Jumat, 04 Januari 2008

prinsip-prinsip penyelarasan urusan di bidang konservasi dan pesisir

Upaya penyelarasan wewenang urusan pemerintahan di bidang konservasi didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.

A. Undang-undang berlaku lintas sektor
Pada dasarnya setiap undang-undang tidak hanya berlaku untuk sektor tertentu saja melainkan harus ditaati pemberlakuannya oleh sektor-sektor lainnya. Walaupun demikian dalam hal-hal tertentu dapat saja timbul urusan-urusan yang bersinggungan, terutama pada tataran pelaksanaannya. Dalam hal demikian setiap sektor selayaknya mencari alternatif penyelesaian yang didasarkan pada kepentingan nasional atau kepentingan umum yang lebih luas melalui kesepakatan bersama. Kesepakatan yang telah dicapai selayaknya ditindaklanjuti dengan program-program implementasi yang disusun bersama pula.

B. Pemberlakuan prinsip-prinsip umum penerapan hukum
Upaya penyelarasan wewenang urusan pemerintahan di bidang konservasi sudah seharusnya mengacu pada prinsip-prinsip umum penerapan hukum. Dengan asumsi bahwa penerapan suatu aturan dapat berbenturan dengan aturan lainnya, baik secara gradual maupun temporal, maka prinsip-prinsip umum penerapan hukum sudah seharusnya disepakati untuk diberlakukan sebagai acuan bersama. Prinsip-prinsip umum penerapan hukum yang dimaksudkan, antara lain, adalah sebagai berikut:

1. Aturan khusus mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogate legi generale);

2. Aturan baru mengesampingkan aturan lama (lex posterior derogate legi priori); dan

3. Aturan yang tingkatannya lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah (lex superior derogate legi inferiori).

Pemberlakuan prinsip-prinsip umum penerapan hukum sebagaimana telah dikutip di atas pada gilirannya dapat menghilangkan keraguan semua pihak karena pelaksanaan peraturan telah menemukan justifikasinya masing-masing.

C. Penyelarasan wewenang untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa tumpang tindih wewenang dan benturan kepentingan akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan hambatan serta inefisiensi dalam pelaksanaan peraturan. Oleh karena itu keadaan ini harus segera diakhiri melalui prakarsa bersama untuk menemukan kesepakatan. Dalam hal ini tumpang tindih wewenang sebaiknya dilihat sebagai lahan kerjasama, bukan lahan untuk dijadikan sebagai ajang persengketaan antar sektor.

D. Penyelarasan wewenang dengan risiko minimal
Upaya penyelarasan wewenang tidak semata-mata dilakukan dengan mengambil segala risiko yang timbul dari penafsiran hukum secara sepihak. Apabila demikian maka pengambilan keputusan akan menjadi tidak rasional dan bahkan dapat saja menimbulkan gejolak yang akan menambah rumit persoalan. Oleh karena itu penyelarasan wewenang hendaknya dilakukan secara bertahap dengan senantiasa menghindari dampak yang dapat merugikan masing-masing pihak. Dengan demikian risiko yang timbul dapat dikurangi seminimal mungkin bahkan sedapat mungkin dihindari.
Berdasarkan pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum penerapan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pengkajian terhadap tiga pilihan yang telah disepakati oleh Departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan dapat disampaikan sebagai berikut:

Opsi 1 : Revisi peraturan perundang-undangan yang berlaku
Opsi mengubah atau merevisi peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan pilihan yang paling berat, walaupun bertujuan untuk memperjelas kewenangan masing-masing dan akan mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Namun demikian, pelaksanaan revisi peraturan perundang-undangan biasanya akan memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama. Dengan demikian, pemilihan opsi ini justru akan menambah beban, baik bagi Departemen Kehutanan maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.

Opsi 2 : Inventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah melembaga
Opsi inventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah melembaga tampaknya lebih rasional dan bahkan dapat segera dilaksanakan. Upaya untuk mengiventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan maupun Departemen Kelautan dan Perikanan mencerminkan kebijakan bersama untuk “tidak mengatur urusan-urusan yang sudah diatur”. Melalui inventarisasi kegiatan-kegiatan yang sudah melembaga diharapkan dapat segera diketahui secara objektif kewenangan-kewenangan yang telah dilaksanakan secara optimal dan telah dibentuk kelembagaannya. Selain dari itu, melalui inventarisasi ini diharapkan dapat pula diketahui kewenangan-kewenangan yang pelaksanaannya dianggap belum optimal. Melalui inventarisasi pelaksanaan wewenang dan pengkajian efektifitasnya, maka penyelarasan wewenang urusan pemerintahan dan efektifitas pelaksanaannya, maka kewenangan dapat dipilah dan disesuaikan dengan tupoksi masing-masing. Dengan demikian dapat diharapkan tidak akan terjadi tumpang tindih wewenang yang dalam kenyataannya merupakan sumber ketidakefektifan kinerja departemen.

Opsi 3: Bedol Desa
Opsi Bedol Desa diartikan sebagai pemindahan unit-unit kerja dan personil konservasi dari Departemen Kehutanan ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Opsi ini walaupun secara normatif sangat dimungkinkan namun secara implisit mengandung kerawanan dalam pelaksanaannya. Opsi Bedol Desa dapat menimbulkan resistensi di kalangan personil Departemen Kehutanan yang memilih untuk tidak pindah dan memaksa untuk tetap berada di lingkungan kerja Departemen Kehutanan. Selain dari itu apabila tetap dilaksanakan maka permasalahan ikutannya tidak saja akan timbul di lingkungan Departemen Kehutanan tetapi juga akan timbul di Departemen Kelautan dan Perikanan. Dalam hal ini kesiapan sumber daya manusia di Departemen Kelautan dan Perikanan patut dipertanyakan, terutama apabila personil Departemen Kehutanan menolak untuk pindah ke Departemen Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu opsi ini merupakan pilihan yang berat bagi kedua belah pihak. Selain dari itu pilihan bedol desa memerlukan kajian pendahuluan yang lebih mendalam dan memerlukan waktu lama, terutama karena terkait dengan masalah kepegawaian, bahan, asset dan infrastruktur yang diperlukan serta pertimbangan anggaran. Walaupun demikian, apabila opsi ini ternyata merupakan pilihan yang diambil oleh Departemen Kehutanan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan tidak mempunyai pilihan selain menerimanya sebagai konsekwensi dari tugas pokok dan fungsinya yang mencakup konservasi sumber daya ikan.
(be continue...)

Tidak ada komentar: