Berikut artikel dimuat di KORAN TEMPO, 27 des 2008.Moga bermanfaat
GLOBALISASI PERIKANAN : BERKAH ATAU BENCANA?
(Catatan Akhir Tahun 2008)
Oleh :
Arif Satria
Direktur Riset dan Kajian Strategis IPB
Tahun 2008 banyak fenomena globalisasi perikanan mengemuka. Berlakunya EPA 1 Juli 2008 lalu membuat bea masuk 51 produk perikanan kita ke Jepang menjadi nol. Semula ini pertanda globalisasi kian menguat. Namun globalisasi perikanan juga ternyata bermasalah. Pertemuan WTO di Jenewa yang gagal juga terkait dengan perikanan. Begitu pula krisis finansial global memporakporandakan perdagangan perikanan. Pertanyaannya: bagaimana dampak globalisasi perikanan terhadap Indonesia?
Globalisasi perikanan memiliki paling tidak tiga isu. Isu pertama adalah globalisasi produksi. Saat ini total produksi perikanan dunia mencapai 145 juta ton, yang masih didominasi perikanan tangkap (64%) dan budidaya (36%). Sumbangan negara sedang berkembang (NSB) terhadap total produksi dunia mencapai 80%, dan terhadap produksi budidaya lebih dari 90%. Bayangkan kontribusi Cina sendiri sudah mencapai 67%. Isu produksi menjadi isu global tatkala semua negara kini merasakan krisis faktor produksi yang sama, seperti krisis energi. Harga BBM yang mencapai lebih dari 140 USD/barel tentu memukul usaha perikanan tangkap. Pauly et.al memprediksi bahwa perikanan dunia telah mengkonsumsi 50 milyar liter bahan bakar atau 1,2% konsumsi dunia untuk menghasilkan 80 juta ton ikan.. Jadi, untuk menangkap satu ekor ikan butuh 0,62 liter BBM. Rasio ikan/liter bahan bakar ini tentu lebih tinggi dari produksi protein hewani lainnya. Di Amerika Serikat, telah dihitung
bahwa trawl butuh satu liter BBM/kilogram ikan, sementara gillnet sepertiga liter/kilogram, dan purse seine 0,03 liter/kilogram. Dengan sendirinya trawl dimana-mana diprediksi akan makin menurun. Di Vietnam, pangsa BBM terhadap biaya operasi penangkapan mencapai 52% (trawl), 40% longline, 20% (purese seine). Di Indonesia juga kurang lebih sama. Karena itu, ke depan budidaya akan terus didorong dan dapat melebihi tangkap, seperti sudah ditunjukkan Cina dan Vietnam. Namun diperkirakan tahun 2030 di dunia pun tangkap masih lebih besar (93 juta ton) dan budidaya (83 juta ton). Budidaya menjadi jalan keluar karena semua orang sadar bahwa kini 76% perikanan di dunia sudah dieksploitasi penuh dan lebih. Disini tergambarkan bahwa betapa produksi perikanan suatu negara sudah sangat tergantung dari kondisi sumberdaya ikan dan energi global. Bencana produksi dialami baik NSB dan NM, akibat globalisasi energi dimana BBM menjadi mainan para spekulan internasional.
Yang membedakan adalah adaptasinya terhadap faktor eksternal tersebut, yang tentu perikanan NSB lebih lambat dalam menyiasati dan akhirnya kolaps.
Krisis finansial global makin menyengsarakan sektor produksi.Hampir bisa diduga bahwa investasi di sektor perikanan akan menurun. Paling tidak dilihat dari naiknya suku bunga perbankan yang tidak kondusif untuk investasi. Bagi investasi yang menuntut bahan baku impor juga akan terkendala dengan naiknya kurs rupiah yang akhir tahun ini bervariasi Rp 11-13ribu. Kondisi ini mestinya menuntut kita untuk mengembangkan industri perikanan dengan bahan baku lokal dan mendorong tumbuhnya industri pakan.
Isu kedua adalah globalisasi pengelolaan sumberdaya. Baik NSB maupun NM dituntut untuk tunduk pada aturan-aturan internasional tentang bagaimana mengelola sumberdaya supaya lestari, kalau tidak mau dituduh melakukan IUU (illegal, unregulated, unreported) Fishing, termasuk di dalamnya pencurian ikan dan tangkapan yang tidak dilaporkan. Nilai IUU fishing di dunia kini nilainya telah mencapai 15 milyar USD. FAO mencatat sekitar 30% hasil tangkapan ikan-ikan tertentu di dunia tergolong IUU fishing. Di Afrika bisa mencapai 50%. Di UE, IUU masih berlangsung karena bisa menghemat 20% produksi dari pada praktek yang legal. Saat ini Uni Eropa (UE) yang paling gencar membasmi karena ternyata 9% produk impor UE berasal dari IUU fishing. Karena itu EU menerapkan EU Catch Certification Scheme yang akan mengontrol produk-produk ikan yang masuk ke pasar EU. Bagi Indonesia, adanya gerakan anti IUU fishing bisa berkah atau bencana. Berkahnya adalah karena laut kita
adalah obyek pencurian ikan. Belum ada angka resmi kerugian kita, tapi tahun 2004, kerugian kita mencapai 1-4 milyar rupiah/kapal/ tahun, dan ada sekitar 1000 kapal yang dapat dikategorikan IUU fishing, sehingga kerugian mencapai 1-4 triliun rupiah/tahun. Nah, bencananya adalah kini kita tak bisa lagi menangkap ikan di laut internasional secara bebas. Kita harus menjadi anggota RFMOs (Regional Fisheries Management Organizations) atau komisi pengelolaan perikanan regional, kalau kita hendak menangkap ikan di wilayah tersebut. Seperti, untuk menangkap tuna di samudera Hindia kita harus menjadi anggota IOTC (Indian Tuna Commission), juga CCSBT (Convention of Conservation for Southers Bluefin Tuna), dan di Pasifik kita harus menjadi anggota WCPFC (Western Central Pacific Fisheries Committee). Kalau kita tidak menjadi anggota RFMOs tersebut maka akan dianggap ilegal, dan produk kita akan diembargo di pasar internasional. Embargo untuk tuna sirip biru kita
masih berlaku di Jepang sejak tahun 2005 karena kita tidak menjadi anggota CCSBT. Padahal, spawning ground tuna tersebut ada di wilayah selatan Indonesia, yang mestinya kita berhak atas tuna tersebut. Jepang yang tidak punya akses langsung ke perairan CCSBT maupun IOTC ternyata dominan. Begitu pula UE yang tidak punya akses langsung ke perairan WCPFC juga kuat. Namun kini kita sudah menjadi anggota kedua RFMO tersebut. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dunia adalah masalah politik internasional, dan tidak hanya masalah teknis. Dan, disinilah NSB menjadi korban.
Isu ketiga adalah globalisasi perdagangan dan isu subsidi. Pada tahun 2007, ekspor produk perikanan dunia mencapai 93 milyar USD dan tumbuh sekitar 9%, dan kontribusi NSB dan NM sama, yakni 50-50. NSB menikmati penerimaan bersih sekitar 25 milyar USD dari ekspornya. Pasar dunia terbesar UE (42.7%), Jepang (15.6%), dan US (15.2%), yang totalnya mencapai 73%. Perdagangan diprediksi terus meningkat seiring tren peningkatan konsumsi ikan/kapita, yang dalam kurun 30 tahun meningkat dari 11,5 kg/kapita/tahun menjadi 17 kg/kapta/tahun. Namun kita saat ini sudah ketinggalan dari Thailand dan Vietnam. Ekspor Thailand sudah lebih dari 4 milyar USD, Vietnam 3,7 milyar USD (2007), dan kita baru sekitar 2,5 milyar USD. Kini UE, Jepang, dan Amerika sama-sama menerapkan syarat yang makin ketat, karena terkait dengan keamanan pangan (food safety). Apakah perdagangan bebas menguntungkan? Pertama, memang NSB punya kesempatan untuk meraih keuntungan dari pasar NM yang
makin terbuka. Namun persoalannya bukan relasi antara NSB-NM, tetapi lebih pada NSB-NSB. Bayangkan bila perdagangan bebas terjadi di ASEAN saja, maka sudah diduga pembudidaya ikan patin dan lele akan kolaps karena produk Vietnam yang lebih bersaing. Kedua, keuntungan ekspor NSB hanya akan dinikmati para eksportir atau pengusaha besar. Nelayan dan pembudidaya ikan kecil sebagai pemasok bahan baku akan tetap menikmati harga lokal. Apakah dengan bea-masuk nol persen ke Jepang saat ini nelayan dan pembudidaya ikan juga menikmati kelebihan profit? World Fish (2008) menunjukkan bahwa di Afrika perdagangan perikanan tidak berhubungan dengan kenaikan pembangunan ekonomi dan manusia.
Nah, kini krisis finansial global terjadi dan berdampak langsung pada perdagangan perikanan dunia.Lesunya pasar ekspor di Amerika Serikat dan Eropa tersebut akan menjadikan negara berpenduduk besar menjadi sasaran baru ekspor perikanan. Karena itulah perlu segera diantisipasi fenomena ini melalui instrumen pengendalian impor, seperti peningkatan uji mutu produk, pembatasan pelabuhan masuknya produk impor, dan dalam beberapa kasus perlu pengenaan tarif. Diversifikasi pasar juga sangat penting.
Sementara itu isu subsidi juga mengancam. Menurut APEC (2000) nilai subsidi perikanan di dunia mencapai 12,6 milyar US dolar dan mencakup 70% negara-negara produsen perikanan. Sementara Milazzo (1998) memprediksi sekitar 20,5 milyar US dolar untuk seluruh perikanan dunia. Dan OECD (2003) serta WTO menghitung masing-masing hanya sekitar 5,97 dan 0,82 milyar US dolar. Ini dianggap membahayakan perdagangan bebas dan menyebabkan overeksploitasi. Namun, Marine Resources Assesment Group atau MRAG (2000) mengingatkan bahwa masalah overeksploitasi sumberdaya ikan di NSB ini bukan karena subsidi, tetapi karena lemahnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal yang sama juga sesuai hasil riset beberapa ilmuwan Jepang di World Fisheries Congress lalu yang melihat subsidi tidak berkorelasi dengan kerusakan sumberdaya. Melihat besarnya masalah kemiskinan nelayan, maka subsidi secara langsung, seperti skim kredit khusus bagi nelayan, tentu masih relevan. Hanya saja,
memang subsidi tersebut mesti disertai dengan skema fisheries management yang memadai.
Untuk itu, globalisasi perikanan harus disikapi secara komprehensif dan kritis. Tanpa itu, kita akan terus menjadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar