Senin, 12 Januari 2009

Mengapa ISRAEL TIDAK MUNGKIN MENANG ?

sumber: milis

 

Ass.Wr.Wb.

 

Sejumlah media AS mengakui bila Israel akan sulit menaklukan Hamas. Berikut tulisan di Kompas, dan silakan simak di majalah TIME http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1870314,00.html dan NEWSWEK http://http://www.newsweek.com/id/177840. Newsweek mengutip sumber yang dekat dengan PM Israel Ehud Olmert meyebut, ada dua tujuan mengapa Olmert menyerang Gaza: 1) menghentikan roket-roket Hamas ke wilayahnya dan memaksanya untuk gencatan senjata; 2) ambisi penuh risiko Olmert yaitu menggerus total Hamas. Serbuan roket udara yang diikuti serangan artileri darat dan infanteri, harapan Olmert adalah memberi peluang pada Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang berasal dari partai nasionalis Palestina, Fatah, untuk mengontrol Gaza yang dikuasai Hamas, sehingga menurutnya, akan memudahkan menggiring negosiasi Palestina melalui Fatah. Dengan hancurnya Hamas, Olmert percaya bahwa itu adalah peluang bagi Israel dan warga Palestina dapat melunak untuk kembali ke rencana negosiasi dengan Abbas seperti 2007 lalu.

 

“Mimpi kali ye..” (Wishful thinking? Problably) ujar Newsweek. Penulisnya mengurai mengapa Olmert gagal, dan “proses damai” tak berarti apa2. Motivasi pribadi Olmert di Gaza lebih banyak karena kebutuhan dalam negeri ketimbang kebijakan luar negerinya, sebutnya. Di dalam negeri Olmert melemah dan menghadapi tuntutan korupsi, dan dengan serangan ini dia berharap sekaligus dapat membersihkan noda warisannya.

 

Majalah The Economist http://www.economist.com/opinion/displaystory.cfm?story_id=12899483 juga senada. Menurutnya, bahkan bila Israel “menang” di Gaza, perang ratusan tahun tidak dapat mendiamkan warga Palestina dengan kekuatan brutal. Menurut Economist, Hamas akan tetap survive, dan dengan berbagai kerusakannya akibat serangan itu menyebabkan sebagian besar warga Arab akan kian setuju bahwa Israel harus enyah di Timur Tengah.

 

Seperti halnya serangan ke Lebanon pada waktu lalu yang dikatakan gagal, serbuan kali ini pun hanya akan semakin memperhitam wajah Israel di dunia dan sebaliknya memenangkan para musuhnya secara moral. Para pengamat memperkirakan, dengan dua serangan itu, Lebanon 2007 dan Gaza sekarang, yang keduanya di era Olmert, memantaskannya untuk diadili di kursi pesakitan pengadilan penjahat perang, bersama rekannya, George Bush! (yang menyerang Irak dan mendukung Olmert).

 

Wassalam

 

Mengapa Israel Tak Mungkin Menang
Kompas, Minggu, 11 Januari 2009
Perang Israel melawan Hamas telah menjadi semakin berisiko. Israel tetap menggempur Jalur Gaza kendati Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 1860 yang menyerukan gencatan senjata. Bagaimana konflik di Jalur Gaza itu akan berakhir?

Majalah Time menurunkan laporan mengenai mengapa Israel tidak bisa memenangi pertempuran itu.

Faktanya, apa yang didapat Israel tampaknya semakin kecil dibandingkan dengan ongkos yang semakin besar. Ketika melancarkan serangan ke Jalur Gaza pada 27 Desember 2008, ”cita-cita” Israel adalah melihat para komandan Hamas keluar dari bungker-bungker di bawah tanah dengan tangan terangkat ke atas.

Sayangnya, yang didapat Israel pada akhirnya justru tidak memuaskan. Akhir yang realistis paling-paling hanya gencatan senjata yang menyisakan Hamas yang terluka tetapi tetap hidup dan mampu bangkit kembali. Israel pun hanya bisa sementara waktu aman dari gangguan.

Serangan membabi buta ke Jalur Gaza hanya akan menurunkan kemampuan Hamas untuk menembakkan roket ke Israel. Namun, serangan itu tidak akan bisa memadamkan semangat ideologi Hamas.

Kalaupun ada keuntungan bagi Israel, jika benar-benar bisa menghentikan tembakan roket Hamas, adalah bagi para politisi yang akan maju pemilu nasional, bulan depan, seperti Menteri Luar Negeri Tzipi Livni atau Menteri Pertahanan Ehud Barak. Tidak lebih.

Barangkali, yang lebih mengancam Israel saat ini bukanlah tembakan roket itu sendiri, melainkan kekuatan untuk menggertak (power of detterence) Israel yang mulai diragukan.

Semula kekuatan penggertak itulah yang menjadi kunci bagi Israel untuk menjaga lawan-lawannya tetap berada di sudut yang jauh. Kekuatan itu mulai terkikis tahun 2006 saat Hezbollah di Lebanon selatan mampu bertahan dari gempuran Israel.

Seperti halnya Hezbollah, Hamas akan menyatakan dirinya menang. Hamas menunjukkan diri mampu bertahan menghadapi gempuran langsung dari kekuatan militer yang jauh lebih besar.

Justru Israel berisiko kehilangan sekutu-sekutu Arab, yang semula telah melunak dan bersedia mengakui Israel. Bagaimana mungkin kini mereka mau bekerja sama dengan Israel saat mendapati saudara-saudara Arab mereka dibantai di Jalur Gaza.

Tidak kalah

Satu hal yang perlu diakui para pemimpin Israel adalah Hamas tidak akan bisa dikalahkan dengan kekuatan militer. Pelajaran dari serangan terhadap Hezbollah tentu tidak mudah dilupakan Israel.

Israel harus merangkul Hamas secara politik. Itu artinya, Israel harus bersedia berurusan dengan semacam pemerintahan persatuan yang meliputi Hamas di dalamnya.

Apalagi Israel juga harus menghadapi kenyataan bahwa negara yang dicita-citakannya, negara Yahudi yang terbentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania, tidak akan terwujud tanpa berdirinya negara Palestina yang merdeka.

Israel harus berhitung dengan populasi Yahudi di negaranya yang suatu saat bisa kalah jumlah oleh bangsa Arab di tanah itu. Israel, yang mendefinisikan diri melalui kepercayaannya, yaitu Yahudi, tentu tidak ingin melihat kaumnya menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.

Mantan PM Israel yang paling keras sekalipun, Ariel Sharon, takut akan hal ini. ”Jika kita ingin melestarikan Yahudi dan demokrasinya, kita harus melepaskan sebagian tanah air kita,” katanya.

Kompromi menyakitkan

Artikel di majalah Newsweek edisi 12 Januari 2009 menyebutkan, ada empat persoalan utama yang perlu segera diselesaikan, yaitu soal wilayah, keamanan, status Jerusalem, dan pengungsi Palestina. Mengurai persoalan dan mencari solusi menang-menang harus dimulai kembali dari keempat persoalan pokok itu yang kini malah terabaikan sejak tahun 2000.

Kompromi yang menyakitkan bagi kedua pihak harus ditempuh jika perdamaian abadi ingin diwujudkan. Fakta bahwa Ehud Olmert bersedia bernegosiasi, Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga bersedia berunding, menggarisbawahi hubungan keduanya. Yakni, hanya ada satu jalan menuju perdamaian, kedua pihak mengetahui jalan itu, tetapi keduanya tidak bersedia untuk menjalaninya.

”Waktu tidak lagi berada di pihak Israel,” demikian Newsweek.

Sejauh ini, pertumpahan darah di Gaza tidak banyak mengubah perimbangan. Hamas kehilangan banyak secara fisik, tetapi dia memenangi simpati. Namun, bukan tidak mungkin warga Gaza juga mempertanyakan, untuk apa semua penderitaan yang mereka alami.

Majalah The Economist edisi 3-9 Januari 2009 menyebutkan, ada konsesi yang diperoleh warga Gaza, seperti pelonggaran blokade oleh Israel yang telah membuat mereka menderita secara ekonomi. Gerbang perbatasan dengan Mesir pun kemungkinan akan dibuka.

Selama 60 tahun, konflik mendera tanpa ada akhir. Dewan Keamanan PBB sekalipun tidak digubris. Kekerasan akan menjadi lingkaran yang tidak terputus di wilayah itu selama tidak ada ruang bagi kompromi dan ketulusan. (fro)
 
Simak pula majalah TIME: http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1870314,00.html
NEWSWEEK: , http://www.newsweek.com/id/177840
The Economist http://www.economist.com/opinion/displaystory.cfm?story_id=12899483

Tidak ada komentar: