Rabu, 18 Januari 2012

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

sumber: http://www.korantempo.com/#

Opini

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

WEDNESDAY, 18 JANUARY 2012

Khudori, 

pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi

Mengartikan pangan identik dengan beras sesungguhnya telah mengecoh kita. Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi (terutama telekomunikasi), yang dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan, telah menyebabkan pola makan mengkristal pada beras, sedangkan gaplek, jagung, ubi, dan cantel justru jadi pakan pokok ternak.

Sampai saat ini semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita mencapai 139,15 kg per tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik tercukupi. Padahal lahan sawah letih dan kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain. Infrastruktur irigasi rusak, kontinuitas ketersediaan air sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, hasil petani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton per hektare, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton per ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per hektare dengan input yang mahal.

Ini membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gelisah (Koran Tempo, 27 Desember 2011). Untuk menekan impor, Gita akan mengkampanyekan pengurangan konsumsi beras dan gula. Pengurangan konsumsi adalah strategi diversifikasi pangan. Strategi ini sudah dilakukan sejak zaman baheula. Pada 2010, pemerintah juga menggulirkan kampanye One Day No Rice. Cara ini dinilai bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk konsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, akan menciptakan dampak berganda luar biasa. Kalkulasi itu tidak salah. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras? 

Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam hal pangan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indra (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), serta kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras itu mudah, harganya murah (karena subsidi), gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dibanding pangan lokal lain. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal. Dari sini terlihat betapa absurdnya kampanye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kontinuitas ketersediaannya tak terjaga, harganya fluktuatif, rasanya kurang enak, kandungan gizinya lebih rendah, dan memasaknya ribet. Seperti yang sudah-sudah, kampanye ini dipastikan akan menguap di tengah jalan. 

Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak menjadi 17 kg per tahun pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun, konsumsi terigu meledak 6,5 kali lipat. Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, menjadi lebih dari 5 juta ton pada 2008 dengan nilai US$ 2,245 miliar. Devisa yang terkuras ini tidak kecil. 

Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung atau ubi-ubian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesiacukup mengejutkan: setiap peningkatan 1 persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus. 

Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor. Padahal Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.

Mensubstitusi terigu dengan pangan lokal bukan hal mustahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Salah satu kandidat pengganti tepung terigu adalah tepung singkong modifikasi (mocaf). Mocaf sudah diproduksi secara industri di Trenggalek, melibatkan petani, koperasi, dan pemda setempat. Memang mocaftidak bisa dibuat aneka makanan seluas tepung terigu. Namun, mocaf menjanjikan banyak hal. Di sinilah negara perlu hadir dengan beleid memihak.

Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (Rp 4.000 per kg) cukup bersaing. Tapi harga ini belum menarik bagi industri dibandingkan dengan tepung terigu curah (Rp 4.300-4.500 per kg). Jika mocaf tidak dikenai PPN 10 persen tentu harganya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10 persen untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0 persen harus ditata-ulang. Kedua, strategi diversifikasi pangan berbahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih kebijakan dan strategi melepas semua ke pasar (hands-off policy). Dukungan kebijakan itu meliputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi. Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Ditambah kewajiban industri menyerap mocaf, pangan ini pasti berkembang. 

Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf--yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang mahaluas--bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu (yang salah satunya menguasai pangsa 70 persen). Berbagai kebijakan itu harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Saat tepung terigu tersubstitusi mocaf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang. *

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

sumber: http://www.korantempo.com/#

Opini

Beras, Terigu, dan Pangan Lokal

WEDNESDAY, 18 JANUARY 2012

Khudori, 

pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi

Mengartikan pangan identik dengan beras sesungguhnya telah mengecoh kita. Sejarah Indonesia mencatat gaplek (Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar (Papua) sebagai pangan baku warga selama bertahun-tahun. Kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi (terutama telekomunikasi), yang dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan, telah menyebabkan pola makan mengkristal pada beras, sedangkan gaplek, jagung, ubi, dan cantel justru jadi pakan pokok ternak.

Sampai saat ini semua perut warga negeri ini bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi rata-rata 100 persen, kecuali Maluku dan Papua (80 persen). Konsumsi per kapita mencapai 139,15 kg per tahun, tertinggi di dunia. Akibatnya, pemerintah dipaksa melakukan segala cara untuk menggenjot produksi beras agar pasokan domestik tercukupi. Padahal lahan sawah letih dan kelelahan, produktivitasnya melandai, dan luasnya terus tergerogoti kepentingan lain. Infrastruktur irigasi rusak, kontinuitas ketersediaan air sulit dipenuhi. Dari sisi teknologi produksi, hasil petani di sawah irigasi saat ini mendekati batas frontier yang bisa dicapai: 6,4 ton per hektare, kedua tertinggi di Asia Timur setelah Cina (7,6 ton per ha). Potensi peningkatan produktivitas hanya 0,5-1,0 ton per hektare dengan input yang mahal.

Ini membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gelisah (Koran Tempo, 27 Desember 2011). Untuk menekan impor, Gita akan mengkampanyekan pengurangan konsumsi beras dan gula. Pengurangan konsumsi adalah strategi diversifikasi pangan. Strategi ini sudah dilakukan sejak zaman baheula. Pada 2010, pemerintah juga menggulirkan kampanye One Day No Rice. Cara ini dinilai bisa menghemat 1,1 juta ton beras senilai Rp 6 triliun. Jika uang itu dialihkan untuk konsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar, ganyong, dan sukun, akan menciptakan dampak berganda luar biasa. Kalkulasi itu tidak salah. Pertanyaannya, segampang itukah orang mau menekan konsumsi beras? 

Mengalihkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan (habit) bertahun-tahun, termasuk dalam hal pangan, bukanlah hal mudah. Kebiasaan itu tercipta melalui proses adaptasi panjang, melibatkan segenap indra (terutama perasa dan penglihatan), dan pertimbangan ekonomi (akses dan efisiensi), politik (kebijakan), serta kebudayaan (akulturasi dan adaptasi). Dalam hal beras, hasilnya seperti ini: memasak beras itu mudah, harganya murah (karena subsidi), gampang didapat kapan dan di mana saja. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dibanding pangan lokal lain. Pelbagai kelebihan beras ini belum tertandingi oleh aneka pangan lokal. Dari sini terlihat betapa absurdnya kampanye “satu hari tanpa nasi”. Sampai saat ini pangan lokal masih sulit didapat, kontinuitas ketersediaannya tak terjaga, harganya fluktuatif, rasanya kurang enak, kandungan gizinya lebih rendah, dan memasaknya ribet. Seperti yang sudah-sudah, kampanye ini dipastikan akan menguap di tengah jalan. 

Saat pangan lokal dibelit aneka masalah, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi bahan pangan dari gandum impor yang diolah jadi tepung terigu itu meningkat pesat. Pada 1987 konsumsi terigu per kapita Indonesia masih 1,05 kg per tahun, naik jadi 2,64 kg per tahun pada 1996, dan meledak menjadi 17 kg per tahun pada 2010. Jadi, hanya dalam 15 tahun, konsumsi terigu meledak 6,5 kali lipat. Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu. Konsekuensinya, impor gandum juga meledak, menjadi lebih dari 5 juta ton pada 2008 dengan nilai US$ 2,245 miliar. Devisa yang terkuras ini tidak kecil. 

Dalam struktur diet makanan warga, gandum kini menempati posisi kedua setelah beras, menyalip jagung atau ubi-ubian. Aneka pangan berbasis gandum jauh lebih populer ketimbang pangan lokal, seperti singkong, sagu, jagung, sukun, atau ganyong. Di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari gandum yang lebih mewakili cita rasa dan selera global. Temuan Fabiosa (2006) dalam Westernization of the Asian Diet: The Case of Rising Wheat Consumption in Indonesiacukup mengejutkan: setiap peningkatan 1 persen pendapatan warga Indonesia, pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat pada kisaran 0,44-0,84 persen. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus. 

Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tersubstitusi oleh gandum. Dari sisi diversifikasi makanan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh gandum adalah diversifikasi salah kaprah yang tidak dikehendaki. Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan kita pada pangan impor. Padahal Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa di berbagai sektor.

Mensubstitusi terigu dengan pangan lokal bukan hal mustahil. Namun, substitusi itu memerlukan kebijakan radikal, konsisten, dan memihak kepentingan domestik. Salah satu kandidat pengganti tepung terigu adalah tepung singkong modifikasi (mocaf). Mocaf sudah diproduksi secara industri di Trenggalek, melibatkan petani, koperasi, dan pemda setempat. Memang mocaftidak bisa dibuat aneka makanan seluas tepung terigu. Namun, mocaf menjanjikan banyak hal. Di sinilah negara perlu hadir dengan beleid memihak.

Pertama, secara ekonomi, harga mocaf (Rp 4.000 per kg) cukup bersaing. Tapi harga ini belum menarik bagi industri dibandingkan dengan tepung terigu curah (Rp 4.300-4.500 per kg). Jika mocaf tidak dikenai PPN 10 persen tentu harganya kian menarik. Pemerintah harus membebaskan PPN 10 persen untuk mocaf. Sebaliknya, bea masuk impor terigu yang 0 persen harus ditata-ulang. Kedua, strategi diversifikasi pangan berbahan lokal akan berhasil bila pemerintah tak memilih kebijakan dan strategi melepas semua ke pasar (hands-off policy). Dukungan kebijakan itu meliputi kebijakan fiskal, seperti alokasi anggaran dalam APBN, tarif bea masuk, pajak, kredit berbunga rendah, dan subsidi pertanian, termasuk riset dan teknologi. Ketiga, strategi ini harus terintegrasi dalam rencana pembangunan jangka menengah sebagai bagian dari penciptaan lapangan kerja, dan pengurangan kemiskinan. Ditambah kewajiban industri menyerap mocaf, pangan ini pasti berkembang. 

Sebagai industri yang masih bayi (infant industry), tidak adil membiarkan industri mocaf--yang sepenuhnya berbahan baku lokal, melibatkan ribuan (bahkan jutaan) petani, menciptakan dampak berganda yang mahaluas--bersaing dengan industri tepung terigu yang sudah mapan. Tanpa campur tangan pemerintah, mustahil mocaf bersaing dengan 6 korporasi penguasa bisnis tepung terigu (yang salah satunya menguasai pangsa 70 persen). Berbagai kebijakan itu harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Saat tepung terigu tersubstitusi mocaf, dengan sendirinya tekanan pada beras akan berkurang. *

Selasa, 10 Januari 2012

PENGELOLAAN DANA PERWALIAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan melalui Dana Perwalian. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Perwalian diatur dengan Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.

Dana Perwalian adalah dana Hibah yang diberikan oleh satu atau beberapa Pemberi Hibah yang dikelola oleh suatu lembaga sebagai wali amanat untuk tujuan penggunaan tertentu. Hibah Pemerintah, yang selanjutnya disebut Hibah, adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari Pemberi Hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.

Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan melalui Dana Perwalian, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan dana Hibah. Hibah melalui Dana Perwalian tersebut dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan Hibah melalui Dana Perwalian meliputi Hibah yang direncanakan dan/atau Hibah langsung.

Penerimaan Hibah melalui Dana Perwalian harus memenuhi kriteria: a. adanya komitmen dari Pemberi Hibah untuk memberikan dana dalam rangka pencapaian sasaran tematik prioritas pembangunan nasional; b. adanya kebutuhan untuk mendukung pencapaian sasaran tematik prioritas pembangunan nasional, dan c. adanya persyaratan yang telah disepakati dengan Pemberi Hibah dalam

perjanjian.

Dana Perwalian digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.

 KELEMBAGAAN DANA PERWALIAN. Pengelolaan Dana Perwalian dilakukan oleh Lembaga Wali Amanat. Lembaga Wali Amanat dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan. Dalam hal Dana Perwalian digunakan oleh lebih dari satu Kementerian/Lembaga atau lintas sektoral, pembentukan Lembaga Wali Amanat dilaksanakan oleh salah satu Menteri/Pimpinan Lembaga terkait berdasarkan penunjukan Menteri Perencanaan, setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.

Lembaga Wali Amanat, terdiri dari: a. Majelis Wali Amanat; dan b. Pengelola Dana Amanat. Majelis Wali Amanat dipersamakan sebagai satuan kerja. Majelis Wali Amanat mempunyai tugas: a. menetapkan Pengelola Dana Amanat; b. menetapkan program pengelolaan Dana Perwalian; c. melakukan penarikan dana Hibah dari Pemberi Hibah; d. memerintahkan pembayaran Dana Perwalian kepada pihakpihak yang terkait; e. melakukan proses pengadaan barang/jasa; f. mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja Majelis Wali Amanat untuk penyaluran Dana Perwalian; g. mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja Majelis Wali Amanat untuk penyaluran Dana Perwalian; dan h. menyusun laporan keuangan penyaluran Dana Perwalian.

Susunan organisasi Majelis Wali Amanat terdiri dari: a. Ketua; b. Sekretaris; c. Anggota. Ketua Majelis Wali Amanat berasal dari Kementerian/Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat, atau berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Hibah. Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat dapat berasal dari Kementerian/Lembaga yang terkait, pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan Dana Perwalian, dan/atau pihak yang ditunjuk oleh Pemberi Hibah. Kementerian/Lembaga lain yang terkait, sekurang-kurangnya terdiri dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan.

Jumlah keanggotaan Majelis Wali Amanat ditentukan oleh Kementerian/Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat sesuai dengan kebutuhan dan/atau berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Hibah. Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat, ditetapkan dengan Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga. Majelis Wali Amanat dapat menunjuk pihak tertentu sesuai dengan Perjanjian Hibah, untuk mendukung pelaksanaan tugas.

Pengelola Dana Amanat, mempunyai tugas: a. menangani administrasi dan keuangan Dana Perwalian sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan administrasi dan keuangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah; b. melaporkan penanganan administrasi dan keuangan Dana Perwalian kepada Majelis Wali Amanat; dan c. melakukan pembayaran kepada pihak-pihak yang terkait atas perintah Majelis Wali Amanat. Dalam melaksanakan tugasnya, Pengelola Dana Amanat dikoordinasikan oleh Majelis Wali Amanat.

Pengelola Dana Amanat, dapat berupa: a. Kementerian/Lembaga; b. Lembaga Multilateral; c. Organisasi Non Pemerintah; d. Badan Usaha Nasional; dan/atau e. Lembaga Keuangan Asing.

Kementerian/Lembaga, Lembaga Multilateral, atau Organisasi Non Pemerintah, ditetapkan sebagai Pengelola Dana Amanat berdasarkan penunjukan sesuai Perjanjian Hibah. Badan Usaha Nasional dan Lembaga Keuangan Asing, ditetapkan sebagai Pengelola Dana Amanat berdasarkan hasil pemilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang/jasa, kecuali diatur lain dalam Perjanjian Hibah.

Biaya yang timbul dalam rangka pembentukan dan pengelolaan Dana Perwalian, dibebankan kepada Dana Perwalian tersebut dan/atau sumber lain sesuai Perjanjian Hibah.

 PELAKSANAAN KEGIATAN. Dana Perwalian dapat disalurkan oleh Majelis Wali Amanat kepada

pelaksana kegiatan, yang terdiri dari: a. Kementerian/Lembaga; b. Pemerintah Daerah; c. Organisasi Non Pemerintah; dan/atau d. Lembaga Swasta.

Kegiatan yang akan dibiayai melalui Dana Perwalian, diusulkan oleh Kementerian/Lembaga, Organisasi Non Pemerintah, dan/atau Lembaga Swasta kepada Majelis Wali Amanat. Usulan kegiatan Kementerian/Lembaga termasuk usulan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Usulan kegiatan, harus: a. berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; b. mempertimbangkan tujuan penggunaan Hibah dan prinsip-prinsip penerimaan Hibah; dan c. mempertimbangkan pencapaian sasaran tematik Dana Perwalian. Majelis Wali Amanat menilai kelayakan usulan kegiatan. Hasil penilaian kelayakan usulan kegiatan, dituangkan dalam berita acara penilaian. Berdasarkan hasil penilaian kelayakan usulan kegiatan, Majelis Wali Amanat memberikan persetujuan atau penolakan.

Tata cara pengusulan kegiatan dan penilaian usulan kegiatan diatur lebih lanjut oleh Majelis Wali Amanat.

Penyaluran Dana Perwalian kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, dilaksanakan dengan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. sedangkan Penyaluran Dana Perwalian kepada Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta sebagai pelaksana kegiatan, dilaksanakan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penyaluran Dana Perwalian kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, dapat dilaksanakan mendahului pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja. Untuk pelaksanaan penyaluran Dana Perwalian pada Kementerian/Lembaga dan

Pemerintah Daerah dan kepada Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta, Majelis Wali Amanat berkewajiban: a. mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja kepada Kementerian Keuangan; b. mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja kepada Kementerian Keuangan; dan c. menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan kepada Kementerian/Lembaga dan Kementerian Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja, dokumen realisasi pendapatan dan belanja, dan penyusunan Laporan Keuangan, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 PELAPORAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI. Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta selaku pelaksana kegiatan, menyampaikan laporan triwulanan kepada Majelis Wali Amanat. Laporan, terdiri atas laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan realisasi penyerapan Dana Perwalian. Selain laporan tersebut, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menyampaikan laporan kepada

Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Majelis Wali Amanat menyampaikan laporan semesteran kemajuan pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan Dana Perwalian kepada Menteri Perencanaan, Menteri Keuangan, Menteri/Pimpinan Lembaga terkait, dan Pemberi Hibah.

Menteri/Pimpinan Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan Dana Perwalian.

 PAJAK DAN BEA MASUK. Fasilitas pajak dan bea masuk untuk kegiatan yang didanai melalui Dana Perwalian dapat diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 PERPANJANGAN DAN PENUTUPAN DANA PERWALIAN. Dana Perwalian dapat diperpanjang berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan Pemberi Hibah. Dana Perwalian ditutup berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dalam hal Dana Perwalian telah ditutup, pengelolaan dan

pengalihan aset yang berasal dari pelaksanaan kegiatan Dana Perwalian, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Presiden nomor 80 Tahun 2011 tentang DANA PERWALIAN selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR

Attachment: Perpres0802011.pdf

PENGELOLAAN DANA PERWALIAN

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah Pasal 47 ayat (1) dinyatakan bahwa Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan melalui Dana Perwalian. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Perwalian diatur dengan Peraturan Presiden. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian.

Dana Perwalian adalah dana Hibah yang diberikan oleh satu atau beberapa Pemberi Hibah yang dikelola oleh suatu lembaga sebagai wali amanat untuk tujuan penggunaan tertentu. Hibah Pemerintah, yang selanjutnya disebut Hibah, adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari Pemberi Hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.

Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan melalui Dana Perwalian, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan dana Hibah. Hibah melalui Dana Perwalian tersebut dapat bersumber dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan Hibah melalui Dana Perwalian meliputi Hibah yang direncanakan dan/atau Hibah langsung.

Penerimaan Hibah melalui Dana Perwalian harus memenuhi kriteria: a. adanya komitmen dari Pemberi Hibah untuk memberikan dana dalam rangka pencapaian sasaran tematik prioritas pembangunan nasional; b. adanya kebutuhan untuk mendukung pencapaian sasaran tematik prioritas pembangunan nasional, dan c. adanya persyaratan yang telah disepakati dengan Pemberi Hibah dalam

perjanjian.

Dana Perwalian digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan prioritas pembangunan nasional.

 KELEMBAGAAN DANA PERWALIAN. Pengelolaan Dana Perwalian dilakukan oleh Lembaga Wali Amanat. Lembaga Wali Amanat dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan. Dalam hal Dana Perwalian digunakan oleh lebih dari satu Kementerian/Lembaga atau lintas sektoral, pembentukan Lembaga Wali Amanat dilaksanakan oleh salah satu Menteri/Pimpinan Lembaga terkait berdasarkan penunjukan Menteri Perencanaan, setelah mendapat pertimbangan Menteri Keuangan.

Lembaga Wali Amanat, terdiri dari: a. Majelis Wali Amanat; dan b. Pengelola Dana Amanat. Majelis Wali Amanat dipersamakan sebagai satuan kerja. Majelis Wali Amanat mempunyai tugas: a. menetapkan Pengelola Dana Amanat; b. menetapkan program pengelolaan Dana Perwalian; c. melakukan penarikan dana Hibah dari Pemberi Hibah; d. memerintahkan pembayaran Dana Perwalian kepada pihakpihak yang terkait; e. melakukan proses pengadaan barang/jasa; f. mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja Majelis Wali Amanat untuk penyaluran Dana Perwalian; g. mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja Majelis Wali Amanat untuk penyaluran Dana Perwalian; dan h. menyusun laporan keuangan penyaluran Dana Perwalian.

Susunan organisasi Majelis Wali Amanat terdiri dari: a. Ketua; b. Sekretaris; c. Anggota. Ketua Majelis Wali Amanat berasal dari Kementerian/Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat, atau berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Hibah. Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat dapat berasal dari Kementerian/Lembaga yang terkait, pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan Dana Perwalian, dan/atau pihak yang ditunjuk oleh Pemberi Hibah. Kementerian/Lembaga lain yang terkait, sekurang-kurangnya terdiri dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan.

Jumlah keanggotaan Majelis Wali Amanat ditentukan oleh Kementerian/Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat sesuai dengan kebutuhan dan/atau berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian Hibah. Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat, ditetapkan dengan Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga. Majelis Wali Amanat dapat menunjuk pihak tertentu sesuai dengan Perjanjian Hibah, untuk mendukung pelaksanaan tugas.

Pengelola Dana Amanat, mempunyai tugas: a. menangani administrasi dan keuangan Dana Perwalian sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan administrasi dan keuangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah; b. melaporkan penanganan administrasi dan keuangan Dana Perwalian kepada Majelis Wali Amanat; dan c. melakukan pembayaran kepada pihak-pihak yang terkait atas perintah Majelis Wali Amanat. Dalam melaksanakan tugasnya, Pengelola Dana Amanat dikoordinasikan oleh Majelis Wali Amanat.

Pengelola Dana Amanat, dapat berupa: a. Kementerian/Lembaga; b. Lembaga Multilateral; c. Organisasi Non Pemerintah; d. Badan Usaha Nasional; dan/atau e. Lembaga Keuangan Asing.

Kementerian/Lembaga, Lembaga Multilateral, atau Organisasi Non Pemerintah, ditetapkan sebagai Pengelola Dana Amanat berdasarkan penunjukan sesuai Perjanjian Hibah. Badan Usaha Nasional dan Lembaga Keuangan Asing, ditetapkan sebagai Pengelola Dana Amanat berdasarkan hasil pemilihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang/jasa, kecuali diatur lain dalam Perjanjian Hibah.

Biaya yang timbul dalam rangka pembentukan dan pengelolaan Dana Perwalian, dibebankan kepada Dana Perwalian tersebut dan/atau sumber lain sesuai Perjanjian Hibah.

 PELAKSANAAN KEGIATAN. Dana Perwalian dapat disalurkan oleh Majelis Wali Amanat kepada

pelaksana kegiatan, yang terdiri dari: a. Kementerian/Lembaga; b. Pemerintah Daerah; c. Organisasi Non Pemerintah; dan/atau d. Lembaga Swasta.

Kegiatan yang akan dibiayai melalui Dana Perwalian, diusulkan oleh Kementerian/Lembaga, Organisasi Non Pemerintah, dan/atau Lembaga Swasta kepada Majelis Wali Amanat. Usulan kegiatan Kementerian/Lembaga termasuk usulan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Usulan kegiatan, harus: a. berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional; b. mempertimbangkan tujuan penggunaan Hibah dan prinsip-prinsip penerimaan Hibah; dan c. mempertimbangkan pencapaian sasaran tematik Dana Perwalian. Majelis Wali Amanat menilai kelayakan usulan kegiatan. Hasil penilaian kelayakan usulan kegiatan, dituangkan dalam berita acara penilaian. Berdasarkan hasil penilaian kelayakan usulan kegiatan, Majelis Wali Amanat memberikan persetujuan atau penolakan.

Tata cara pengusulan kegiatan dan penilaian usulan kegiatan diatur lebih lanjut oleh Majelis Wali Amanat.

Penyaluran Dana Perwalian kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, dilaksanakan dengan mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. sedangkan Penyaluran Dana Perwalian kepada Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta sebagai pelaksana kegiatan, dilaksanakan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penyaluran Dana Perwalian kepada Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, dapat dilaksanakan mendahului pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja. Untuk pelaksanaan penyaluran Dana Perwalian pada Kementerian/Lembaga dan

Pemerintah Daerah dan kepada Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta, Majelis Wali Amanat berkewajiban: a. mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja kepada Kementerian Keuangan; b. mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja kepada Kementerian Keuangan; dan c. menyusun dan menyampaikan Laporan Keuangan kepada Kementerian/Lembaga dan Kementerian Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja, dokumen realisasi pendapatan dan belanja, dan penyusunan Laporan Keuangan, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 PELAPORAN, PEMANTAUAN DAN EVALUASI. Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Organisasi Non Pemerintah dan Lembaga Swasta selaku pelaksana kegiatan, menyampaikan laporan triwulanan kepada Majelis Wali Amanat. Laporan, terdiri atas laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan realisasi penyerapan Dana Perwalian. Selain laporan tersebut, Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah menyampaikan laporan kepada

Menteri Perencanaan dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Majelis Wali Amanat menyampaikan laporan semesteran kemajuan pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan Dana Perwalian kepada Menteri Perencanaan, Menteri Keuangan, Menteri/Pimpinan Lembaga terkait, dan Pemberi Hibah.

Menteri/Pimpinan Lembaga yang membentuk Lembaga Wali Amanat melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan Dana Perwalian.

 PAJAK DAN BEA MASUK. Fasilitas pajak dan bea masuk untuk kegiatan yang didanai melalui Dana Perwalian dapat diberikan oleh Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 PERPANJANGAN DAN PENUTUPAN DANA PERWALIAN. Dana Perwalian dapat diperpanjang berdasarkan perjanjian antara Pemerintah dan Pemberi Hibah. Dana Perwalian ditutup berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian. Dalam hal Dana Perwalian telah ditutup, pengelolaan dan

pengalihan aset yang berasal dari pelaksanaan kegiatan Dana Perwalian, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Presiden nomor 80 Tahun 2011 tentang DANA PERWALIAN selengkapnya sebagaimana TERLAMPIR

Attachment: Perpres0802011.pdf