ass. masalah shalat ied, apakah kita harus mengikuti apa yang tlah ditetapkan pemerintah,seandainya: 1. ada pihak yg telah melihat hilal, tp pemerintah menetapkan bhwa iedul fitri jatuh 1 hari setelahnya. Bagaimana pelaksanaan puasanya ( untuk menjaga ke haram annya) dan kpn sebaikny kita shalat iednya? 2. wukuf di arafah lebih dulu dari yg ditetapkan pemerintah kita, jd ada perbedaan untuk puasa dan shalatnya, bagaimana sebaiknya sikap yg kita ambil? terima kasih sebelumnya.
Pertanyaan ini -insya Allah- akan dijawab dalam empat point: Pertama: DALIL-DALIL YANG MENUNJUKKAN PERMASALAHAN DI ATAS Yang pertama kali harus kita ketahui dan pahami, ada hadits shahih dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, bahwa Rasulullah bersabda: ((وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ، وَكُلُّ مِنًى مَنْحَرٌ، كُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ، وَكُلُّ جَمْعٍ مَوْقِفٌ)) "Berbuka (Idul Fithri) kalian adalah pada hari saat kalian berbuka (Idul Fithri), dan menyembelih (berkurban pada Idul Adh-ha) kalian adalah pada hari saat kalian menyembelih (berkurban pada Idul Adh-ha), semua kawasan Arafah adalah tempat wukuf, semua kawasan Mina adalah tempat penyembelihan, semua jalan-jalan Makkah adalah tempat penyembelihan, semua kawasan Jam'un (Muzdalifah) adalah tempat wukuf ". Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2/297 no. 2324). Dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Dalam lafazh lain, Rasulullah bersabda: ((الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ)) "Berpuasa adalah pada hari saat kalian berpuasa, berbuka (Idul Fithri) adalah pada hari saat kalian berbuka (Idul Fithri), dan menyembelih (berkurban pada Idul Adh-ha) adalah pada hari saat kalian menyembelih (berkurban pada Idul Adh-ha)". Hadits shahih, dikeluarkan oleh at Tirmidzi (3/80 no. 697). Dan yang serupa dengan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/531 no. 1660). Dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Dan hadits Aisyah -radhiyallahu 'anha-, Rasulullah bersabda: ((الفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ)) Hadits shahih, dikeluarkan oleh at Tirmidzi (3/165 no. 802). Dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Kedua: PENJELASAN PARA ULAMA TERHADAP MAKNA DAN MAKSUD HADITS DI ATAS Setelah mengeluarkan hadits ini, al Imam at Tirmidzi berkata, "…sebagian Ahlul Ilmi (para ulama) menafsirkan hadits ini bahwa berpuasa atau berbuka harus bersama mayoritas manusia (kaum Muslimin)". [Lihat Jami' at Tirmidzi (3/80 no. 697)]. Al Imam Ibnul Qayyim berkata, "…telah dikatakan, bahwa hadits ini merupakan bantahan terhadap orang yang berpendapat bolehnya berpuasa bagi orang yang mengetahui ilmu hisab dan tata letak perbintangan. Telah dikatakan pula, hadits ini menjelaskan bahwa seorang yang telah melihat/menyaksikan hilal, namun jika al Qadhi (hakim atau pemimpin) tidak menganggap sah persaksiannya, maka ia tidak boleh berpuasa (sendirian), demikian juga orang lainnya". [Lihat Tahdzibus Sunan (3/214), sebagaimana yang dinukilkan oleh Syaikh al Albani di dalam Silsilatul Ahaditsi ash Shahihah (1/443)]. Al Imam ash Shan'ani berkata, "Pada hadits ini terdapat dalil, bahwa tetap dan tegaknya Idul Fitri dan Idul Adh-ha bergantung pada mayoritas manusia (kaum Muslimin). Dan orang yang menyendiri dalam ru'yah (melihat hilal), maka ia tetap wajib mengikuti mayoritas manusia (kaum Muslimin) yang lainnya. Hal ini wajib ia lakukan baik dalam masalah (penentuan) shalat, berbuka (Idul Fithri), dan Idul Adh-ha". [Lihat Subulus Salam (3/176)]. Syaikh al Albani berkata, "Abul Hasan as Sindi telah berkata dalam Hasyiah Ibnu Majah, selepas ia membawakan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh at Tirmidzi di atas, ia berkata: [Yang nampak jelas dari hadits ini, maknanya adalah bahwa perkara-perkara tersebut tidak bisa dipraktekkan oleh masing-masing perorangan. Tidak bisa seseorang menyendiri dalam masalah-masalah ini. Perkara-perkara semacam ini harus dikembalikan kepada Imam (pemimpin/pemerintah) dan kepada mayoritas kaum Muslimin. Sehingga, wajib bagi setiap Muslim mengikuti Imam (pemimpin/pemerintah) dan kepada mayoritas kaum Muslimin. Dengan demikian, maka jika ada seorang Muslim yang melihat hilal, namun persaksiaannya ditolak atau tidak dianggap sah oleh Imam (pemimpin/pemerintah), ia tetap harus mengikuti keputusan Imam dan mayoritas kaum Muslimin]… Saya (Syaikh al Albani) katakan, inilah syariat yang mulia. Tujuan utamanya adalah menyatukan kaum Muslimin dan barisan-barisan mereka. Menjauhkan mereka dari segala hal yang dapat memecah-belah mereka, berupa pendapat-pendapat perorangan (atau yang semisalnya). Syariat ini tidak menganggap pendapat perorangan -walaupun pendapat tersebut ada benarnya- dalam masalah peribadatan-peribadatan yang bersifat kolosal (besar) dan dilakukan secara bersama-sama, seperti puasa (Ramadhan), Id, dan shalat berjamaah…". [Lihat Silsilatul Ahaditsi ash Shahihah (1/443-445)]. Ketiga: BEBERAPA FATWA PARA ULAMA SEPUTAR MASALAH DI ATAS Berikut ini beberpa fatwa para ulama yang berkaitan dengan pertanyaan di atas: 1. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu' al Fatawa, 25/114-116). Beliau ditanya: "Ada sesorang yang telah melihat hilal sendiri, dan benar-benar telah melihatnya, apakah orang tersebut boleh berbuka (Idul Fithri) sendiri? Atau berpuasa sendiri? Ataukah ia harus melakukannya bersama orang-orang (mayoritas kaum Muslimin)?". Beliau menjawab: "Alhamdulillah… Apabila ada sesorang yang telah melihat hilal puasa sendiri, atau hilal Idul Fithri sendiri, apakah boleh baginya berpuasa berdasarkan ru'yah hilalnya itu? Bolehkah ia berbuka (Idul Fithri) berdasarkan ru'yah hilalnya itu? Ataukah ia tidak boleh melakukannya melainkan harus bersama-sama dengan orang-orang (mayoritas kaum Muslimin)? Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama. Pertama, ia wajib berpuasa dan berbuka dengan rahasia (sembunyi-sembunyi). Ini adalah madzhab asy Syafi'i. Kedua, ia wajib berpuasa, namun ia tidak boleh berbuka melainkan harus bersama-sama orang-orang (mayoritas kaum Muslimin). Inilah yang masyhur dari madzhab Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah. Ketiga, ia wajib berpuasa dan berbuka bersama-sama orang-orang (mayoritas kaum Muslimin). Dan inilah pendapat yang paling zhahir (nyata/benar)…", kemudian beliaupun membawakan dalil-dalil, diantaranya hadits-hadits di atas. 2. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu' al Fatawa, 25/202-203). Beliau ditanya: "Sebagian penduduk sebuah kota telah melihat hilal Dzulhijjah. Namun hal ini belum atau tidak ditetapkan oleh hakim (pemerintah) kota tersebut. Maka apakah mereka boleh berpuasa pada hari yang zhahirnya (yang nampak pada mayoritas kaum Muslimin) adalah hari yang ke sembilan (Dzulhijjah), padahal yang bathin (yang tidak diketahui kaum Muslimin) adalah hari yang ke sepuluh?". Beliau menjawab: "Ya, mereka boleh berpuasa pada hari yang zhahirnya (yang nampak pada mayoritas kaum Muslimin) adalah hari yang ke sembilan (Dzulhijjah), walaupun yang bathin (tidak diketahui kaum Muslimin) adalah hari yang ke sepuluh, dan walaupun ru'yah hilal (melihat hilal) yang mereka lakukan tepatdan benar. Karena…", kemudian beliaupun membawakan dalil-dalil, diantaranya hadits-hadits di atas. 3. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Kumpulan Fatwa beliau no. 405) Beliau ditanya: "Apabila terjadi perbedaan hari Arafah, disebabkan adanya perbedaan letak negara atau tempat, yang juga mengakibatkan terjadinya perbedaan tempat munculnya hilal, maka apakah kita berpuasa (Arafah) mengikuti ru'yah hilal (melihat hilal) di negara yang kita tinggal padanya? Ataukah kita harus selalu mengikuti ru'yah hilal (melihat hilal) di negeri Haramain (yaitu Saudi Arabia, karena di dalamnya terdapat Makkah dan Madinah)?". Beliau menjawab: "Permasalahan ini terjadi karena adanya silang pendapat di antara para ulama. Yakni; apakah hilal itu hanya pada satu tempat saja untuk seluruh dunia? Ataukah ia berbeda-beda berdasarkan perbedaan letaknya? Yang benar adalah berbeda-beda berdasarkan perbedaan letaknya. Jadi, misalkan hilal terlihat di Makkah, dan hari tersebut di Makkah adalah hari yang ke sembilan (Dzulhijjah), sedangkan di negara lain sudah terlihat sehari sebelumnya. Berarti penduduk negara tersebut tidak boleh berpuasa pada hari itu, karena hari itu di negara mereka adalah hari yang ke sepuluh (Idul Adh-ha). Demikian pula sebaliknya. Misalkan hilal sudah terlihat di Makkah, sedangkan di sebuah negara belum terlihat. Berarti hari yang ke sembilan di Makkah adalah hari yang ke delapan di negara tersebut. Maka, penduduk negara tersebut berpuasa pada tanggal sembilan di negara mereka yang nantinya bertepatan tanggal sepuluh (Idul Adh-ha) di Makkah. Inilah pendapat yang rajih (kuat). Karena nabi telah bersabda: ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا...)) "Apabila kalian melihatnya (hilal) maka puasalah, dan apabila kalian melihatnya (hilal) maka berbukalah…". -HR al Bukhari (2/672 no. 1801) dan Muslim (2/760 no. 1080), dari Abdullah bin Umar-…". 4. Fatwa Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al Fauzan (al Muntaqa min Fatawa Syaikh al Fauzan, 3/124) Beliau ditanya: "Apabila telah ditetapkan masuknya bulan Ramadhan di salah satu negara Islam, seperti Saudi Arabia misalkan, sedangkan di negara lain belum di nyatakan masuknya bulan Ramadhan, maka bagaimanakah hukumnya? Apakah negara tersebut tetap harus ikut berpuasa bersama Saudi Arabia? Dan bagaimanakah jika perbedaan ini memang terjadi?". Beliau menjawab: "Setiap Muslim (wajib) berpuasa dan berbuka bersama kaum Muslimin yang ada di negaranya. Dan wajib bagi mereka untuk benar-benar memperhatikan hilal yang ada di negaranya…". Keempat: KESIMPULAN JAWABAN PERTANYAAN DARI SEPUTAR PENJELASAN DI ATAS 1. Hukum asal yang mendasar dalam penentuan puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adh-ha adalah ru'yatul hilal (dengan melihat hilal). Berdasarkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan masalah ini, seperti hadits Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan lain-lain dalam Shahih al Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya. 2. Tidak boleh dan tidak dibenarkan dalam penentuan hal-hal di atas, hanya dengan berpijak dan berdasar pada ilmu hisab atau ilmu falak (perbintangan) semata. Karena hal ini tidak berdasarkan dalil-dalil yang ada, bahkan menyelisihi dalil-dalil syar'i. [Lihat Majmu' al Fatawa (25/207-208, 132-133), Fatwa al Lajnah ad Da-imah, no. 386, 3686]. 3. Wajib bagi pemerintah dan kaum Muslimin bersungguh-sungguh dalam ru'yatul hilal, dan tidak meremehkan masalah ini. Karena hal-hal ini berkaitan dengan kemaslahatan dan persatuan umat Islam. 4. Jika pemerintah sudah menetapkan sebuah keputusan dalam hal-hal di atas, dan mereka telah berupaya dan bersungguh-sungguh dalam menentukannya, maka wajib bagi rakyat (kaum Muslimin) untuk mentaatinya, walaupun keputusan mereka salah atau keliru. Karena mereka telah berijtihad (berupaya dan bersungguh-sungguh dalam membuat sebuah keputusan dengan berdasar dalil-dalil syar'i sebatas apa yang telah mereka pahami dan kuasai), sehingga walaupun mereka keliru, mereka tetap mendapatkan pahala, berdasarkan hadits 'Amr bin al 'Ash dalam Shahih al Bukhari, Shahih Muslim dan lainnya. Dan juga, karena keputusan pemerintah atau waliyul amri mengangkat semua perselisihan yang ada. Namun, jika mereka "asal-asalan" dalam membuat sebuah keputusan, atau tidak berdasarkan dalil-dalil syar'i, atau bahkan berdasarkan hawa nafsu semata, yang akhirnya melahirkan keputusan yang salah dan keliru, maka kaum Muslimin tidak menanggung dosanya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah dalam Shahih al Bukhari dan lainnya. [Lihat Majmu' al Fatawa (25/206), dan Fatwa al Lajnah ad Da-imah, no. 388]. 5. Permasalahan-permasalahan di atas (penentuan puasa Ramadhan, Idul Fithri dan Idul Adh-ha) adalah permasalahan besar yang tidak bisa dilakukan atau dipraktekkan oleh masing-masing pihak, baik secara pribadi (perorangan) ataupun kelompok. Akan tetapi wajib dikembalikan kepada Imam/Hakim/Waliyul Amri (pemerintah) dan kaum Muslimin. Karena Allah ciptakan syariat ini, salah satu tujuannya adalah untuk mempersatuan kaum Muslimin dan mencegah mereka dari perpecahan. [Lihat Silsilatul Ahaditsi ash Shahihah (1/443-445)]. 6. Masalah ini adalah masalah khilafiyah (yang para ulama terjadi perselisihan padanya sejak dahulu hingga saat ini). Namun, kita wajib mengikuti pendapat yang lebih kuat dan rajih, terlebih lagi setelah kita mengetahui dalil-dalilnya dan penjelasan para ulama, serta fatwa-fatwa mereka. Dan terlebih lagi, kita tinggal di sebuah negara yang mayoritas penduduk dan pemerintahnya adalah Muslimin. [Lihat Fatwa al Lajnah ad Da-imah, no. 388, 3686, dan al Muntaqa min Fatawa Syaikh al Fauzan (3/124)]. Demikian, mudah-mudahan jawaban ini bermanfaat, menambah iman, ilmu dan amal shalih kita. Wallahu A'lam. (Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar