Tampilkan postingan dengan label cbd. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cbd. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Oktober 2012

COP 11 CBD - Marine and Coastal Biodiversity: Targetkan Efektivitas Pengelolaan Konservasi dan keanekaragaman Perairan, Pesisir dan Laut: Kriteria Sosial dan Budaya menjadi Perhatian

Hyderabad.9 Oktober 2012, Konferensi para pihak untuk konvensi keanekaragaman hayati  yang ke-11 (COP 11 - CBD) tengah berlangsung di Hyderabad International Convention Center (HICC). konferensi berlangsung mulai 8-19 oktober 2012, yang sebelumnya telah didahului dengan COP-MOP 6 (Meeting on Parties - Cartagena Protocol on Biosavety) pada 1-5 Oktober 2012.  hari ini, salah satu bahasan working group 1 tentang Marine and Coastal Biodiversity.  kesempatan ini digunakan Indonesia untuk menyampaikan progress dan capaian konservasi wilayah pesisir dan laut termasuk upaya konservasi keanekaragaman hayatinya.

pada statementnya Indonesia menyampaikan bahwa sampai dengan Juni tahun 2012, Indonesia telah mencapai luasan Kawasan Konservasi Perairan Laut sebesar 15,78 juta ha. Selain pencapaian target luasan, Indonesia juga sedang meningkatkan efektifitas pengelolaan dari kawasan konservasi perairan tersebut. Indonesia telah membuat alat (tool) untuk mengukur efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia. metode evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, lebih singkat disebut E-KKP3K terdiri dari lima level (tingkat) pengelolaan, yaitu: MERAH: (Level 1), merupakan kawasan konservasi perairan telah diinisiasi, ddievaluasi denganPencadangan (SK)KUNING(Level 2) kawasan konservasi perairan didirikan , tersedia: lembaga pengelola, zonasi&manajemen planHIJAU (Level 3); kawasan konservasi perairan dikelola minimum, tersedia : lembaga pengelola, zonasi&manajemen plan, penguatan Kelembagaan  dan SDM, Infrastruktur dan peralatan, upaya-upaya pokok pengelolaan KKP/KKP3KBIRU (Level 4), kawasan konservasi perairan dikelola optimum, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik; dan EMAS: (Level 5) kawasan konservasi perairan mandiri, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Dari 5 (lima) level (tingkat) pengelolaan tersebut, diurai menjadi 17 (tujuh belas) kriteria umum dengan sekitar 74 kriteria rinci yang dilengkapi alat verifikasinya. Metode penilaian (E-KKP3K) ini mengakomodasi metode-metode evaluasi efektivitas kawasan yang telah berkembang dipadukan dengan tahapan pengelolaan kawasan konservasi. E-KKP3K diharapkan menjadi sebuah alat untuk mengevaluasi efektivitas yang sekaligus dapat dijadikan alat ukur sendiri bagi pengelola kawasan konservasi perairan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan pengelolaan kawasan yang perlu dilakukan untuk menuju efektifitas pengelolaan/kemandirian pengelolaan KKP/KKP3K, disisi lain dapat pula digunakan untuk menilai tingkat kinerja pengelolaan kawasan.

efektivitas pengelolaan memang menjadi target utama dari pemerintah, dibandingkan penambahan luas kawasan yang saat ini telah mencapai 15,78 juta hektar, yang juga berarti luasan tersebut telah melebihi ekspektasi pada tahun 2014 sebesar 15,5 ditargetkan.  nertambahnya luasan kawasan konservasi ini menjadi bukti partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah cukup baik dan semakin tingginya komitmen untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. upaya masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam mengkonservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini sejalan dengan semagat  paradigma baru dalam  konservasi, yakni pengelolaan secara terdesentralisasi dan diatur dengan sistem zonasi. Sedikitnya ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.

beberapa kalangan yang melansir dan khawati konservasi meminggirkan hak-hak masyarakat nelayan dan masyarakat lokal, jelas hal ini tidak benar dan tidak beralasan. justru, dengan paradigma konservasi, masyarakat telah secara partisipatif memulai inisiasi, identifikasi, pencadangan dan secara aktif turut mengelola wilayah konservasi, hak-hak tradisional masyarakat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. masyarakat lokal memanfaatkan kawasan konservasi untuk kegiatan perikanan (budidaya dan tangkap berkelanjutan) di zona perikanan berkelanjutan, maupun pemanfaatan wisata dan kegiatan jasa lingkungan non ekstraktif di zona pemanfaatan. Dengan konservasi, masyarakat telah memperoleh manfaat hasil tangkapan lebih baik, sebagai dampak limpahan ikan yang dilindungi pada zona larang ambil. selain itu, berbagai alternatif mata pencaharian juga berkembang dengan meningkatnya pengelolaan kawasan konservasi, seperti pemanfaatan wisata bahari serta berbagai kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Pendeknya, masyarakat lokal-lah yang paling diuntungkan dari pengelolaan konservasi ini.

Kaitannya dengan perikanan berkelanjutan, Indonesia telah melakukan pengelolaan perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan – WPP (Fisheries Management Area) termasuk pengembangan dan penerapan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM). Saat ini terdapat 11 WPP di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Selanjutnya, terkait perencanaan wilayah pesisir dan laut, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 / 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 27 / 2007 tentang Pengelolaan  Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi payung hukum di dalam penyusunan dan perencanaan pemanfaatan ruang di pesisir dan laut. Sampai saat ini, telah ada beberapa provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dan telah secara formal diadopsi melalui Peraturan Daerah (Perda). Pemerintah Indonesia juga sedang melakukan upaya konservasi terhadap jenis-jenis spesies yang terancam punah (threatened, charismatic and migratory species) antara lain napoleon (National Plan of Action - NPOA), terubuk (status perlindungan, suaka perikanan dan NPOA), hiu paus (status perlindungan dan perlindungan habitat), dugong (NPOA dan perlindungan habitat), penyu (status perlindungan, perlindungan habitat, NPOA, kerjasama regional di SSME), dan paus (perlindungan habitat).

“Indonesia telah berhasil melaksanakan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang dan progran pedesaan pesisir tangguh sebagai program adaptasi perubahan iklim. Indonesia mendukung pentingnya kriteria sosial budaya dimasukkan dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. hal ini disampaikan, mengingat Indonesia telah memiliki undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dimana pada undang-undang tersebut telah ada kriteria khusus kawasan konservasi untuk sosial budaya masyarakat pesisir, yakni kawasan konservasi maritim”. pungkas delegasi Indonesia dalam statemennya.

Intervensi Indonesia pada COP 11  CBD - Marine and Coastal biodiversity, sebagai berikut:


Thank you for the opportunity given Madam Chairperson, on behalf of the Government of the Republic of Indonesia, I would like to congratulate you as the elected chairperson. We also appreciate the secretariat for preparing the documents as well.

With your permission Madam Chairperson, I would like to convey the progress and achievements that Indonesia has been reached. Up to June 2012, Indonesia’s MarineProtected Area has reached 15,78 million ha. In addition, Indonesia is currently increasing its effectiveness in managing the respective Marine Protected Area. Indonesia also has developed tools for marine protected area management effectiveness and developed pilot program for MPA management in priority area.

Indonesia has conducted a number of fisheries management activities based on the Fisheries Management Area, including by developing and implementing the Ecosystem Approach for Fisheries Management. To date, 11 Fisheries Management Areas have been established in Indonesia.

Indonesia has issued a number of national laws, which regulate the use of coastal and marine space, including Act No. 26/2007 on Spatial Planning and Act No. 27/2007 on the Management of Coastal Area and Small Islands. In addition, there are also a number of provinces, regencies and cities in Indonesia, which have adopted local regulations in managing its coastal areas and small islands.

The Government of Indonesia is currently implementing policies to conserve threatened, charismatic and migratory species, including napoleon, whale and turtle.

Indonesia has developed successful program Coral reef rehabilitation and management, and a number of Coastal Resilient Villages as part of the climate change adaptation program.

Indonesia supports paragraph 18, which related to social and cultural criteria for the application of scientific area to establishment and management of Marine Protected Area and conservation in coastal and small Islands. Indonesia already includes these criteria inAct No. 27/2007 on the Management of Coastal Area and Small Islands. This act regulates Maritime Conservation Area, which specially address socio and culture conservation area.

thank you madam chairperson.

(catatan pada COP 11 CBD - Marine and Coastal Biodiversity, 9 Oktober 2012)

COP 11 CBD - Marine and Coastal Biodiversity: Targetkan Efektivitas Pengelolaan Konservasi dan keanekaragaman Perairan, Pesisir dan Laut: Kriteria Sosial dan Budaya menjadi Perhatian

Hyderabad.9 Oktober 2012, Konferensi para pihak untuk konvensi keanekaragaman hayati  yang ke-11 (COP 11 - CBD) tengah berlangsung di Hyderabad International Convention Center (HICC). konferensi berlangsung mulai 8-19 oktober 2012, yang sebelumnya telah didahului dengan COP-MOP 6 (Meeting on Parties - Cartagena Protocol on Biosavety) pada 1-5 Oktober 2012.  hari ini, salah satu bahasan working group 1 tentang Marine and Coastal Biodiversity.  kesempatan ini digunakan Indonesia untuk menyampaikan progress dan capaian konservasi wilayah pesisir dan laut termasuk upaya konservasi keanekaragaman hayatinya.

pada statementnya Indonesia menyampaikan bahwa sampai dengan Juni tahun 2012, Indonesia telah mencapai luasan Kawasan Konservasi Perairan Laut sebesar 15,78 juta ha. Selain pencapaian target luasan, Indonesia juga sedang meningkatkan efektifitas pengelolaan dari kawasan konservasi perairan tersebut. Indonesia telah membuat alat (tool) untuk mengukur efektifitas pengelolaan kawasan konservasi perairan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia. metode evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, lebih singkat disebut E-KKP3K terdiri dari lima level (tingkat) pengelolaan, yaitu: MERAH: (Level 1), merupakan kawasan konservasi perairan telah diinisiasi, ddievaluasi denganPencadangan (SK)KUNING(Level 2) kawasan konservasi perairan didirikan , tersedia: lembaga pengelola, zonasi&manajemen planHIJAU (Level 3); kawasan konservasi perairan dikelola minimum, tersedia : lembaga pengelola, zonasi&manajemen plan, penguatan Kelembagaan  dan SDM, Infrastruktur dan peralatan, upaya-upaya pokok pengelolaan KKP/KKP3KBIRU (Level 4), kawasan konservasi perairan dikelola optimum, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik; dan EMAS: (Level 5) kawasan konservasi perairan mandiri, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat. Dari 5 (lima) level (tingkat) pengelolaan tersebut, diurai menjadi 17 (tujuh belas) kriteria umum dengan sekitar 74 kriteria rinci yang dilengkapi alat verifikasinya. Metode penilaian (E-KKP3K) ini mengakomodasi metode-metode evaluasi efektivitas kawasan yang telah berkembang dipadukan dengan tahapan pengelolaan kawasan konservasi. E-KKP3K diharapkan menjadi sebuah alat untuk mengevaluasi efektivitas yang sekaligus dapat dijadikan alat ukur sendiri bagi pengelola kawasan konservasi perairan untuk menyelesaikan tahapan-tahapan pengelolaan kawasan yang perlu dilakukan untuk menuju efektifitas pengelolaan/kemandirian pengelolaan KKP/KKP3K, disisi lain dapat pula digunakan untuk menilai tingkat kinerja pengelolaan kawasan.

efektivitas pengelolaan memang menjadi target utama dari pemerintah, dibandingkan penambahan luas kawasan yang saat ini telah mencapai 15,78 juta hektar, yang juga berarti luasan tersebut telah melebihi ekspektasi pada tahun 2014 sebesar 15,5 ditargetkan.  nertambahnya luasan kawasan konservasi ini menjadi bukti partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah cukup baik dan semakin tingginya komitmen untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. upaya masyarakat lokal dan pemerintah daerah dalam mengkonservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini sejalan dengan semagat  paradigma baru dalam  konservasi, yakni pengelolaan secara terdesentralisasi dan diatur dengan sistem zonasi. Sedikitnya ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.

beberapa kalangan yang melansir dan khawati konservasi meminggirkan hak-hak masyarakat nelayan dan masyarakat lokal, jelas hal ini tidak benar dan tidak beralasan. justru, dengan paradigma konservasi, masyarakat telah secara partisipatif memulai inisiasi, identifikasi, pencadangan dan secara aktif turut mengelola wilayah konservasi, hak-hak tradisional masyarakat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. masyarakat lokal memanfaatkan kawasan konservasi untuk kegiatan perikanan (budidaya dan tangkap berkelanjutan) di zona perikanan berkelanjutan, maupun pemanfaatan wisata dan kegiatan jasa lingkungan non ekstraktif di zona pemanfaatan. Dengan konservasi, masyarakat telah memperoleh manfaat hasil tangkapan lebih baik, sebagai dampak limpahan ikan yang dilindungi pada zona larang ambil. selain itu, berbagai alternatif mata pencaharian juga berkembang dengan meningkatnya pengelolaan kawasan konservasi, seperti pemanfaatan wisata bahari serta berbagai kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Pendeknya, masyarakat lokal-lah yang paling diuntungkan dari pengelolaan konservasi ini.

Kaitannya dengan perikanan berkelanjutan, Indonesia telah melakukan pengelolaan perikanan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan – WPP (Fisheries Management Area) termasuk pengembangan dan penerapan Ecosystem Approach for Fisheries Management (EAFM). Saat ini terdapat 11 WPP di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Selanjutnya, terkait perencanaan wilayah pesisir dan laut, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 / 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang No. 27 / 2007 tentang Pengelolaan  Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi payung hukum di dalam penyusunan dan perencanaan pemanfaatan ruang di pesisir dan laut. Sampai saat ini, telah ada beberapa provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia yang telah memiliki tata ruang pesisir dan pulau-pulau kecil dan telah secara formal diadopsi melalui Peraturan Daerah (Perda). Pemerintah Indonesia juga sedang melakukan upaya konservasi terhadap jenis-jenis spesies yang terancam punah (threatened, charismatic and migratory species) antara lain napoleon (National Plan of Action - NPOA), terubuk (status perlindungan, suaka perikanan dan NPOA), hiu paus (status perlindungan dan perlindungan habitat), dugong (NPOA dan perlindungan habitat), penyu (status perlindungan, perlindungan habitat, NPOA, kerjasama regional di SSME), dan paus (perlindungan habitat).

“Indonesia telah berhasil melaksanakan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang dan progran pedesaan pesisir tangguh sebagai program adaptasi perubahan iklim. Indonesia mendukung pentingnya kriteria sosial budaya dimasukkan dalam penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. hal ini disampaikan, mengingat Indonesia telah memiliki undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dimana pada undang-undang tersebut telah ada kriteria khusus kawasan konservasi untuk sosial budaya masyarakat pesisir, yakni kawasan konservasi maritim”. pungkas delegasi Indonesia dalam statemennya.

Intervensi Indonesia pada COP 11  CBD - Marine and Coastal biodiversity, sebagai berikut:


Thank you for the opportunity given Madam Chairperson, on behalf of the Government of the Republic of Indonesia, I would like to congratulate you as the elected chairperson. We also appreciate the secretariat for preparing the documents as well.

With your permission Madam Chairperson, I would like to convey the progress and achievements that Indonesia has been reached. Up to June 2012, Indonesia’s MarineProtected Area has reached 15,78 million ha. In addition, Indonesia is currently increasing its effectiveness in managing the respective Marine Protected Area. Indonesia also has developed tools for marine protected area management effectiveness and developed pilot program for MPA management in priority area.

Indonesia has conducted a number of fisheries management activities based on the Fisheries Management Area, including by developing and implementing the Ecosystem Approach for Fisheries Management. To date, 11 Fisheries Management Areas have been established in Indonesia.

Indonesia has issued a number of national laws, which regulate the use of coastal and marine space, including Act No. 26/2007 on Spatial Planning and Act No. 27/2007 on the Management of Coastal Area and Small Islands. In addition, there are also a number of provinces, regencies and cities in Indonesia, which have adopted local regulations in managing its coastal areas and small islands.

The Government of Indonesia is currently implementing policies to conserve threatened, charismatic and migratory species, including napoleon, whale and turtle.

Indonesia has developed successful program Coral reef rehabilitation and management, and a number of Coastal Resilient Villages as part of the climate change adaptation program.

Indonesia supports paragraph 18, which related to social and cultural criteria for the application of scientific area to establishment and management of Marine Protected Area and conservation in coastal and small Islands. Indonesia already includes these criteria inAct No. 27/2007 on the Management of Coastal Area and Small Islands. This act regulates Maritime Conservation Area, which specially address socio and culture conservation area.

thank you madam chairperson.

(catatan pada COP 11 CBD - Marine and Coastal Biodiversity, 9 Oktober 2012)

Rabu, 03 November 2010

Tonggak Baru Keanekaragaman Hayati Dunia


Jakarta, 1 Nopember 2010. Konferensi Para Pihak ke-10 Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya Jepang memberikan tonggak sejarah bagi konservasi keanekaragaman hayati di dunia. Pada Konferensi ini terdapat 3 isu utama yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati dan kehidupan manusia. Tiga isu utama tersebut menjadi paket dokumen yang terdiri dari Protokol Akses dan Pembagian Keuntungan, Rencana Strategis dan Target Global 2011-2020 dan Mobilisasi Pendanaan. Tonggak sejarah ini ditandai dengan diadopsinya tiga keputusan penting pada sidang Konferensi Para Pihak ke-10 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), yang telah berakhir pada tangal 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang. Salah satu keputusan penting tersebut adalah Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the CBD, yang pertama kali disetujui sejak disahkannya Konvensi Keanearagaman Hayati (CBD) pada tahun 1992.
Perjuangan Indonesia bersama dengan Like Minded Mega Divers Countries, telah membuahkan hasil yang sangat menggembirakan pada saat minimnya kesepakatan dan keberhasilan Global. Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta mengatakan: “Protokol ABS yang berhasil tercapai merupakan pengaturan komprehensif dan efektif dalam memberikan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia dan menjamin pembagian keuntungan bagi Indonesia sebagai negara kaya sumber daya genetik.”
Indonesia telah berhasil memperjuangkan kepentingan Indonesia agar protokol ini dapat berlaku efektif dengan memperluas ruang lingkup protokol dan pengertian terminologi genetic resources dalam definisi pemanfaatan genetic resources. derivatives (turunan) dalam aturan akses dan pembagian keuntungan, kata ketua Delegasi RI. Definisi utilization of genetic resources sebagai “means to conduct research and development on the genetic and/or biochemical composistion of genetic resources, inlcuding through the application of biotechnology as defined in Article 2 of the Convention” menjamin pembagian keuntungan yang adil sampai pemanfaatan derivatif dari sumber daya genetik. Indonesia juga telah menjadi bagian dalam usaha menjembatani kepentingan bersama antara negara maju dan dan negara berkembang dalam mencapai kesepakatan.
Konferensi Para Pihak juga berhasil menyepakati Rencana Strategis dan Target Global 2011-2020. Rencana Strategis yang ambisius ini menjadi panduan kebijakan global dalam mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati dan target penting lain. Target global yang disepakati meliputi antara lain:

 

 

  • penurunan laju kehilangan kawasan habitat alami sedikitnya menjadi separuhnya dan, apabila memungkinkan, sampai mendekati nol;

  • pembentukan protected area sebesar 17% untuk kawasan terrestrial dan perairan darat, serta 10% kawasan pesisir dan laut secara global;

  • restorasi sekurangnya 15% dari ekosistem yang rusak;

  • upaya khusus untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang;

  • peningkatan pendanaan untuk implementasi konvensi. Strategi ini juga didukung oleh kesepakatan adanya mekanisme dan besaran mobilisasi pendanaan.

 

Delegasi Indonesia pada sidang di Nagoya tersebut telah mengikuti secara aktif serangkaian pembahasan isu-isu lainnya terkait dengan perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Pembahasan isu kelautan dan pesisir pantai (marine and coastal biodiversity) menjadi salah satu perhatian Delegasi Indonesia, dengan secara aktif mewarnai dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap keputusannya. Hal ini telah diakui oleh beberapa negara yang menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan kepemimpinannya dalam pembahasan dalam isu-isu kelautan sepertinya hal dengan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI).

Isu lainnya adalah keterkaitan perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati dimana dalam COP 10 CBD tersebut hampir semua isu negosiasi dikaitkan dengan perubahan iklim. Selain itu ada upaya untuk dilkakukan kegiatan bersama (joint activity) antara 3 Konvensi yaitu UNFCC, UNCCD dan CBD.

Anggota Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup di Konferensi Para Pihak ke 10 Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya Jepang telah menjalankan tugas, dan mencapai target yang telah ditetapkan di Indonesia. Keberhasilan tersebut merupakan hadiah bagi bangsa Indonesia yang merayakan hari sumpah pemuda. Mudah-mudahan pencapaian tersebutdapat sedikit mengurangi duka bangsa Indonesia yang diakibatkan tsunami di Mentawai, bencana Gunung Merapi, dan banjir bandang Wasior yang mendapatkan simpati dari delegasi internasional pada Konferensi tersebut, khususnya Pemerintah Jepang.

Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk memanfaatkan konvensi keanekaragaman hayati dan protokol ABS untuk kemakmuran bangsa Indonesia dan menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Tonggak sejarah ini adalah waktu yang tepat untuk mendorong penetapan Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagai perangkat hukum bagi pelaksanaan secaraefektif Protokol ABS di Indonesia.

Untuk informasi lebih lanjut:

Ir. Arief Yuwono, MA; Deputi MENLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Telp: 021-85905770, email: kehati@menlh.go.id atau balaikliringkehati@yahoo.co.id

Tonggak Baru Keanekaragaman Hayati Dunia


Jakarta, 1 Nopember 2010. Konferensi Para Pihak ke-10 Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya Jepang memberikan tonggak sejarah bagi konservasi keanekaragaman hayati di dunia. Pada Konferensi ini terdapat 3 isu utama yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati dan kehidupan manusia. Tiga isu utama tersebut menjadi paket dokumen yang terdiri dari Protokol Akses dan Pembagian Keuntungan, Rencana Strategis dan Target Global 2011-2020 dan Mobilisasi Pendanaan. Tonggak sejarah ini ditandai dengan diadopsinya tiga keputusan penting pada sidang Konferensi Para Pihak ke-10 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD), yang telah berakhir pada tangal 29 Oktober 2010 di Nagoya, Jepang. Salah satu keputusan penting tersebut adalah Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the CBD, yang pertama kali disetujui sejak disahkannya Konvensi Keanearagaman Hayati (CBD) pada tahun 1992.
Perjuangan Indonesia bersama dengan Like Minded Mega Divers Countries, telah membuahkan hasil yang sangat menggembirakan pada saat minimnya kesepakatan dan keberhasilan Global. Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta mengatakan: “Protokol ABS yang berhasil tercapai merupakan pengaturan komprehensif dan efektif dalam memberikan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia dan menjamin pembagian keuntungan bagi Indonesia sebagai negara kaya sumber daya genetik.”
Indonesia telah berhasil memperjuangkan kepentingan Indonesia agar protokol ini dapat berlaku efektif dengan memperluas ruang lingkup protokol dan pengertian terminologi genetic resources dalam definisi pemanfaatan genetic resources. derivatives (turunan) dalam aturan akses dan pembagian keuntungan, kata ketua Delegasi RI. Definisi utilization of genetic resources sebagai “means to conduct research and development on the genetic and/or biochemical composistion of genetic resources, inlcuding through the application of biotechnology as defined in Article 2 of the Convention” menjamin pembagian keuntungan yang adil sampai pemanfaatan derivatif dari sumber daya genetik. Indonesia juga telah menjadi bagian dalam usaha menjembatani kepentingan bersama antara negara maju dan dan negara berkembang dalam mencapai kesepakatan.
Konferensi Para Pihak juga berhasil menyepakati Rencana Strategis dan Target Global 2011-2020. Rencana Strategis yang ambisius ini menjadi panduan kebijakan global dalam mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati dan target penting lain. Target global yang disepakati meliputi antara lain:

 

 

  • penurunan laju kehilangan kawasan habitat alami sedikitnya menjadi separuhnya dan, apabila memungkinkan, sampai mendekati nol;

  • pembentukan protected area sebesar 17% untuk kawasan terrestrial dan perairan darat, serta 10% kawasan pesisir dan laut secara global;

  • restorasi sekurangnya 15% dari ekosistem yang rusak;

  • upaya khusus untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang;

  • peningkatan pendanaan untuk implementasi konvensi. Strategi ini juga didukung oleh kesepakatan adanya mekanisme dan besaran mobilisasi pendanaan.

 

Delegasi Indonesia pada sidang di Nagoya tersebut telah mengikuti secara aktif serangkaian pembahasan isu-isu lainnya terkait dengan perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Pembahasan isu kelautan dan pesisir pantai (marine and coastal biodiversity) menjadi salah satu perhatian Delegasi Indonesia, dengan secara aktif mewarnai dan memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap keputusannya. Hal ini telah diakui oleh beberapa negara yang menyatakan bahwa Indonesia telah menunjukkan kepemimpinannya dalam pembahasan dalam isu-isu kelautan sepertinya hal dengan World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiative (CTI).

Isu lainnya adalah keterkaitan perubahan iklim dengan keanekaragaman hayati dimana dalam COP 10 CBD tersebut hampir semua isu negosiasi dikaitkan dengan perubahan iklim. Selain itu ada upaya untuk dilkakukan kegiatan bersama (joint activity) antara 3 Konvensi yaitu UNFCC, UNCCD dan CBD.

Anggota Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup di Konferensi Para Pihak ke 10 Konvensi Keanekaragaman Hayati di Nagoya Jepang telah menjalankan tugas, dan mencapai target yang telah ditetapkan di Indonesia. Keberhasilan tersebut merupakan hadiah bagi bangsa Indonesia yang merayakan hari sumpah pemuda. Mudah-mudahan pencapaian tersebutdapat sedikit mengurangi duka bangsa Indonesia yang diakibatkan tsunami di Mentawai, bencana Gunung Merapi, dan banjir bandang Wasior yang mendapatkan simpati dari delegasi internasional pada Konferensi tersebut, khususnya Pemerintah Jepang.

Inilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk memanfaatkan konvensi keanekaragaman hayati dan protokol ABS untuk kemakmuran bangsa Indonesia dan menjaga keanekaragaman hayati Indonesia. Tonggak sejarah ini adalah waktu yang tepat untuk mendorong penetapan Undang Undang Pengelolaan Sumber Daya Genetik sebagai perangkat hukum bagi pelaksanaan secaraefektif Protokol ABS di Indonesia.

Untuk informasi lebih lanjut:

Ir. Arief Yuwono, MA; Deputi MENLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Telp: 021-85905770, email: kehati@menlh.go.id atau balaikliringkehati@yahoo.co.id