingkat nasional maupun internasional. Nilai plus lainnya, yang bersangkutan selama ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan beberapa asosiasi dan pemerhati lingkungan di Jerman.

Duta Besar Republik Indonesia di Berlin, Eddy Pratomo, menyatakan, pemberian penghargaan ini merupakan salah satu refleksi dari apresiasi masyarakat internasional terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia dalam melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati kelautan.

Pada tahun 2009, Indonesia telah menetapkan 13,5 juta hektar Kawasan Konservasi Laut, atau 35% lebih luas dari yang ditargetkan oleh Pemerintah, yakni 10 juta hektar. Pada tahun 2020, marine protected areas ini diharapkan dapat mencapai 20 juta hektar. Upaya penetapannya tentu tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan nelayan lokal, sehingga tidak terusik kesejahteraannya. Bahkan dalam jangka panjang berarti melindungi kelestarian sumberdaya untuk matapencahariannya.

Sebagaimana diketahui, tahun ini juga Indonesia telah memimpin penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) pada tanggal 11-14 Mei 2009 lalu di Manado, yang berhasil menyepakati Manado Ocean Declaration (MOD). Deklarasi tersebut menggalang negara-negara di dunia untuk berupaya memasukkan isu kelautan menjadi bagian dalam penanganan dampak negatif perubahan iklim dan memandatkan agar elemen- elemen MOD dapat diintegrasikan dalam proses perundingan UNFCCC menuju COP-15 di Kopenhagen.

Pada saat yang sama, yakni tanggal 15-16 Mei 2009 di Manado, diselenggarakan pula Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, yaitu pertemuan para Kepala Negara yang dalam wilayah Segi-Tiga Karang, terdiri dari Malaysia, Filipina, Solomon Islands, Papua Nugini, Timor Leste, dan Indonesia, menyepakati CTI Leaders Declaration dan Regional Plan of Action (RPOA) untuk pelestarian terumbu karang, yang sekaligus berdampak positif bagi sektor perikanan dan ketahanan pangan.

Dua kegiatan besar di atas tentu sangat besar artinya bagi pelestarian terumbu karang dan sumberdaya perairan lainnya, sebagaimana yang selama ini ditekuni dan diperjuangkan oleh Agus Dermawan dan Eny Budi. ***

 

Narasumber:

1. Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed (Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, HP. 08161933911)

2. Ir. Agus Darmawan, M.Si (Direktur Konservasi dan Taman Laut Nasional  , HP.08158700095)
 

PENGHARGAAN DUNIA BUAT PELINDUNG KARANG

 
PENGHARGAAN DUNIA BUAT PELINDUNG KARANG


Berliner Gessellschaft fϋr Groβaquarien (BGG) atau Asosiasi Aquarium Besar Berlin, menganugerahkan penghargaan BSFA atau Blue Starfish Award (Piala Bintang Laut Biru) kepada Agus Dermawan dan Eny Budi Sri Haryani Siswosusanto. Penghargaan ini adalah yang pertama kali diberikan, dan akan disampaikan setiap dua tahun, oleh BGG bekerjasama dengan Turtle Foundation Jerman dan ZGAP (Zoologische Gessellschaft fur Arten un Populationschutz). Agus dan Eny dianggap telah berperan penting dalam upaya perlindungan terumbu karang (coral reef) dan habitat laut (marine habitat).. Penghargaan disampaikan di Aqua Dom Berlin, Jerman minggu lalu.

Agus Dermawan saat ini menjabat sebagai Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan. Adapun Eny Budi adalah Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi dan Pemanfaatan Pesisir dan Lautan, DKP. Selama di Jerman para penerima anugerah berkesempatan melakukan diskusi dengan para pemerhati lingkungan, serta difasilitasi mengunjungi Museum Oseanografi Monaco yang berhasil melakukan penyelamatan 30 spesies ikan hias laut dalam penangkaran ex-situ, diantaranya adalah Banggai Cardinal Fish (Pteraodon kaudernii), yakni jenis ikan endemik Indonesia yang tahun lalu mendapat perhatian CITES.

Uwe Abraham, CEO BGG, ketika menyampaikan perhargaan menyatakan bahwa keduanya telah menunjukkan dedikasi dan keberhasilan yang luar biasa dalam pelestarian terumbu karang serta habitat laut di Indonesia. Selama mengabdi, Agus sekitar 25 tahun dan Eny selama 18 tahun, telah aktif turut serta menghasilkan berbagai perangkat hukum, peraturan, kebijakan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik tingkat nasional maupun internasional. Nilai plus lainnya, yang bersangkutan selama ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan beberapa asosiasi dan pemerhati lingkungan di Jerman.

Duta Besar Republik Indonesia di Berlin, Eddy Pratomo, menyatakan, pemberian penghargaan ini merupakan salah satu refleksi dari apresiasi masyarakat internasional terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia dalam melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati kelautan.

Pada tahun 2009, Indonesia telah menetapkan 13,5 juta hektar Kawasan Konservasi Laut, atau 35% lebih luas dari yang ditargetkan oleh Pemerintah, yakni 10 juta hektar. Pada tahun 2020, marine protected areas ini diharapkan dapat mencapai 20 juta hektar. Upaya penetapannya tentu tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan nelayan lokal, sehingga tidak terusik kesejahteraannya. Bahkan dalam jangka panjang berarti melindungi kelestarian sumberdaya untuk matapencahariannya.

Sebagaimana diketahui, tahun ini juga Indonesia telah memimpin penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) pada tanggal 11-14 Mei 2009 lalu di Manado, yang berhasil menyepakati Manado Ocean Declaration (MOD). Deklarasi tersebut menggalang negara-negara di dunia untuk berupaya memasukkan isu kelautan menjadi bagian dalam penanganan dampak negatif perubahan iklim dan memandatkan agar elemen- elemen MOD dapat diintegrasikan dalam proses perundingan UNFCCC menuju COP-15 di Kopenhagen.

Pada saat yang sama, yakni tanggal 15-16 Mei 2009 di Manado, diselenggarakan pula Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, yaitu pertemuan para Kepala Negara yang dalam wilayah Segi-Tiga Karang, terdiri dari Malaysia, Filipina, Solomon Islands, Papua Nugini, Timor Leste, dan Indonesia, menyepakati CTI Leaders Declaration dan Regional Plan of Action (RPOA) untuk pelestarian terumbu karang, yang sekaligus berdampak positif bagi sektor perikanan dan ketahanan pangan.

Dua kegiatan besar di atas tentu sangat besar artinya bagi pelestarian terumbu karang dan sumberdaya perairan lainnya, sebagaimana yang selama ini ditekuni dan diperjuangkan oleh Agus Dermawan dan Eny Budi. ***

 

Narasumber:

1. Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed (Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, HP. 08161933911)

2. Ir. Agus Darmawan, M.Si (Direktur Konservasi dan Taman Laut Nasional  , HP.08158700095)
 

Penghargaan Dunia Buat Pelindung Karang

PENGHARGAAN DUNIA BUAT PELINDUNG KARANG




Berliner Gessellschaft fϋr Groβaquarien (BGG) atau Asosiasi Aquarium Besar Berlin, menganugerahkan penghargaan BSFA atau Blue Starfish Award (Piala Bintang Laut Biru) kepada Agus Dermawan dan Eny Budi Sri Haryani Siswosusanto. Penghargaan ini adalah yang pertama kali diberikan, dan akan disampaikan setiap dua tahun, oleh BGG bekerjasama dengan Turtle Foundation Jerman dan ZGAP (Zoologische Gessellschaft fur Arten un Populationschutz). Agus dan Eny dianggap telah berperan penting dalam upaya perlindungan terumbu karang (coral reef) dan habitat laut (marine habitat).. Penghargaan disampaikan di Aqua Dom Berlin, Jerman minggu lalu.

Agus Dermawan saat ini menjabat sebagai Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan. Adapun Eny Budi adalah Kepala Sub Direktorat Rehabilitasi dan Pemanfaatan Pesisir dan Lautan, DKP. Selama di Jerman para penerima anugerah berkesempatan melakukan diskusi dengan para pemerhati lingkungan, serta difasilitasi mengunjungi Museum Oseanografi Monaco yang berhasil melakukan penyelamatan 30 spesies ikan hias laut dalam penangkaran ex-situ, diantaranya adalah Banggai Cardinal Fish (Pteraodon kaudernii), yakni jenis ikan endemik Indonesia yang tahun lalu mendapat perhatian CITES.

Uwe Abraham, CEO BGG, ketika menyampaikan perhargaan menyatakan bahwa keduanya telah menunjukkan dedikasi dan keberhasilan yang luar biasa dalam pelestarian terumbu karang serta habitat laut di Indonesia. Selama mengabdi, Agus sekitar 25 tahun dan Eny selama 18 tahun, telah aktif turut serta menghasilkan berbagai perangkat hukum, peraturan, kebijakan dan kerjasama dengan berbagai pihak, baik tingkat nasional maupun internasional. Nilai plus lainnya, yang bersangkutan selama ini memiliki hubungan yang sangat baik dengan beberapa asosiasi dan pemerhati lingkungan di Jerman.

Duta Besar Republik Indonesia di Berlin, Eddy Pratomo, menyatakan, pemberian penghargaan ini merupakan salah satu refleksi dari apresiasi masyarakat internasional terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia dalam melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati kelautan.

Pada tahun 2009, Indonesia telah menetapkan 13,5 juta hektar Kawasan Konservasi Laut, atau 35% lebih luas dari yang ditargetkan oleh Pemerintah, yakni 10 juta hektar. Pada tahun 2020, marine protected areas ini diharapkan dapat mencapai 20 juta hektar. Upaya penetapannya tentu tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan nelayan lokal, sehingga tidak terusik kesejahteraannya. Bahkan dalam jangka panjang berarti melindungi kelestarian sumberdaya untuk matapencahariannya.

Sebagaimana diketahui, tahun ini juga Indonesia telah memimpin penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) pada tanggal 11-14 Mei 2009 lalu di Manado, yang berhasil menyepakati Manado Ocean Declaration (MOD). Deklarasi tersebut menggalang negara-negara di dunia untuk berupaya memasukkan isu kelautan menjadi bagian dalam penanganan dampak negatif perubahan iklim dan memandatkan agar elemen- elemen MOD dapat diintegrasikan dalam proses perundingan UNFCCC menuju COP-15 di Kopenhagen.

Pada saat yang sama, yakni tanggal 15-16 Mei 2009 di Manado, diselenggarakan pula Coral Triangle Initiative (CTI) Summit, yaitu pertemuan para Kepala Negara yang dalam wilayah Segi-Tiga Karang, terdiri dari Malaysia, Filipina, Solomon Islands, Papua Nugini, Timor Leste, dan Indonesia, menyepakati CTI Leaders Declaration dan Regional Plan of Action (RPOA) untuk pelestarian terumbu karang, yang sekaligus berdampak positif bagi sektor perikanan dan ketahanan pangan.

Dua kegiatan besar di atas tentu sangat besar artinya bagi pelestarian terumbu karang dan sumberdaya perairan lainnya, sebagaimana yang selama ini ditekuni dan diperjuangkan oleh Agus Dermawan dan Eny Budi. ***



Narasumber:

1. Dr. Soen'an H. Poernomo, M.Ed (Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, HP. 08161933911)

2. Ir. Agus Darmawan, M.Si (Direktur Konservasi dan Taman Laut Nasional , HP.08158700095)

sumber: siaran pers DKP: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/news/1587/penghargaan-dunia-buat-pelindung-karang