UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
sebagaimana TERLAMPIR
meniti langkah.... dulu, kini dan nanti... hidup adalah perjuangan... hidup adalah petualangan berliku yang teramat indah untuk dinikmati...
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
sebagaimana TERLAMPIR
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
sebagaimana TERLAMPIR
Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat berbeda dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Pengertian Kawasan Konseravsi Perairan (KKP) menurut UU 31/2004 tentang Perikanan dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Secara detil bagaimana pemerintah daerah melakukan pencadangan kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.
Dengan pengaturan zona sebagaimana dikemukakan, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), yang dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum dilakukan. Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pengelolaan kawasan konservasi ini dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.
Jadi pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ‘pusat’ saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Pada tingkat pemerintah, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan Pemerintah Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.
Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan KKLD, Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Kedepan, antar satu KKLD dengan KKLD lainnya akan saling terhubung membentuk sebuah jejaring yang kuat/tangguh (resilient) baik dari sisi ekologis maupun manajemennya, sehingga fungsi kawasan betul-betul dapat mendukung perikanan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat
Sebaiknya pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternative masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga (SJI)
Perkembangan pemahaman konservasi saat ini, sangat berbeda dan telah terjadi pergeseran paradigma pemahaman konservasi sebelumnya, sebagaimana sering menjadi momok, khususnya bagi masyarakat nelayan. Pengertian Kawasan Konseravsi Perairan (KKP) menurut UU 31/2004 tentang Perikanan dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut UU 5/1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan undang-undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP no 02/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Secara detil bagaimana pemerintah daerah melakukan pencadangan kawasan konservasi diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 sebagai peraturan turunan dari UU 27 tahun 2007.
Dengan pengaturan zona sebagaimana dikemukakan, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan itu sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), yang dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum dilakukan. Kata kunci pengelolaan kawasan konservasi perairan adalah DIKELOLA DENGAN SISTEM ZONASI dengan tujuan untuk perikanan yang berkelanjutan. Lebih lanjut, pengelolaan kawasan konservasi ini dikelola oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dalam hal ini dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi.
Jadi pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ‘pusat’ saja, tetapi juga oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sesuai kewenangannya. Pada tingkat pemerintah, DKP telah membentuk Unit Pelaksana Teknis, yaitu Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan (LKKPN) yang ada di Pekan Baru. Sedangkan Pemerintah Daerah, untuk mengelola KKLD, dapat pula dibentuk UPT daerah atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Badan Layanan Umum (BLU) jika memang kegiatan konservasi di wilayah tersebut cukup menjanjikan sehingga perlu dikelola secara professional.
Sebagaimana diatur peraturan-perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan KKLD, Sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun Pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebenarnya pengembangan KKLD ini telah mulai didorong dan juga atas inisiatif daerah sejak berdirinya DKP. KKLD sendiri dalam istilah perundang-undangan memang tidak di atur, nama ini sudah terlanjur popular. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan/atau kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, Kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Kedepan, antar satu KKLD dengan KKLD lainnya akan saling terhubung membentuk sebuah jejaring yang kuat/tangguh (resilient) baik dari sisi ekologis maupun manajemennya, sehingga fungsi kawasan betul-betul dapat mendukung perikanan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat
Sebaiknya pengelolaan kawasan konservasi dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaaan KKP di daerah tentunya harus berbasis masyarakat dan bermitra dengan masyarakat. Contoh, mengenai mata pencaharian alternative masyarakat yang telah dikembangkan di kawasan konservasi, seperti: pengelolaan kepiting bakau, pengelolaan jasa wisata bahari, budidaya rumput laut, kegiatan partisipasi jender (missal: pembuatan kerupuk ikan, kerajinan masyarakat, dan lain-lain). Peranserta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan hal yang utama, mengingat masyarakat-lah yang sebenarnya sehari-hari berada pada KKP, tidak sedikit yang bergantung terhadap sumberdaya di KKP tersebut. Sehingga kemitraan dan kerjasama yang mengedepankan peran masyarakat utamanya bagi peningkatan kesejahteraan adalah sangat penting. Semoga (SJI)
the Savu Sea Marine National Park and the Achievement of 10 Million Hectares of Marine Protected Area in Indonesia has declared and celebrated on wednesday, May 13, 2009, held on Sintesa Peninsula Hotel, Manado. in accordance with World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative (CTI) Summit.
photo by: Ahmad Fuadi/TNC
the Savu Sea Marine National Park officially lauch by Minister of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia, H.E. Freddy Numberi.
"The establishment of a new marine protected area in the Savu Sea region in East Nusa Tenggara province, encompassing an area of 3.5 million hectares as Marine National Park which is potentially as one of the largest Marine Protected Area (MPA) in the Coral Triangle. The
M. Syamsul Maarif (Director General of Marine, Coasts and Small Islands) on his speech, reported that the Savu Sea as Marine National Park, encompassing an area of about 3.5 million hectares, covering marine area of Sumba Strait and its surroundings, Marine waters of Savu-Timor-Rote-Batek Island and its surroundings. Savu
Agus Dermawan (Director of Conservation and Marine National Park) said that currenly, Indonesia have reached total MPAs’ achievement of about 10 (ten) million hectares, consisting an approximately 5.5 million hectares were initiated by ministry of forestry and 4.6 million ha (almost) of local/district marine protected areas have been established in 35 districts with facilitation from MMAF. the declaration of the Savu Sea Marine National Park, will adding up to the current achievement of 10 Million hectare of MPAs. We have reached the target ahead of time to expand our marine waters as protected area to become 13.5 million hectares by the year 2009.
This achievement will contribute not only for sustainability of marine and coastal resources in Indonesia but also the protection of biodiversity in the world.
the Savu Sea Marine National Park and the Achievement of 10 Million Hectares of Marine Protected Area in Indonesia has declared and celebrated on wednesday, May 13, 2009, held on Sintesa Peninsula Hotel, Manado. in accordance with World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative (CTI) Summit.
photo by: Ahmad Fuadi/TNC
the Savu Sea Marine National Park officially lauch by Minister of Marine Affairs and Fisheries of the Republic of Indonesia, H.E. Freddy Numberi.
"The establishment of a new marine protected area in the Savu Sea region in East Nusa Tenggara province, encompassing an area of 3.5 million hectares as Marine National Park which is potentially as one of the largest Marine Protected Area (MPA) in the Coral Triangle. The
M. Syamsul Maarif (Director General of Marine, Coasts and Small Islands) on his speech, reported that the Savu Sea as Marine National Park, encompassing an area of about 3.5 million hectares, covering marine area of Sumba Strait and its surroundings, Marine waters of Savu-Timor-Rote-Batek Island and its surroundings. Savu
Agus Dermawan (Director of Conservation and Marine National Park) said that currenly, Indonesia have reached total MPAs’ achievement of about 10 (ten) million hectares, consisting an approximately 5.5 million hectares were initiated by ministry of forestry and 4.6 million ha (almost) of local/district marine protected areas have been established in 35 districts with facilitation from MMAF. the declaration of the Savu Sea Marine National Park, will adding up to the current achievement of 10 Million hectare of MPAs. We have reached the target ahead of time to expand our marine waters as protected area to become 13.5 million hectares by the year 2009.
This achievement will contribute not only for sustainability of marine and coastal resources in Indonesia but also the protection of biodiversity in the world.